Share

Bab 0009

"Nathan, kamu pegawai negeri sipil, ya?" tanya Cheryl dengan terkejut. 'Sepertinya bocah ini sudah hidup dengan lumayan baik, ya. Semua orang tahu kalau ujian untuk jadi pegawai negeri itu susah,' pikirnya. "Sebelumnya, aku sudah pernah ujian beberapa kali, tapi aku selalu gagal, jadi aku sudah menyerah. Sekarang, aku hanya bisa bekerja di perusahaan swasta."

"Sepertinya hanya Mario yang sudah masuk karyawan inti, ya?" Carmen menatap Mario yang duduk di sampingnya Nathan sambil bertanya, "Dinas Sumber Daya Air, 'kan?"

Sejak Nathan datang, Mario sama sekali tidak bersuara. Saat Carmen menanyakan hal ini, dia baru menjawab, "Iya, Bidang Pengendalian Banjir."

"Nathan, apa tanggung jawabmu di kantor pemerintahan?" tanya Cheryl lagi. Dia sudah merencanakan sesuatu dalam hatinya. Nathan lumayan pandai berbicara, jadi Cheryl ingin meminta Nathan untuk memikirkan cara agar dia bisa memperkenalkan Cheryl pada orang dalam. Kalau hal itu bisa terjadi, Cheryl akan mengikuti ujian untuk menjadi pegawai negeri sipil lagi.

"Aku?" Nathan tidak bisa menjawab. Dia melirik sekilas ke arah Jasmine, tetapi gadis ini sama sekali tidak menatap Nathan. Dia hanya sibuk memakan makanannya. Sedangkan Lucius menatap Nathan sambil tersenyum, dia ingin melihat bagaimana bocah ini akan menjawab pertanyaan ini.

Setelah sekian lama, Nathan baru menarik napas dalam-dalam dan menjawab, "Sebenarnya, aku hanya pekerja sementara. Selain itu, aku sudah dipecat." Meskipun dia tidak ingin mengucapkannya, dia tetap harus mengakui hal ini. Jika dia berani berbohong, Lucius akan langsung mengungkapkan kebenarannya. Pada saat itu, harga diri Nathan akan diinjak-injak oleh Lucius.

Lucius tertawa, lalu berjalan kembali ke tempatnya sendiri, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Kemudian, dia mengajak orang-orang yang sedang melihat ke arah Nathan untuk minum-minum bersama.

"Ayo minum!" seru Nathan sambil tersenyum. Suasana di meja ini menjadi sunyi. Teman-teman sekelasnya juga mengetahui bahwa suasana hatinya Nathan pasti juga tidak baik, mereka juga berpikir apakah pertanyaan mereka terlalu kasar atau tidak.

"Mario, tadi, aku belum bersulang denganmu. Dulu, aku memang berselisih denganmu. Tapi, waktu juga sudah berlalu sangat lama, aku harap kamu nggak dendam lagi padaku," kata Nathan sambil ingin bersulang dengan teman sekelasnya itu.

"Siapa yang mau bersulang denganmu?" kata Mario. Mario tidak menerima ajakan bersulang ini. Dia mengangkat kepalanya dan bahkan tidak mengangkat gelas yang berada di depannya. "Memangnya kalau kamu suruh aku jangan dendam lagi, aku bisa langsung nggak dendam lagi? Nathan, memangnya kamu siapa?"

Suara Mario sangat keras, sehingga beberapa orang yang sedang makan juga mendengarnya dengan sangat jelas. Semuanya pun terdiam dan melihat ke arah mereka.

"Saat kita masih sekolah, kamu menghajarku dan memarahiku di hadapan semua teman kita. Sekarang, kamu mau aku melupakan semuanya dengan kata-kata itu? Semudah itu, ya?" kata Mario dengan dingin.

"Nathan, kukira kamu sehebat apa. Rupanya kamu hanya pekerja sementara dan bahkan sudah dipecat. Memangnya kamu berhak untuk bersulang denganku? Kalau bukan karena kamu teman masa kecilnya Jasmine, memangnya kamu bisa duduk semeja dengan kami? Sialan! Kamu nggak lihat dulu sikapmu sendiri?!" kata Mario sambil menggertakkan giginya, seakan-akan dia sangat mendendam pada Nathan.

"Jangan begitu, Mario!" kata Jasmine sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Bagaimanapun, dia adalah tuan rumahnya. Dalam situasi ini, orang tuanya pasti tidak bisa membantu. Lagi pula, ini masalah mereka, orang tuanya bahkan tidak mengetahui apa pun. "Nathan, Mario sudah minum banyak, jangan anggap serius, ya."

"Diam!" Wajah Nathan memerah, entah karena dia minum kebanyakan atau karena dia merasa malu dan marah karena ucapan Mario. Dia merasa bahwa pada saat ini, semua orang sedang menatapnya dengan tatapan penuh penghinaan. "Kalau bukan karena kamu yang mulai, memangnya situasinya bisa menjadi seperti ini? Jasmine, sekarang kamu sangat bangga, ya? Sudah puas, belum? Bukankah aku mengintipmu di kamar mandi saat kita masih SMA? Kenapa kamu masih harus mendendam selama ini???"

"Nathan!" Awalnya, Jasmine memang merasa bersalah karena dialah yang memancing masalah ini. Jika bukan karena dia membuat lelucon tentang sekolahnya Nathan, Lucius juga tidak akan datang dan menambahkan minyak ke api dengan hal pekerjaan Nathan.

Namun, saat Jasmine mendengar ucapan Nathan tentang kejadian itu, api amarah langsung melonjak dalam hatinya. Dia mengambil gelas di hadapannya dan menyiram wajah Nathan dengan minuman ringan di dalam gelas tersebut.

"Pergi sana!" Jasmine benar-benar marah, hingga tubuhnya bergetar. Dia menunjuk ke arah pintu sambil berkata, "Pergi sekarang juga!"

"Huh!" Nathan mendengus, lalu langsung melangkah meninggalkan tempat ini.

"Jasmine, ada apa denganmu?!" Julian berjalan menghampiri putrinya dan berkata dengan nada menegur, "Kenapa kamu mau berbuat seperti itu? Kalian masih harus sering bertemu!"

"Aku memang begitu!" teriak Jasmine pada ayahnya sendiri. Kemudian, dia berlari ke kamarnya sendiri sambil menangis dengan keras, lalu mengunci pintu kamarnya dan menangis di atas ranjang.

"Ayo makan semuanya! Sini, ayo kita bersulang! Kalau anak-anak minum banyak, akan gampang timbul masalah!" kata Julian sambil tersenyum dengan canggung. Jamuan yang harusnya menyenangkan ini malah menjadi seperti ini.

"Sialan!" Nathan yang sedang berjalan dengan pelan di jalan pedesaan sesekali menendang rumput liar di pinggir jalan. "Lucius benar-benar menyebalkan! Baiklah, kamu berani mempermainkanku, ya? Malam ini, aku akan mempermainkan istrimu! Jasmine juga menyebalkan sekali! Sudah selama ini, dia masih saja mendendam! Begitu juga dengan Mario, bukankah hanya ujian untuk jadi pegawai negeri, ya?"

Begitu Nathan memikirkan tentang pegawai negeri, Nathan teringat akan kondisinya sendiri. Dia juga tidak tahu kapan kebijakan itu akan diterapkan di Kelurahan Galena. Dia berharap agar Marissa bisa memanfaatkan informasi yang dia berikan pada Marissa untuk mengalahkan Shawn.

Jika Marissa bisa menjadi direktur, Nathan pun mendapatkan kesempatan untuk kembali. Jika Shawn menjadi direktur, jalan pulangnya Nathan ke karier itu pun sudah sepenuhnya diblokir dan sepertinya tidak ada lagi harapan untuk kembali seumur hidupnya.

Nathan berpikir, 'Nanti, biar aku tanyakan tentang hal ini ke Paulo.' Tadi, dia sudah minum-minum, jadi dia mau pulang dan tidur di rumah.

"Nathan?" Pada saat ini, terdengar suara seorang wanita dari belakang. Nathan berbalik dan melihat Cheryl yang tadi duduk di samping Jasmine.

"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Nathan dengan heran. Semasa sekolah, dia tidak pernah berinteraksi dengan Cheryl. Cheryl adalah murid teladan, sedangkan Nathan tidak pernah belajar. Mereka berasal dari dua dunia yang berbeda, jadi mereka sama sekali tidak pernah berbicara selama tiga tahun SMA.

"Sebenarnya, Jasmine bukan sengaja melakukannya." Setelah berpikir sejenak, Cheryl berkata, "Dia hanya bercanda denganmu. Kamu tahu sifatnya Jasmine ...."

"Siapa tahu dia sengaja atau nggak?" Begitu Nathan memikirkan hal ini, dia merasa kesal. "Aku mengintipnya di toilet, tapi dia mendendam hingga selama ini."

"Sebenarnya ...." Cheryl ragu-ragu sejenak, lalu berkata, "Ah, sudahlah, intinya Jasmine bukan orang seperti itu. Ini nomor teleponku, kalau ada waktu, hubungi aku, ya!" Kemudian, Cheryl mengeluarkan sebuah kartu nama dari tas kecilnya dan memberikannya pada Nathan.

"Kenapa kamu tiba-tiba memberiku kartu namamu?" Nathan tersenyum dengan usil dan berkata, "Jangan-jangan kamu masih menyukaiku, ya?"

"Ya sudah kalau nggak mau!" seru Cheryl dengan wajahnya yang memerah. Dia mengentakkan kakinya di tanah, lalu hendak menyimpan kembali kartu nama itu.

"Eh! Jangan simpan, aku mau! Sini, aku mau!" Nathan bergegas mengulurkan tangannya untuk merebut kartu nama itu. Dia pun menangkap tangan Cheryl yang kecil dan lembut, hingga terasa seperti sepotong tahu yang lembut, membuat Nathan merasakan gejolak dalam hatinya.

"Aku pergi dulu, ya!" kata Cheryl sambil melepaskan pegangan Nathan di tangannya. Kemudian, dia berlari pergi dengan tersipu malu.

Sepulangnya ke rumah, Nathan yang masih dalam suasana hati yang buruk mengabaikan ibunya yang menanyakan mengapa dia pulang secepat ini. Dia pergi ke kamarnya dan menutup pintu kamar, lalu menyalakan kipas angin dan berbaring di atas ranjang sambil memikirkan kembali penghinaan yang dia alami di rumahnya Jasmine. Dia merasa makin marah. Dia pun mengulurkan tangannya dan merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan kartu nama yang Cheryl berikan padanya.

"Perusahaan Penjualan Buah Redstar?" Nathan membaca nama perusahaan di kartu nama ini, lalu melihat nama dan nomor telepon Cheryl yang tercetak di bawahnya. "Penjualan buah?" Melihat kata-kata ini, Nathan seketika teringat akan pohon buah dan buah-buahan besar yang memenuhi pegunungan di Desa Kosar itu.

'Kalau buah sebanyak itu bisa dijual ke perusahaan ini, penghasilannya pasti sangat besar!' pikir Nathan. 'Sudahlah, untuk apa aku memikirkan hal itu? Aku sudah dipecat, hal itu nggak ada hubungannya denganku.'

Bagaimana kalau aku menjual buah-buahan itu sendiri?' Nathan yang sedang berbaring dengan mata terpejam tiba-tiba membuka matanya dan duduk tegak. Namun, dia langsung menenangkan dirinya. Hal ini hanya mudah untuk dipikirkan!

Terlepas dari apakah perusahaan tempat Cheryl bekerja akan menerimanya produk sebanyak itu atau tidak, untuk mengambil alih hutan itu dari para petani saja sepertinya memerlukan uang sebanyak puluhan juta. Meskipun Nelson memiliki tambak ikan, tabungan keluarga mereka juga paling-paling hanya 100 juta dan tidak akan ditarik. Nelson sama sekali tidak akan memberikan harta keluarga ini pada Nathan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status