Mendengar ucapan Nathan, Rachel merasa lebih bersemangat. Meskipun Nathan tidak mengetahui jumlah populasi setiap desa yang mereka kunjungi, dia bisa melihat masalahnya dengan akurat.Setidaknya, beberapa pandangan yang Nathan katakan selaras dengan apa yang Rachel pikirkan sebelumnya. Namun, hal in
"Ayo jalan!" Nathan menggenggam tangan Rachel yang lembut dan menariknya ke atas. Rachel merasakan kekuatan yang membawanya berjalan. Dengan bantuan Nathan, langkahnya mendaki gunung juga menjadi lebih cepat.Setidaknya, dia tidak lagi merasa kelelahan seperti sebelumnya. Setelah melewati Desa Nuwa,
Akhirnya, Rachel berjalan terlalu cepat. Biasanya, udara di tepi danau seperti ini lebih lembap. Selain itu, sekarang, hari sudah mulai gelap, jadi kelembapannya meningkat. Jalan setapak itu juga penuh akan kerik kecil. Rachel tidak melangkah dengan baik dan langsung berguling-guling ke bawah dan ja
Pada Jumat pagi, setelah sarapan, Nathan Fabio pergi ke kantor pemerintahan Kelurahan Galena.Saat dia berjalan ke tangga gedung asrama, dia melihat sebuah sosok yang elegan.Sosok itu mengenakan gaun berwarna putih, kulitnya putih dan mulus, rambutnya yang panjang tergerai, sepasang sandal kaca berwarna merah membalut kakinya yang kecil, dengan stoking berwarna putih. Siapa lagi kalau bukan Sienna Lizbeth, seorang staf di kantor Komite Partai? Sebuah koper besar terletak di samping kakinya."Sienna, kamu sudah datang, ya?" Nathan menyapa wanita tersebut sambil menghampirinya."Nathan!" seru Sienna dengan senang sambil melambaikan tangannya pada Nathan."Kopermu keberatan, ya? Sini, biar kubantu!" kata Nathan. Sienna seperti dewi dalam hatinya, jadi tentu saja Nathan ingin membantu Sienna dengan penuh semangat. Seusai berbicara, dia langsung mengulurkan tangannya untuk mengangkat koper itu."Kamu ini, padahal rumahmu di kabupaten kota, kamu bisa tinggal di rumah tiap hari, tapi kamu ma
’Kenapa suaranya terdengar seperti suara Marissa?’ pikir Nathan. ‘Bahkan Pak Marco juga sudah pergi, dengan siapa wanita itu bersenang-senang di dalam kantor?’ Nathan seketika teringat akan rumor bahwa Marissa menjalin hubungan seperti itu dengan Patrick.‘Jangan-jangan itu Pak Patrick? Wah, seru, nih,’ pikir Nathan. Kemudian, dia diam-diam naik ke lantai tiga dan merangkak di koridor, menuju ke kantornya Patrick.Mungkin karena mengira tidak ada orang lain lagi di gedung kantor, bahkan pintu kantornya Patrick tidak tertutup dengan rapat. Lampunya juga masih menyala. Melalui celah pintu kayu yang tebal itu, Nathan mengangkat kepalanya dan mengintip ke dalam."Wah! Kata orang, wanita makin tua makin kuat!" Patrick memukul pantat wanita itu dengan kuat sambil bernapas dengan terengah-engah, lalu berkata, "Ternyata memang benar!"Di dalam ruangan, rok ketat dan stoking berwarna kulit yang biasanya dipakai oleh Marissa terus bergoyang di pandangan Nathan. Selain itu, celana dalam dengan be
"Aku bisa pergi," kata Nathan sambil tersenyum. Dia berpikir, 'Kalau aku sudah menunjukkan sikap asliku, artinya aku nggak perlu bersikap baik lagi padamu.' Kemudian, dia bertanya, "Bu Marissa, seingatku, suamimu adalah seorang pekerja di bagian penjualan sebuah perusahaan, 'kan? Dengar-dengar, dia
"Shawn, lepaskan tanganmu!" Meskipun Nathan berniat untuk selalu menjadi orang yang patuh dan tunduk di kantor, kesabarannya juga berbatas. Shawn bahkan sudah bertindak seperti ini, jadi bagaimana Nathan bisa diam saja?Dengan kuat, dia berusaha melepaskan tangannya Shawn. "Kenapa? Karena kamu nggak
"Oh iya, di mana barangnya?" tanya Marissa. Napasnya kasar, pikirannya sudah kacau. Namun, dia menyadari bahwa ada yang tidak benar, seakan-akan mereka kelewatan satu langkah."Barang apa?" tanya Nathan sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak memikirkan hal ini. Hari ini, dia hanya terus memikirkan