Share

Bab 0002

’Kenapa suaranya terdengar seperti suara Marissa?’ pikir Nathan. ‘Bahkan Pak Marco juga sudah pergi, dengan siapa wanita itu bersenang-senang di dalam kantor?’ Nathan seketika teringat akan rumor bahwa Marissa menjalin hubungan seperti itu dengan Patrick.

‘Jangan-jangan itu Pak Patrick? Wah, seru, nih,’ pikir Nathan. Kemudian, dia diam-diam naik ke lantai tiga dan merangkak di koridor, menuju ke kantornya Patrick.

Mungkin karena mengira tidak ada orang lain lagi di gedung kantor, bahkan pintu kantornya Patrick tidak tertutup dengan rapat. Lampunya juga masih menyala. Melalui celah pintu kayu yang tebal itu, Nathan mengangkat kepalanya dan mengintip ke dalam.

"Wah! Kata orang, wanita makin tua makin kuat!" Patrick memukul pantat wanita itu dengan kuat sambil bernapas dengan terengah-engah, lalu berkata, "Ternyata memang benar!"

Di dalam ruangan, rok ketat dan stoking berwarna kulit yang biasanya dipakai oleh Marissa terus bergoyang di pandangan Nathan. Selain itu, celana dalam dengan berbagai warna itu sudah tidak terlihat. Sekarang, melihat adegan panas wanita ini, Nathan juga merasakan sensasi tertentu dalam tubuhnya.

'Ckck, Pak Patrick hebat sekali!' pikir Nathan. Kemudian, dia melihat bibir Marissa yang terbalur dengan lipstik itu terus mengeluarkan suara napas yang kasar. Bibirnya agak tebal, membuatnya terlihat makin menggoda.

Siapa suruh kamu memberiku pekerjaan sebanyak ini, hingga aku melihatmu seperti ini!' pikir Nathan dengan penuh amarah. Kemudian, dia diam-diam mengeluarkan ponsel yang baru dia beli dari kantongnya dan mulai merekam adegan tersebut ....

Suara Marissa makin keras, sehingga bahkan Patrick terpaksa menutup mulutnya. Sambil memikirkan kembali gerakan Marissa yang liar, Nathan juga merasakan hasratnya bangkit.

Saat Nathan melihat bahwa adegan ini hampir berakhir, dia baru merangkak mundur. Ada sebuah ruang rapat di sebelah kantornya Patrick. Biasanya, pintunya tidak dikunci. Oleh karena itu, Nathan menyelinap ke dalam ruangan itu dan bersandar di pintu sambil menguping dengan saksama. Dia pun mendengar suara kedua orang di ruangan sebelah berpakaian dan membersihkan ruangan itu.

Sesaat kemudian, kedua orang itu baru meninggalkan kantornya Patrick. Nathan terus menunggu hingga dia mendengar suara pintu besi di lantai bawah dan suara mobil melaju jauh sebelum dia berdiri tegak di dalam ruang rapat ini. Kemudian, dia berjalan ke kantornya dan mulai sibuk bekerja.

Namun, suasana hatinya Nathan sudah jauh membaik. Hingga saat hari sudah hampir pagi, dia baru menyelesaikan pekerjaannya. Nathan mengambil ponselnya dan membuka rekaman tadi. Sekarang, dia sudah memegang kelemahannya Marissa. Nathan bahkan memiliki niat untuk menyuruh wanita itu untuk memuaskan dirinya juga.

Pada Senin pagi, Nathan datang ke gedung kantornya pada jam-jam terakhir. Baru saja dia berbelok ke belakang untuk sarapan di kantin, dia bertemu dengan Marissa yang berjalan keluar dari kantin.

Wanita ini masih memakai rok pendek yang ketat dan stoking berwarna kulit. Melihatnya berjalan lenggak-lenggok, Nathan teringat akan pertunjukan yang dia saksikan antara wanita ini dengan Patrick. Terlebih lagi, Nathan tidak bisa menahan diri dari melihat ke bagian bawah tubuhnya Marissa.

"Kenapa kamu baru datang setelat ini?" Begitu Marissa melihat Nathan, dia langsung berkata dengan ekspresi datar, "Sudahkah kamu menyelesaikan materi yang aku serahkan padamu Jumat kemarin?"

"Sudah," jawab Nathan. Dia hampir membocorkan bahwa dia bekerja lembur pada Jumat malam. Namun, untung saja dia menghentikan dirinya tepat waktu. Jika dia mengucapkan kata-kata itu, bukankah artinya dia akan ketahuan menyaksikan kejadian malam itu?

"Kamu lihat apa?!" Marissa menyadari bahwa tatapan Nathan agak aneh, tatapan pria ini terus menyapu badannya. Dia pun memarahi Nathan dengan kesal. Di seluruh kantor pemerintahan, Nathan adalah satu-satunya orang yang berasal dari pedesaan. Keluarga pekerja lainnya berada di Kabupaten Hoya. Jadi, jika seorang anak desa seperti Nathan mengamati Marissa seperti ini, Marissa merasa bahwa hal ini seperti sejenis pelecehan terhadap dirinya sendiri.

"Mumpung kamu berada di sini, biar aku suruh kamu lakukan sesuatu lagi," kata Marissa sambil menyilangkan tangannya dengan gaya seorang petinggi di kantor.

Nathan seketika tercengang. Dalam hatinya, dia terus memarahi wanita ini. 'Belum juga aku sarapan, tapi dia sudah mau memberiku pekerjaan lagi!' Tanpa disadari, Nathan pun melihat ke arah kantin. Makanan di kantin ini lumayan enak, jadi setiap hari Senin, Nathan selalu makan di kantin. "Bu Marissa, aku belum sarapan ...."

"Lihatlah sikapmu ini! Siapa suruh kamu nggak makan di rumah? Karena makanan di kantin enak, kamu sengaja datang untuk makan enak, ya?" seru Marissa dengan ekspresi menghina. "Lagi pula, memangnya kalau nggak makan sekali kamu bisa mati kelaparan?"

"Baiklah, coba katakan, apa yang harus kulakukan?" Melihat ekspresi galak wanita ini, Nathan hanya bisa menahan emosinya. Paling-paling, dia harus pergi membeli roti di luar untuk sarapannya.

"Hari ini, akan ada kegiatan bersih-bersih. Sekolah SD dan SMP akan mengirimkan murid dan guru untuk menyapu jalanan, sekaligus membersihkan tempat pembuangan sampah di ujung timur," kata Marissa. Karena dia bertemu dengan Nathan di tempat ini, dia sekaligus memberi tahu Nathan pekerjaannya hari ini.

"Kita adalah pemerintahan rakyat, jadi kita harus mengerahkan kekuatan. Pak Gary, lurah kita, sudah berpesan, kita harus mengeluarkan sepuluh orang untuk membersihkan tempat pembuangan sampah. Kami sudah mengundang sembilan tenaga kerja dari desa, sisa satunya kamu yang pergi saja," kata Marissa.

"Bu Marissa, kalau kalian sudah mengundang sembilan orang, kenapa nggak langsung mencari satu orang lagi?" tanya Nathan. Begitu dia mendengar penjelasan Marissa, dia langsung naik darah. Memangnya tempat pembuangan sampah di ujung timur itu masih bisa disebut dengan nama itu? Tempat itu dekat dengan pintu masuk ke pasar sayur, jadi sayuran yang busuk dan sampah-sampah dari setiap rumah tangga di jalan itu bertumpuk di tempat itu. Biasanya, jika ada angin yang bertiup, orang yang lewat jalan itu pun bisa muntah-muntah.

"Memangnya mengundang tenaga kerja itu nggak perlu uang?" Marissa memelototi Nathan dan berkata, "Hari ini, di sini nggak ada banyak pekerjaan. Kalau seorang pekerja sementara sialan sepertimu nggak melakukan hal ini, apa lagi yang mau kamu lakukan? Memangnya kamu boleh bersantai? Lihatlah sikapmu ini! Kamu kira kamu sudah jadi bagian dari lembaga administrasi kami?"

"Bu Marissa, kita bisa bicara baik-baik, kamu nggak perlu mengataiku sialan!" Begitu Nathan mendengar ucapan Marissa, api amarah dalam hatinya langsung melonjak. "Bukankah kamu hanya bergantung pada tubuhmu untuk menjalin hubungan dengan Patrick? Kalau nggak, memangnya kamu bisa jadi direktur?" pikir Nathan.

"Sialan! Terus kenapa kalau aku memarahimu?" Melihat Nathan yang biasanya sangat patuh dan tunduk padanya berani melawan, Marissa berkata, "Biar kuberi tahu kamu, jangan lupakan identitasmu. Lakukan saja apa pun yang kusuruh. Kalau kamu membuatku marah, percaya, nggak, aku bisa langsung memecatmu?"

"Hehe." Nathan malah tertawa dengan sinis. Jika Marissa bisa berbicara dengan sekasar ini, semua orang juga tidak perlu menanggung akibatnya. Tanpa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, tidak akan ada perkembangan. 'Sebaiknya aku menunjukkan sikap asliku padamu. Lagi pula, aku memegang kelemahanmu. Apa yang perlu aku takutkan?!' pikir Nathan. "Berapa usiamu, Marissa? Bukankah kamu mencapai posisimu sekarang dengan bantuan pria?"

"Nathan Fabio!" Mendengar ucapan Nathan, ekspresi Marissa langsung berubah menjadi sangat masam. "Apa katamu?! Berengsek! Kalau kamu berani asal bicara lagi, hati-hati, aku bisa merobek mulutmu! Biar kuberi tahu kamu, kamu dipecat! Cepat pergi ambil gajimu dan pergi sekarang juga!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status