Share

Bab 0007

Keesokan harinya, Nathan bangun pagi. Ini merupakan kebiasaan yang dia dapatkan dari bekerja di kantor pemerintahan. Sebelumnya, dia sering ditindas oleh Marissa, jadi pagi-pagi sekali, dia harus sarapan dan beres-beres di kantor, lalu menyeduh teh dan sebagainya.

Linda Harley, ibunya Nathan, juga sudah mempersiapkan semeja penuh akan makanan. Nathan makan bubur dengan lahap, lalu mengeluarkan alat pancingnya. Ada sebuah tambak ikan di rumahnya, jadi selagi dia tidak ada kerjaan, dia pun berencana untuk pergi memancing ikan untuk lauk makan siangnya.

Namun, begitu Nathan keluar dari gerbang halaman rumahnya, dia hampir bertabrakan dengan seseorang. Setelah dia berdiri dengan baik, dia baru melihat bahwa ternyata orang itu adalah Lucius Sergio, sekretaris desa.

"Sialan! Kamu nggak punya mata, ya?!" Lucius mengelus dadanya yang kesakitan karena ditabrak oleh Nathan sambil memarahi Nathan. Fanni yang kemarin menertawakan Nathan di bawah pohon adalah istrinya Lucius.

Namun, Nathan tidak memiliki kesan yang baik terhadap Lucius. Pria ini gemuk, bergantung pada statusnya sebagai sekretaris desa, karena dia memegang kekuasaan kecil, dia mengganggu banyak wanita di desa.

Terlepas dari yang lainnya, ada dua wanita janda berusia 40-an tahun di daerah timur dan barat desa, ada juga istrinya tukang plester yang sering bekerja di luar. Selain itu, ada juga beberapa orang lainnya, Nathan hanya malas memikirkannya.

"Paman Lucius ...." Nathan memanggil pria ini dengan suara kecil. 'Sialan! Kalau aku masih bekerja di kantor pemerintahan, dia nggak akan meremehkanku seperti ini!' Sekarang, pria ini lebih kuat daripada Nathan, jadi bahkan jika Lucius memarahi Nathan, Nathan juga hanya bisa berpura-pura tidak mendengarnya.

"Ternyata kamu, ya!" seru Lucius. Dia baru melihat Nathan dengan jelas. "Oh iya, tadi, aku bertemu dengan Jasmine. Dia memintaku untuk sekaligus menyuruhmu pergi ke jamuan di rumahnya nanti siang. Katanya, beberapa teman sekelas kalian akan datang, jadi kalian bisa bertemu."

"Oh, baiklah! Nanti siang, aku akan pergi!" jawab Nathan sambil tersenyum. "Terima kasih, Paman Lucius."

"Aih, lihatlah kamu. Sebelumnya, saat kamu bekerja di kantor pemerintahan, ayahmu selalu bersikap bangga," kata Lucius sambil tersenyum. "Hidup manusia itu ada naik turunnya, untuk apa terlalu diperhitungkan .... Intinya, manusia harus menempatkan dirinya di posisi yang tepat!"

Seusai berbicara, Lucius bersenandung sambil berjalan pergi. Setelah melihat Lucius berjalan melewati halaman mereka, Nathan meludah di tanah, lalu berjalan menuju tambak ikannya dengan alat pancing di tangannya.

Tambak ikan di rumahnya Nathan tidak besar, dengan sebuah rumah kecil di sampingnya. Di dalamnya, terdapat sebuah meja dan kursi. Saat ada banyak benih ikan, Nelson biasanya mengawasi di tempat ini, untuk mencegah penduduk desa dari mencuri ikan pada malam hari. Nathan mengeluarkan kursi tersebut dan berbaring dengan santai. Dia mengamati riak air dalam kolam sambil berpikir dalam hatinya.

Sepertinya dia tidak bisa melarikan diri lagi dari jamuan yang diadakan oleh keluarganya Jasmine. Sebenarnya, Nathan tidak ingin menghadiri jamuan itu karena Keluarga Gabriel pasti mengundang kerabat mereka di desa dan teman sekelasnya Jasmine. Nathan tidak termasuk dalam keduanya.

Namun, Jasmine bahkan sudah membiarkan Lucius untuk menyampaikan hal ini pada Nathan. Jika Nathan tidak juga pergi, bukankah dia akan terkesan picik? 'Ya sudahlah, aku bisa pergi dipermalukan sebentar,' pikir Nathan.

Setelah sekian lama, tidak ada ikan yang terpancing. Sebuah ide muncul dalam benaknya Nathan. Dia mengeluarkan ponselnya. Setelah melihat tidak ada orang di sekelilingnya, dia menekan tombol untuk mematikan suara dan membuka video Marissa bersenang-senang dengan Patrick.

Nathan membuang napas dan berpikir, 'Wanita ini benar-benar lincah! Sayangnya, setelah aku meninggalkan kantor pemerintahan, aku sudah nggak bisa pergi mencari Marissa lagi.'

Sekarang, kantor Komite Partai dan kantor Departemen Eksekutif sedang berlawanan. Nathan tentu saja tidak akan mengganggu di tengah. Dia juga berharap Marissa akan mengingat dirinya setelah menjadi direktur, lalu membawanya kembali ke kantor pemerintahan.

Sekarang, jika dia pergi mencari Marissa hanya untuk melakukan hal itu, wanita ini kemungkinan akan menyetujuinya. Namun, setelah itu, sepertinya hubungan mereka akan berakhir di sini. Nathan juga tidak punya harapan untuk kembali lagi.

Jika Nathan menunggu hingga Marissa berhasil menduduki posisi direktur sebelum pergi mencari Marissa dengan ponselnya, dia paling-paling akan membiarkan Marissa mengangkatnya kembali, lalu menghapus foto-foto dan video tersebut. Tentu saja lebih baik lagi jika dia bisa melakukan hal itu dengan Marissa. Oleh karena itu, dua hal yang sama akan menghasilkan efek yang berbeda jika dilakukan dalam urutan yang berbeda.

"Hei, Nathan, kamu sudah dipecat, jadi hidupmu santai, ya?" Saat Nathan sedang menghayati rekaman tersebut, dia mendengar suara seorang wanita yang tajam, membuatnya terkejut hingga dia hampir melemparkan ponselnya ke tambak ikan.

Dia menoleh dan melihat Fanni yang sedang memegang cangkul dan menatap Nathan sambil tersenyum. Tepatnya, Fanni sedang melihat ke arah tonjolan di antara kedua kakinya Nathan.

Saat Nathan menyadari tatapan Fanni, dia merasa agak kesal. Wanita ini sepertinya datang mengatainya lagi. Tadi, saat Nathan menonton rekaman Marissa, dia terlalu terbawa suasana, hingga tubuhnya bereaksi. Dia pun agak mengangkat kakinya untuk menutupi rasa canggung ini.

"Apa yang kamu halangi?" tanya Fanni sambil tersenyum. Dia meletakkan cangkul di bahunya ke tanah dan berkata, "Kamu pasti lagi menonton yang nggak-nggak di ponselmu, 'kan? Nggak usah malu!"

"Bibi Fanni, bukan begitu," kata Nathan sambil menjulingkan matanya. 'Aku sudah dewasa, memangnya aku harus takut pada seorang wanita yang berusia 40-an tahun sepertimu?' pikir Nathan. "Wajar saja, 'kan, kalau seorang pria sepertiku bisa bereaksi saat memikirkan tentang wanita?"

"Memikirkan wanita?" Fanni kembali melirik selangkangan Nathan beberapa kali. Dia menyadari bahwa Nathan juga sesekali melirik ke arah dadanya, jadi dia sengaja berpura-pura merasa gatal di bagian tersebut dan mulai menggaruknya.

Gerakan ini membuat Nathan menelan air liurnya. "Siapa gadis di desa ini yang bisa membuat Nathan memikirkannya seperti ini?" tanya Fanni.

"Aku memikirkan tubuhnya Bibi Fanni!" Nathan tertawa terbahak-bahak dan berpikir, 'Kamu mau main-main, ya? Ayo saja!' Kemudian, dia berkata lagi, "Tadi, aku memimpikan badannya Bibi Fanni, makanya tubuhku bereaksi."

"Cih!" Fanni membalikkan badannya dan berkata, "Kamu mau pegang? Aku ingin melihat punyamu, apakah kamu mau menunjukkannya padaku? Kalau berani, tunjukkanlah padaku, aku akan membiarkanmu memegang punyaku! Bagaimana? Kalau berani, cepat lepaskan."

"Emm ...." Nathan kehabisan akal. Sepertinya, dia masih kurang pengalaman. Dia masih kalah dari Fanni, jadi kali ini, Nathan menyerah.

"Nggak berani, 'kan?" Fanni kembali meletakkan cangkul di bahunya, seperti sudah menang. "Kamu ini, nggak cocok kerja di kantor pemerintahan. Kamu kurang semangat! Kamu sudah ditakdirkan menjadi pecundang yang nggak ada gunanya!"

'Dasar wanita jalang!' Nathan mengumpat dalam hatinya. 'Sepertinya, tanpa senjata ajaib, kamu benar-benar nggak bisa dikendalikan.' Nathan pun berdiri dari kursinya dan berkata, "Bibi Fanni, kamu yang bilang, ya! Kalau aku berani menunjukkannya padamu, kamu berani membiarkanku memegang punyamu!"

"Aku selalu menepati ucapanku!" Fanni yang hendak pergi pun melemparkan cangkulnya di tanah dan berkata, "Asalkan kamu berani memegangku, aku berani membiarkanmu bermain denganku!"

"Baiklah!" Nathan menunjuk ke arah Fanni, lalu melihat ke sekeliling. Sekarang, hari masih pagi, jadi belum ada banyak orang di sekitar. Nathan pun seketika menurunkan celananya.

"Astaga!" Dengan terkejut, Fanni berseru, "Gede sekali!"

"Sudah, 'kan?" Nathan mengangkat kembali celananya dengan bangga, lalu berkata, "Bibi Fanni, aku sudah menunjukkan milikku, kamu juga harus membiarkanku memegang punyamu, 'kan?"

"Kamu benar-benar mau pegang?" tanya Fanni sambil berjalan menghampiri Nathan. Setelah melihat tidak ada orang di sekitar mereka, dia bertanya dengan suara kecil, "Kalau kamu benar-benar mau pegang, nanti malam, datanglah ke rumah Bibi. Bibi akan membiarkanmu memegang sampai puas. Oke?"

"Emm ...." Nathan merasa aneh melihat sikap Fanni seperti ini. Apakah wanita ini salah minum obat?

"Kenapa? Nggak mau, ya? Kamu takut lagi?" tanya Fanni dengan suara kecil.

"Bukan nggak berani," jawab Nathan sambil tersenyum dan menyentuh belakang kepalanya. "Paman Lucius berada di rumah, kalau aku pergi ke sana, bukankah namanya aku cari mati?"

"Keluarga Gabriel mengadakan jamuan makan. Pada malam hari, suamiku akan minum-minum di sana. Kamu juga tahu, 'kan, pemabuk itu nggak rela pulang sebelum minum hingga jam delapan atau sembilan malam?" bisik Fanni sambil melirik ke bawah lagi. "Menurutmu, kenapa punyamu sebesar itu?"

"Ini bawaan lahir!" jawab Nathan sambil tersenyum dengan bangga. Melihat tidak ada orang di sekitar, dia mengulurkan tangannya dan memegang tubuhnya Fanni. Meskipun rasanya agak lunak, bagaimanapun, itu tubuh wanita! "Baiklah kalau begitu, nanti malam, aku akan pergi ke rumahmu!"

Setelah mencapai kesepakatan, Fanni membawa cangkulnya dan berjalan pergi dengan lenggak-lenggok. Nathan kembali berbaring di atas kursi. Sekitar pukul 11, dia tidak juga memancing seekor ikan pun. Saat dia mengangkat kailnya, dia baru menyadari bahwa tidak ada umpan yang tergantung di kail. Dalam hatinya, dia memarahi dirinya sendiri bodoh. Dia pun memasukkan semua peralatan memancing ke dalam rumah kecil itu, mengunci pintu dan berjalan ke rumahnya Jasmine.

Setelah berpamitan dengan Linda, baru saja Nathan berjalan keluar, Linda langsung mengejar ke luar sambil berseru, "Nathan, sebelum makan malam, pergi beli kecap di rumah Pak Lucius!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status