Entah apa yang ada di gambar tersebut. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Di penglihatanku, itu hanya seperti bulatan kecil saja.
Walau begitu, rasanya ada banyak kembang api yang meletup-letup di dalam dada ini. Ya Rabbi, aku bahagia sekali. Rasanya masih tidak percaya kalau ternyata aku bisa hamil."Oke, sudah!"Dokter Risa pun beranjak, lalu bergerak menuju ke meja kerjanya diikuti oleh Steven.Aku lalu menutup kembali perutku setelah bekas gel yang masih tertinggal dibersihkan oleh perawat tadi. "Makasih, Mbak," ucapku kepadanya.Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk pelan. Ia pun membantu aku duduk.Aku kemudian menyusul meletakkan bokong ini di samping Steven. Kuraih jemari lelakiku yang berada di atas lututnya demi menetralisir rasa yang tengah membuncah di dalam dada."Oke, sekali lagi selamat. Kamu punya anak lagi, Bro!" ucap Dokter Risa lagi, "Tasya pasti senang punya adik. Hehehe."Steven mengul"Kamu makan malam di rumah nggak?" tanyaku kepada Steven di saluran telepon seluler ketika hampir magrib dia belum juga pulang kerja."Aku lembur. Makan di kantor," sahutnya.Aku mencebik. "Steve ... aku kangen ...," tuturku manja. "Hmm."Ish! Balik lagi sikap sok cool-nya!"Baby kita juga kangen." Aku tersenyum."Aku masih ada kerjaan. Nanti aku pulang malam. Jangan tunggu aku.""Ck!" Aku berdecak kesal. "Ya udah!" Aku pun memutuskan sambungan telepon kami.Steven selalu saja sibuk! Iya, aku tahu dia punya banyak kerjaan. Tapi 'kan, kata Mommy ada siapa itu? Nico. Entah siapa Nico. Kasih aja kerjaan ke Nico. Katanya mau ajak aku bulan madu. Kapan kalau sibuk terus kayak begini?Aku beranjak dari dudukku di sofa. Kemudian berdiri di hadapan cermin besar yang ada di pintu lemari.Kusingkap baju kaus yang kukenakan sampai perut ini terlihat. Perutku masih terlihat rata. Kapa
[Man, Kakak sudah siap, nih. Kamu juga siap-siap ya!] Chat-ku kepada Manda. Tadi malam aku sudah mengabari Steven kalau hari ini mau ke rumah sakit lagi. Pas juga saat ini Manda dalam keadaan libur. Minggu tenang untuk persiapan menghadapi ujian pekan depan. Jadi, sekalian kuajak dia pergi barengan.[Oke, Kak! Aku mandi sekarang!]Setelah melihat balasan sepupuku itu, aku segera meraih tas dan berjalan ke luar kamar. Selanjutnya aku berjalan ke arah belakang rumah, karena ibu mertuaku ada di sana tadi bersama asisten sekaligus sahabatnya, Bu Narsih."Sudah mau pergi?" tanya Mommy yang sedang santai memperhatikan Leha yang tengah membersihkan dedaunan kering di sekitar taman.Aku sudah bilang ke Mommy kalau ingin menjenguk Bibi lagi pagi ini ketika sarapan tadi. "Iya, Mom," jawabku sembari mengulurkan tangan ke arah Mommy hendak bersalaman pamit."Oh, ya udah. Hati-hati di jalan." Aku mengecup punggung telapak
Aku dan Manda berpandang-pandangan. Kami terkesima."Manda! Panggil dokter!" Seketika saja aku teringat kalau harus memanggil dokter.Manda segera memencet sebuah tombol di atas brankar Bi Eli.Aku mendekat ke arah kepala Bibi dengan degup jantung yang bertalu kencang. "Bi ...." Aku mencoba memanggil Bibi di dekat telinga beliau."Mmmghh ...." Kembali Bi Eli bergumam.Aku memandang ke arah Manda sebentar. Kami merasa takjup. Bayangkan, setelah sekian bulan Bibi tidak sadar, akhirnya ia siuman! Allaahu akbar! Engkau benar-benar Maha Besar ya Allah ...!Tanpa sadar air mata ini menyeruak, mengalir, dan membasahi pipi ini ketika melihat Bibi perlahan membuka kedua matanya. "Bibi ....""Ibuuu ...." Manda memeluk ibunya sembari terisak karena haru.Ceklek!Aku dan Manda tersentak karena tiba-tiba pintu terbuka. Rupanya datang dua orang perawat di sana. Sementara Mas Wahyu dan Shela pun melongok dengan sorot
"Iya iya. Terima kasih! Bibi sekarang sudah siap kalau Nak Wahyu mau melamar keponakan Bibi ini," ujar Bi Eli sembari menepuk pelan punggung tanganku yang masih memegang bahu beliau.Deg!Mendengar hal itu aku hanya bisa terdiam. Bibir yang sedari tadi tertarik ke atas pun seketika saja langsung terturun kembali. Ya, aku hampir lupa. Bibi tidak tahu kalau aku saat ini sudah menikah dengan Steven. Bagaimana ini? Bagaimana cara aku menjelaskan kepada Bibi agar beliau tidak salah paham?Mas Wahyu pun hanya bisa tersenyum kikuk di sana. Begitu juga Manda. Intinya suasana berubah menjadi awkward saat ini."Kenapa?" Bi Eli seakan menyadari suasana yang berubah di sekitar kami. "Bibi salah ngomong apa?" tanya beliau."Nanda pasti seneeng banget kalau dengar Ibu udah siuman begini ...!" celetuk Manda mengalihkan pembicaraan. Gadis itu melebarkan senyuman manisnya."Eh, iya. Adikmu ke mana ini?" tanya Bi Eli.Ah, syukurlah. Manda berhasil mengalihkan pembahasan Bibi."Manda masih di sekolah,
Dengan ragu-ragu akhirnya aku pun menggeser logo hijau di layar ponsel. Takutnya malah Steven curiga kalau aku tidak menjawab teleponnya."Assalamualaikum ...," ucapku dengan irama jantung yang berdegup kencang.Mas Wahyu mengalihkan pandangannya ke arah luar kantin."Wa alaikumus sallam. Kenapa lama angkat teleponnya?" tanya priaku dari seberang sana."A–aku lagi di rumah sakit," jawabku, "mmm ... Steve, Bibiku sudah sadar!" Dengan cepat aku bercerita. Agar pria bule itu tidak bertanya-tanya lagi."Oh ya? Bagus kalau begitu." "Iya. Aku senang." Aku menyunggingkan senyuman, "kamu kapan ke bandara Supadio?" tanyaku."Ini aku baru selesai makan siang. Nanti jam dua-an baru ke bandara. Kamu sudah makan? Ingat, kamu mesti makan tepat waktu." Walau dengan suara datar seperti itu, hatiku bahagia, suamiku ini masih perhatian kepada istrinya. Namun, aku menahan senyuman ketika sadar Mas Wahyu masih di depan. Meskipun aku tahu ia berpura-pura mengalihkan pandangan, tetapi aku sadar, dia tentu
"Steve!" Sontak aku menghambur memeluk Steven sampai ia sedikit terhuyung ke belakang. Sungguh, aku rindu sekali padanya. Kukecup lekat rahang berbulunya.Pria itu mengelus pelan punggungku tanpa berkata apa pun. Entah mengapa tiba-tiba mata ini dipenuhi kaca-kaca. "Aku kangen banget ...," rengekku sembari menatap wajah tampan suamiku yang tampak sedikit lelah itu.Steve hanya menarik sedikit kedua ujung bibirnya ke atas. Ia masih terdiam. "Kenapa? Kamu nggak kangen sama aku?" tanyaku sembari mengerucutkan bibir."Aku capek," sahut Steve sambil melepaskan tangannya dari tanganku."Kamu mau mandi? Aku siapin air hangat dulu!" Aku segera melangkah ke arah kamar mandi."Nggak usah!" cegahnya membuatku menghentikan langkah."Biar aku sendiri. Aku mau mandi air dingin," katanya sembari melepas jasnya.Aku segera meraih jas hitam itu dari tangannya, kemudian melipat kasar benda itu dan meletakkannya ke atas nakas. "Kamu pusing kenapa?" tanya Steven sembari menatap lekat ke arah mataku."M
Kembali kulihat jam ke layar ponsel. Sudah lebih dari satu jam Steven meninggalkan aku sendirian di kamar. Aku heran. Apa yang terjadi dengan pria blasteran itu? Apa dia tidak rindu setelah hampir sepekan pergi ke Kalimantan? Tidak ... tidak!Aku tahu dan sangat paham tadi ia juga berhasrat, sama denganku. Namun, mengapa di tengah percumbuan tadi dia tiba-tiba berubah pikiran?Ah, sebaiknya aku cari dia!Segera aku turun dari tempat tidur dan meraih baju kimono untuk menutupi gaun tidurku yang menerawang. Lantas aku ke luar dari kamar.Aku berjalan ke arah ruang tengah, tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana. Kemudian aku menuju ke kamar tamu, kamar di mana waktu itu Steven menginap di situ. Kubuka pintu berwarna coklat tersebut. Hmm, tidak ada siapa-siapa di situ."Ke mana Steven?" gumamku pada diri sendiri.Ah, aku coba saja mencarinya di ruang gym. Apa mungkin dia di sana?Kulangkahkan kaki de
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. "Sudahlah, kamu nggak usah mikir yang macam-macam. Kamu mau barang apa, mau makan apa, bilang aja sama aku," ujarnya santai.Aku masih mengerutkan kening. Masak selama hamil nggak boleh berhubungan intim? Hamil muda katanya tadi. Jadi, kalau sudah hamil tua baru boleh? Lama dong? Yang benar aja. Memang ini kehamilanku yang pertama. Sebelumnya aku belum punya pengalaman sama sekali. Tapi ... kok, rasanya aku tidak bisa menerima jika hanya karena alasan hamil, sepasang suami-isteri tidak boleh melakukan hubungan seksual yang mana jelas-jelas itu kebutuhan biologis yang halal bagi yang sudah sah. "Ada buah nggak?" tanya Steven."Kok, kamu jadi ngalihin omongan?" tanyaku lagi."Kita bikin rujak, yuk!" ajaknya.Aku menyambar pergelangan tangan suamiku ketika ia hendak beranjak dari sofa, sehingga gerakannya pun terhenti. Kembali ia menatap lekat ke arah mataku.