Dengan ragu-ragu akhirnya aku pun menggeser logo hijau di layar ponsel. Takutnya malah Steven curiga kalau aku tidak menjawab teleponnya."Assalamualaikum ...," ucapku dengan irama jantung yang berdegup kencang.Mas Wahyu mengalihkan pandangannya ke arah luar kantin."Wa alaikumus sallam. Kenapa lama angkat teleponnya?" tanya priaku dari seberang sana."A–aku lagi di rumah sakit," jawabku, "mmm ... Steve, Bibiku sudah sadar!" Dengan cepat aku bercerita. Agar pria bule itu tidak bertanya-tanya lagi."Oh ya? Bagus kalau begitu." "Iya. Aku senang." Aku menyunggingkan senyuman, "kamu kapan ke bandara Supadio?" tanyaku."Ini aku baru selesai makan siang. Nanti jam dua-an baru ke bandara. Kamu sudah makan? Ingat, kamu mesti makan tepat waktu." Walau dengan suara datar seperti itu, hatiku bahagia, suamiku ini masih perhatian kepada istrinya. Namun, aku menahan senyuman ketika sadar Mas Wahyu masih di depan. Meskipun aku tahu ia berpura-pura mengalihkan pandangan, tetapi aku sadar, dia tentu
"Steve!" Sontak aku menghambur memeluk Steven sampai ia sedikit terhuyung ke belakang. Sungguh, aku rindu sekali padanya. Kukecup lekat rahang berbulunya.Pria itu mengelus pelan punggungku tanpa berkata apa pun. Entah mengapa tiba-tiba mata ini dipenuhi kaca-kaca. "Aku kangen banget ...," rengekku sembari menatap wajah tampan suamiku yang tampak sedikit lelah itu.Steve hanya menarik sedikit kedua ujung bibirnya ke atas. Ia masih terdiam. "Kenapa? Kamu nggak kangen sama aku?" tanyaku sembari mengerucutkan bibir."Aku capek," sahut Steve sambil melepaskan tangannya dari tanganku."Kamu mau mandi? Aku siapin air hangat dulu!" Aku segera melangkah ke arah kamar mandi."Nggak usah!" cegahnya membuatku menghentikan langkah."Biar aku sendiri. Aku mau mandi air dingin," katanya sembari melepas jasnya.Aku segera meraih jas hitam itu dari tangannya, kemudian melipat kasar benda itu dan meletakkannya ke atas nakas. "Kamu pusing kenapa?" tanya Steven sembari menatap lekat ke arah mataku."M
Kembali kulihat jam ke layar ponsel. Sudah lebih dari satu jam Steven meninggalkan aku sendirian di kamar. Aku heran. Apa yang terjadi dengan pria blasteran itu? Apa dia tidak rindu setelah hampir sepekan pergi ke Kalimantan? Tidak ... tidak!Aku tahu dan sangat paham tadi ia juga berhasrat, sama denganku. Namun, mengapa di tengah percumbuan tadi dia tiba-tiba berubah pikiran?Ah, sebaiknya aku cari dia!Segera aku turun dari tempat tidur dan meraih baju kimono untuk menutupi gaun tidurku yang menerawang. Lantas aku ke luar dari kamar.Aku berjalan ke arah ruang tengah, tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana. Kemudian aku menuju ke kamar tamu, kamar di mana waktu itu Steven menginap di situ. Kubuka pintu berwarna coklat tersebut. Hmm, tidak ada siapa-siapa di situ."Ke mana Steven?" gumamku pada diri sendiri.Ah, aku coba saja mencarinya di ruang gym. Apa mungkin dia di sana?Kulangkahkan kaki de
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. "Sudahlah, kamu nggak usah mikir yang macam-macam. Kamu mau barang apa, mau makan apa, bilang aja sama aku," ujarnya santai.Aku masih mengerutkan kening. Masak selama hamil nggak boleh berhubungan intim? Hamil muda katanya tadi. Jadi, kalau sudah hamil tua baru boleh? Lama dong? Yang benar aja. Memang ini kehamilanku yang pertama. Sebelumnya aku belum punya pengalaman sama sekali. Tapi ... kok, rasanya aku tidak bisa menerima jika hanya karena alasan hamil, sepasang suami-isteri tidak boleh melakukan hubungan seksual yang mana jelas-jelas itu kebutuhan biologis yang halal bagi yang sudah sah. "Ada buah nggak?" tanya Steven."Kok, kamu jadi ngalihin omongan?" tanyaku lagi."Kita bikin rujak, yuk!" ajaknya.Aku menyambar pergelangan tangan suamiku ketika ia hendak beranjak dari sofa, sehingga gerakannya pun terhenti. Kembali ia menatap lekat ke arah mataku.
Lebih dari satu pekan telah berlalu. Terus terang saja, aku benar-benar merasa rindu dengan sentuhan Steven. Usia kandunganku kalau dihitung-hitung, sudah menginjak pekan ke sembilan. Artinya sudah dua bulan lebih.Aku masih sering merasa mual dan muntah. Namun, Mommy selalu perhatian. Beliau selalu rewel kepada para asisten agar menjagaku. Beliau menyuruh mereka untuk segera menyediakan minuman hangat untukku jika mual atau pun jika aku sampai muntah.Leha juga selalu siap memijat-mijat tubuhku jika aku merasa tidak enak badan. Aku bersyukur, walaupun Steven selalu sibuk, tetapi masih ada Mommy di sampingku. Beliau sudah seperti ibuku sendiri.Karena alasan sibuk pula, Steven kembali meralat janjinya. Ia masih belum bisa menemani aku untuk berkonsultasi kepada Dokter Risa.Padahal sesekali aku merasakan kalau dia juga berhasrat untuk menyentuhku. Namun, tiap kali ia terlihat seperti itu, maka pria itu pun keluar dari kamar. Bahkan kemarin dia tid
"Memang Mommy bilang begitu?" tanya Steven ketika aku menjelaskan apa yang Mommy sampaikan tadi pagi sebab ia kembali ingin tidur di kamar tamu. Hal itu karena ia tidak mau tergoda untuk menyentuhku. Akhir-akhir ini dia memang tampak lebih sensitif jika aku sedikit saja mendekat."Iya, memang begitu," tegasku."Oke, lusa kita ketemu dengan Risa. Kita tanya kejelasannya," ujar Steven sembari melangkah menuju keluar kamar."Loh, kok, nanya Dokter Risa lagi? Kamu nggak percaya dengan Mommy?" protesku.Steve menghentikan langkahnya. "Bukan nggak percaya ... tapi, biar lebih memastikan saja. 'Kan, dia ahlinya.""Steveee ...," rengekku sembari melangkah lebar lantas memegang tangannya mencegah ia untuk melangkah pergi, "aku kangen tahuuuu ...!"Pria itu menatapku lekat. Begitu juga aku, menatapnya penuh permohonan. Aku lelah, sudah mau sebulanan kami begini. Seperti bukan suami-istri saja. Apa lagi sekarang, dia mulai tidur d
Aku melirik ke arah Steven yang sibuk menyetir di sana. Ya, kami pergi tidak bersama Pak Hardi karena pria itu izin untuk pemeriksaan rutin sang istri.Suami buleku itu hanya diam tidak berkata apa-apa sejak dari klinik Dokter Risa tadi. Apa dia juga berpikir sama sepertiku tentang bagaimana menjalani kehamilanku ini? Kembali aku mengarahkan pandangan ke depan dengan tatapan yang kosong."Kamu jangan sedih."Terdengar suara bariton itu yang memecah keheningan di antara kami.Aku menoleh ke arahnya dan begitu juga ia. Menoleh ke arahku sejenak, lantas kembali melihat ke depan mengendalikan laju kendaraan roda empat ini."Aku kangen kamu, Steve," lirihku sembari menundukkan pandangan.Pria itu meraih sebelah tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku nggak ke mana-mana," timpalnya."Tapi kamu rasanya makin menjauh ...," ujarku menahan sesak di dalam dada.Ya, beberapa waktu belakangan, aku merasa ia semakin jauh saja.
"Belum ... tapi nanti bakalan aku kasih tahu," sahutku."Kapan?" tanya pria bule itu dengan sorot mata yang menuntut."Steve ... Bibi baru aja siuman dari koma. Aku nggak mau nanti Bibi kaget jika mendengar berita aku sudah nikah sama kamu, kamu tahu sendiri gimana penilaian Bi Eli tentang kamu," jelasku, "mmm, dan aku mau nginepnya sepuluh hari, ya?" lanjutku bertanya."Sepuluh hari?" Steven mengulang omonganku, "Nggak ... nggak!" tegasnya sembari bangkit berdiri."Steve ... aku mau kamu ngerti. Aku butuh waktu untuk mencari momen yang tepat untuk memberitahukan hubungan kita ke Bibi!" jelasku pada pria keras itu."Biar aku yang ngomong ke Bibi kamu kalau kamu bingung mau bicara bagaimana!" ujarnya mulai tampak menegang."Ck!" Steven kenapa sih, nggak mau ngerti begini? "Apa? Benar, 'kan? Kalau kamu bingung mau ngomong apa, biar aku yang bicara ke Bibimu!" ulangnya sekali lagi."Steve, kamu ngertiin posisi aku