Tak terasa, hampir dua tahun lamanya aku tinggal di ibukota, jauh dari Desa, dan kedua orang tua.Kerja kerasku selama bekerja di sini sangatlah membuahkan hasil. Dapat merenovasi rumah yang di desa menjadi lebih besar dan megah, memiliki satu hektar sawah dan tabungan puluhan juta.Aku juga telah memiliki sebuah mobil. Kendaraan ini hadiah dari Pak Sutiyoso saat aku berulang tahun bulan November tahun lalu.Semenjak bekerja di kantor, hubunganku dengan Pak Sutiyoso mulai renggang. Selain karena kesibukan bekerja, istri Pak Sutiyoso selalu mengontrol keuangan yang dipegang oleh laki-laki tua itu. Kadang kala, Ratna Ayu turun tangan dalam mengelola perusahaannya. Alhasil, si Bandot tua tidak bisa lagi leluasa menggunakan uang. “No money, no Wulan!” Aku menjawab dengan tegas kala Pak Sutiyoso ingin mengajak kencan.Transferan yang dulu ia kirim dua minggu sekali, sekarang hanya kalau aku minta saja. Tidak ada lagi rutinitas surprise transferan yang dikirim Pak Sutiyoso.Sudah tak jadi
Perlahan kubuka kedua mata. Kepala masih terasa pusing. Pandangan pun masih sedikit mengabur. Beberapa kali mengerjapkan mata. Lalu, jelaslah sesosok laki-laki bertubuh tambun hanya mengenakan celana pendek sedang berdiri menghadap kaca jendela sambil menelpon. Dia, Pak Sutiyoso.“Aku benar-benar tak menyangka, kalau si Wulan itu masih perawan!”Mataku membulat saat mendengar ucapan si Pak Tua. Kusibak selimut yang menutupi tubuh. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa tak ada sehelai benang pun yang melekat pada tubuhku?Aku menelan ludah berkali-kali. Mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Tetapi, nihil! Aku tidak mengingat apapun.Mencoba untuk bangkit, namun sekujur badan terasa remuk, ngilu dan perih pada area sensitif. Tidak! Tidak mungkin Pak Sutiyoso tega memperkosaku! Ini pasti mimpi! Aku pasti sedang bermimpi. Kucubit lengan dengan keras, aw sakit! “Kalau tidak kuberi obat tidur, aku tak akan bisa menyipi kemolekan tubuhnya. Semalam aku benar-benar puas! Aku sengaja minu
Seminggu sudah masa cutiku. Hari ini mulai masuk kantor kembali. Namun, kejadian malam itu masih terus saja menghantui. Aku tetap tidak terima perlakuan si tua bangka yang telah merenggut paksa kesucianku. Hingga detik ini, Ambu dan Abah tidak mengetahui kejadian memalukan tersebut. Biarlah semuanya menjadi rahasia. Aku tak mau membuat mereka bersedih, khawatir dan kecewa.Selama satu minggu, aku gunakan untuk berpikir membalaskan dendam pada Sutiyoso!Akhirnya aku dapatkan cara untuk membuatnya menderita seumur hidup. Nomor ponsel pun aku ganti. Hanya segelintir orang yang mengetahui. Keluargaku, Bang Suryadi dan Pak Dewa. “Saya mohon, Pak. Jangan beritahukan nomor ini ke dia! Saya mohon ....” pintaku pada Pak Dewa saat memberi tahu nomor baru di ruangannya. Pak Dewa menarik napas panjang. Lelaki yang selalu bersikap sopan padaku, menumpu kedua tangan di atas meja.“Kamu tenang saja. Saya juga sebenarnya sangat marah atas kelakuan dia terhadap kamu. Tidak mungkin akan saya berita
“Saya khawatir jika Anda membalas kebaikan yang telah saya lakukan, kita akan menjadi semakin dekat. Kalau sudah dekat secara otomatis Anda akan tertarik dengan saya, dan ketertarikan itu semakin hari semakin meningkat, saya tidak mau itu terjadi. Karena pasti akan menyiksa Anda.” Bambang menjeda kata, lalu menghela napas.“Cinta bertepuk sebelah tangan itu sangatlah tidak menyenangkan. Anda pasti akan tersiksa. Kenapa saya berkata demikian? Karena tak mungkin saya membalas cinta yang mulai bersemi dalam hati Anda pada saya. Mohon maaf, saya masih beristri.” Jelasnya panjang lebar.“Apaan sih? Gak ngerti deh! Percaya diri amat kalau aku benar-benar cinta sama dia.” Aku membathin. Bambang ini terkadang otaknya seperti berlian, apalagi saat bertemu klien atau melakukan presentasi. Selalu membuat orang-orang terpukau. Tapi kadang juga otaknya seperti kerikil. Kugelengkan kepala, lalu bersikap seolah mengerti dengan apa yang diutarakannya.“Oh gitu, Pak.” Sahutku seraya tersenyum.“Maaf
Pukul 05.45, aku terbangun. Kedua mata mengerjap, lalu tertuju pada bungkusan berwarna biru putih yang terletak di atas nakas samping tempat tidur. Rasa takut dan cemas menjalari tubuh. Ada keraguan untuk melakukan test urine menggunakan alat tersebut. Takut kalau hasilnya dua garis. Aku menggelengkan kepala. Tidak! Pasti hanya satu garis.Aku menghela napas, kemudian menuju toilet. Meski diliputi kecemasan, tespeck itu tetap aku bawa.Setelah melakukan tes, tanpa melihat hasilnya, aku masukan kembali tespeck ke dalam bungkusnya. Lalu membasuh sekujur badan dengan air. Mandi.*** Keluar kamar, Mbak Ratih dan Mbok Rukmi sedang berkutat di dapur. “Saras belum bangun, Mbak?” tanyaku begitu berdiri di sampingnya. Mbak Ratih rupanya tidak menyadari kehadiranku, dia memegang dada karena kaget aku menyapanya.“Aduh Wulan, Mbak ampe kaget. Kirain siapa. Jantung Mbak serasa mau copot, Lan," katanya terkekeh, menepuk-nepuk dadanya.“Jam tiga subuh dia bangun, sekarang udah tidur lagi. Kamu u
Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran tak menentu. Membayangkan nasib di kemudian hari. Kehamilan yang seharusnya membuat para wanita bahagia justru menjadi petaka untuk kehidupan yang sedang aku jalani. Kehamilan yang akan menghambat karirku, Kehamilan yang akan menjadi aib, kehamilan yang akan mencoreng nama baik keluarga yang baru saja terangkat martabatnya. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus mengenal laki-laki yang bernama Sutiyoso? Kenapa takdir seolah tak mengizinkan hidupku menjadi lebih baik?Bagaimana jika semua orang tahu, kalau aku hamil di luar nikah? Bagaimana jika kelak anak ini menanyakan siapa ayahnya? Anak ini harus tidak ada. Dia tidak boleh lahir. Lebih baik dia mati dari pada harus tahu siapa ayah yang sesungguhnya.Ambu ... Abah ... maafin Neng, karena tidak bisa menjaga diri dengan baik ....Teringat kembali pesan Ambu agar menjauhi Sutiyoso tempo hari. Andai saja waktu itu aku menuruti pesan wanita yang melahirkanku itu agar segera menjauhi
Setelah tiga hari di rumah sakit, akhirnya diizinkan pulang oleh dokter. Tak lupa aku meminta resep obat anti mual. Tujuannya supaya orang lain tidak mengetahui perihal kehamilanku.Selama tiga hari pula, ponsel aku nonaktifkan. Alhasil, begitu diaktifkan berderet pesan yang masuk. Tertera pesan dari Bang Suryadi, Pak Dewa dan dari Jaka, adik pertama. Kubuka pesan Jaka terlebih dahulu.[Teh, aktifin atuh nomorna. Ambu cemas.][Kalau besok teteh gak ada kabar, Ambu sama Jaka mau nyusulin teteh!Ya ampun, berarti hari ini. Mereka tidak boleh ke sini. Tidak mau ada keluarga yang mengetahui keadaanku saat ini. Segera kutekan nomor Ambu. “Neng, kamu teh kamana wae? Gimana kabar Neng? Sehat? Baik-baik saja? Ambu cemas pisan, Neng ....” cecar Ambu saat telepon tersambung.“Ada, Ambu ... Maaf, Neng sibuk pisan. Ambu, Abah dan Adek-Adek sehat?” tanyaku berusaha bersikap biasa-biasa saja.“Sehat. Eh, sebentar. Ini Abah mau bicara.”Terjadi keheningan beberapa saat."Hallo, Neng?"“Hallo, Abah?
Setibanya di apartemen, aku langsung menuju kamar mandi. Memuntahkan rasa mual yang mendera. Luar biasa baunya, berasa masih tercium bau badan si Bambang. Hadeuh ....Badanku harus segera dibersihkan. Bau badan Bambang serasa menempel pada tubuh. Usai membersihkan badan, mengecek kembali ponsel. Tadi ada beberapa pesan yang belum sempat aku baca. Pesan dari Bang Suryadi.[Lan, kamu lagi di mana? Berkali-kali Abang ke apartemen, kamunya gak ada.][Mbak Ratih cemasin kamu, Wulan. Nomornya aktifin dong! Ratih nangisin kamu terus tuh!]Benarkah? Lagi-lagi telah membuat mereka cemas. Lebih baik sekarang aku telepon. Masih jam tujuh malam.“Hallo, Bang!” Terdengar suara dentuman musik keras. Pasti Bang Sur sedang di tempat karaoke.“Hallo, Lan? Wulan?? Bicaranya yang keras, Abang gak kedengaran!!” Suara Bang Sur seperti orang yang sedang berteriak. Tanpa bicara panjang lebar, aku matikan ponsel. Lebih baik aku kirim pesan saja.[Wulan ada, Bang. Maaf Wulan gak sempat kasih kabar.][Telepo