Setibanya di apartemen, aku langsung menuju kamar mandi. Memuntahkan rasa mual yang mendera. Luar biasa baunya, berasa masih tercium bau badan si Bambang. Hadeuh ....Badanku harus segera dibersihkan. Bau badan Bambang serasa menempel pada tubuh. Usai membersihkan badan, mengecek kembali ponsel. Tadi ada beberapa pesan yang belum sempat aku baca. Pesan dari Bang Suryadi.[Lan, kamu lagi di mana? Berkali-kali Abang ke apartemen, kamunya gak ada.][Mbak Ratih cemasin kamu, Wulan. Nomornya aktifin dong! Ratih nangisin kamu terus tuh!]Benarkah? Lagi-lagi telah membuat mereka cemas. Lebih baik sekarang aku telepon. Masih jam tujuh malam.“Hallo, Bang!” Terdengar suara dentuman musik keras. Pasti Bang Sur sedang di tempat karaoke.“Hallo, Lan? Wulan?? Bicaranya yang keras, Abang gak kedengaran!!” Suara Bang Sur seperti orang yang sedang berteriak. Tanpa bicara panjang lebar, aku matikan ponsel. Lebih baik aku kirim pesan saja.[Wulan ada, Bang. Maaf Wulan gak sempat kasih kabar.][Telepo
Suara itu seperti milik Bambang. Aku membalikkan badan. Memastikan siapa laki-laki yang sedang memegang pundakku.“Wulan ngapain berdiri di sini?” Melihat Bambang di depan mata, segera kutarik tangannya menuju mobil.“Cepetan buka pintu mobilnya!!”Begitu aku dan ia duduk dengan nyaman, kusuruh dirinya menancapkan gas.Aku mengembuskan napas lega. Sutiyoso benar-benar gila. Tidak waras! Rupanya dia sama sekali tidak merasa bersalah! “Kok kamu bisa tahu sih kalau aku lewat sini? Atau emang sengaja nungguin aku?” Aku menoleh melihat gelagat percaya diri yang Bambang tonjolkan. Pria ini benar-benar lucu! Selalu membuatku tersenyum.Aku duduk miring menghadapnya. Kugamit lengan kekar Bambang sambil merebahkan kepala.“Iya, Mas ... dari tadi tuh Wulan nungguin Mas Ambaaaangg ....” kataku manja.Aku mendongak melihat ekspresi wajah duren alias duda keren. Julukan khusus buat Mamas Bambang.Walau kemarin badannya mengeluarkan bau yang menyengat tapi setidaknya sekarang bau itu telah mengh
Tatapan yang semula sendu berubah menjadi kilatan amarah. Kulihat telapak tangan Mbak Ratih mengepal kuat. Rahangnya menggeram, menahan rasa kesal.“Kalau sampai kamu melakukannya, aku gak akan segan-segan membunuhmu!!”Wow! Tak kusangka Mbak Ratih yang terlihat lembut bisa berubah garang dan menyeramkan.Aku tetap bersikap acuh tak acuh. Toples berisi keripik singkong sisa setengahnya. Kuraih cangkir berisi teh manis yang mulai dingin, menyesapnya perlahan.Mbak Ratih berdiri sambil menyilangkan tangannya ke depan dada.“Mulai besok, kamu gak boleh kerja di tempat karaoke lagi!” Ucap wanita berusia tiga puluhan itu dengan tegas. Sikap nge-bossynya mulai nampak.“Mbak tenang aja, Wulan memang mau resign kok.”“Bagus kalau gitu. Lebih baik sekarang kamu pergi dan jangan pernah menginjakkan kaki ke sini lagi!!” Suara Mbak Ratih makin meninggi.Seram juga kalau dia marah. Aku berdiri, menepuk rok ketat yang kotor karena remehan keripik singkong.“Nyantai aja, Mbak. Gak usah teriak-teriak
Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam pikiran. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Lalu merekam pembicaraan dua lelaki tua tersebut.“Kapan kau taubat, Yos? Kita ini sudah tua. Tak elok bicara soal gituan.” Perkataan yang dilontarkan Pak Dewa ditanggapi gelak tawa.Sutiyoso terbahak. Gelak tawanya seperti orang yang kesurupan Jin Iprit. Dasar iblis tua! “Dari dulu kau ini terlalu polos, Dewa. Untuk kesekian kalinya aku sarankan,” Perkataan bandot tua terjeda. Lalu, "Sekali-kali kau cicipi rasanya perawan,” Sangat pelan suara Sutiyoso, hingga aku menempelkan telinga di pintu toilet. “Rasanya itu ... gurih-gurih enyooooyyy ..... Hahahaha.” Sutiyoso kamprett!! Aku menggeram di bilik toilet, ingin kucabik-cabik wajah tuanya. Mengebiri kelelakiannya hingga tidak ada lagi yang dia banggakan!Mungkin suatu saat nanti keinginan itu akan terjadi.Cih!! Perkasa sebab obat kuat saja bangga. Dasar tidak tahu malu! Tidak tahu diri!“Kau ini sudah menjadi budak nafsu, Yos! Kalau sudah ketemu
Selepas pulang kantor, aku memutar kembali rekaman percakapan dua orang yang telah bersahabat sejak sekolah menengah itu.Sungguh tak menduga sebelumnya, kalau Sutiyoso adalah seorang pembunuh yang sangat licik! Si tua bangka itu benar-benar pandai merancang pembunuhan tersebut hingga tim forensik pun terkecoh oleh hasil perbuatan kejinya.Rasa iba mengusik hati, saat membayangkan wanita atau istri si korban pembunuhan yang dilakukan oleh bandot tua.Menurut Pak Dewa, wanita itu sedang hamil ketika suaminya meninggal ditangan Sutiyoso. Apalagi sebulan sebelum kepergian sang suami, ibu kandung wanita itu pun meninggal dunia.Tak dapat kubayangkan bagaimana menjalani hari tanpa orang-orang yang kita kasihi. Hati nurani Sutiyoso sepertinya sudah mati!Kali ini aku tidak boleh menganggap Sutiyoso orang yang tidak berbahaya. Apalagi dia sempat berkata pada Pak Dewantara, jika tak dapat memiliki aku, tak segan ia membuat keluargaku menderita bahkan tak segan untuk membunuh. Seketika bulu k
Setibanya di Desa, Ambu menyambut kedatanganku dan Mas Bambang dengan wajah berseri. Jaka, Asep dan Ujang juga menyalami punggung tangan calon suamiku itu. Hanya Abah yang tidak ada di rumah. Kata Ambu, Abah masih di sawah.Rasanya senang sekali mendengar Abah tidak lagi berpangku tangan di rumah. Sekarang Abah punya kegiatan. Menjaga dan merawat sawah yang setahun lalu kami beli.“Abah teh sekarang rajin pisan, Neng. Tiap hari kerjaannya di sawah terus. Ada saja yang dia kerjain," ucap Ambu memuji Abah. Aku bahagia karena Ambu tidak membicarakan sifat buruk Abah lagi.“ Syukur atuh, Ambu.”Warga Desa yang sedang berlalu lalang mendadak berhenti. Memerhatikan aku dan Mas Bambang yang sengaja belum dipersilahkan masuk ke rumah oleh Ambu. Biar semua warga Desa tahu, kalau aku Wulandari bukan lagi perawan tua seperti yang digembar-gemborkan oleh si Minah.Sebenarnya syarat yang Ambu ajukan untuk menjadi calon suamiku tidaklah berat. “Ambu mah teu muluk-muluk neangan mantu. Nu penting ca
Tidak mungkin! Orang itu tidak mungkin Sutiyoso. Mana mau laki-laki bergaya borjouis seperti dia mau turun ke sawah. Tapi ... kalau benar yang mengobrol adalah si tua bangka, bisa terancam nasib keluargaku. Apalagi Pak Dewantara pernah berkata kalau Sutiyoso tidak segan-segan membunuh orang yang telah membuatnya kecewa.Aku menutup mulut dengan sebelah tangan kanan. “Kamu kenapa, Lan?” Mas Bambang menatapku heran. “Enggak kenapa-napa, Mas.” Mataku beralih kembali memandang Abah dengan laki-laki yang masih misterius itu.“Sawah Abah Lalan yang mana?” “Kita pulang saja, Mas. Perut Wulan tiba-tiba mules. Ingin buang air besar,” kataku penuh kebohongan. Biarlah, yang penting sekarang harus pulang dulu. Jangan sampai Abah memergoki kami lalu menyuruh menghampirinya.Aku mempercepat langkah, berjalan lebih dahulu ketimbang Mas Bambang. “Lan, tunggu! Jalannya cepat amat? Udah mules banget emang?” Mas Ambang berusaha mensejajarkan langkah. Aku menarik tangannya agar cepat-cepat tiba di ru
Aku terhenyak saat Abah mengatakan kalau besok orang kota itu akan ke rumah. Bagaimana jika orang kota itu ternyata Sutiyoso? Ya Tuhan ... jangan sampai dugaanku benar. Semoga saja salah. “Kamu kenapa, Neng? Mukanya tegang gitu?” Gelagapan saat Ambu menyentuh pundakku. “Oh, enggak-gak Ambu. Neng gak kenapa-napa. Mas Ambang, kita nonton tivi yuk!” Aku menarik lengan Mas Bambang guna menghindari tatapan menyelisik Ambu. Sudah hampir setengah jam menunggu Abah keluar kamar. Ingin memastikan siapa sebenarnya laki-laki itu. Terdengar suara deheman Abah dari dapur. Aku bergegas menghampiri. Rupanya Abah hendak makan. “Kenapa, Neng?” tanya Abah begitu aku berdiri tak jauh dari meja makan. “Si Neng dari tadi sikapnya aneh. Ada apa atuh, Neng?” Ambu ikutan bertanya sambil tangan kanannya menyendokkan nasi ke atas piring yang berada di hadapan Abah. “Gak ada apa-apa, Ambu," jawabku menyembunyikan rasa curiga lelaki yang berbincang dengan Abah di sawah tadi.“Masalah orang kota tadi?” Pert