Setibanya di Desa, Ambu menyambut kedatanganku dan Mas Bambang dengan wajah berseri. Jaka, Asep dan Ujang juga menyalami punggung tangan calon suamiku itu. Hanya Abah yang tidak ada di rumah. Kata Ambu, Abah masih di sawah.Rasanya senang sekali mendengar Abah tidak lagi berpangku tangan di rumah. Sekarang Abah punya kegiatan. Menjaga dan merawat sawah yang setahun lalu kami beli.“Abah teh sekarang rajin pisan, Neng. Tiap hari kerjaannya di sawah terus. Ada saja yang dia kerjain," ucap Ambu memuji Abah. Aku bahagia karena Ambu tidak membicarakan sifat buruk Abah lagi.“ Syukur atuh, Ambu.”Warga Desa yang sedang berlalu lalang mendadak berhenti. Memerhatikan aku dan Mas Bambang yang sengaja belum dipersilahkan masuk ke rumah oleh Ambu. Biar semua warga Desa tahu, kalau aku Wulandari bukan lagi perawan tua seperti yang digembar-gemborkan oleh si Minah.Sebenarnya syarat yang Ambu ajukan untuk menjadi calon suamiku tidaklah berat. “Ambu mah teu muluk-muluk neangan mantu. Nu penting ca
Tidak mungkin! Orang itu tidak mungkin Sutiyoso. Mana mau laki-laki bergaya borjouis seperti dia mau turun ke sawah. Tapi ... kalau benar yang mengobrol adalah si tua bangka, bisa terancam nasib keluargaku. Apalagi Pak Dewantara pernah berkata kalau Sutiyoso tidak segan-segan membunuh orang yang telah membuatnya kecewa.Aku menutup mulut dengan sebelah tangan kanan. “Kamu kenapa, Lan?” Mas Bambang menatapku heran. “Enggak kenapa-napa, Mas.” Mataku beralih kembali memandang Abah dengan laki-laki yang masih misterius itu.“Sawah Abah Lalan yang mana?” “Kita pulang saja, Mas. Perut Wulan tiba-tiba mules. Ingin buang air besar,” kataku penuh kebohongan. Biarlah, yang penting sekarang harus pulang dulu. Jangan sampai Abah memergoki kami lalu menyuruh menghampirinya.Aku mempercepat langkah, berjalan lebih dahulu ketimbang Mas Bambang. “Lan, tunggu! Jalannya cepat amat? Udah mules banget emang?” Mas Ambang berusaha mensejajarkan langkah. Aku menarik tangannya agar cepat-cepat tiba di ru
Aku terhenyak saat Abah mengatakan kalau besok orang kota itu akan ke rumah. Bagaimana jika orang kota itu ternyata Sutiyoso? Ya Tuhan ... jangan sampai dugaanku benar. Semoga saja salah. “Kamu kenapa, Neng? Mukanya tegang gitu?” Gelagapan saat Ambu menyentuh pundakku. “Oh, enggak-gak Ambu. Neng gak kenapa-napa. Mas Ambang, kita nonton tivi yuk!” Aku menarik lengan Mas Bambang guna menghindari tatapan menyelisik Ambu. Sudah hampir setengah jam menunggu Abah keluar kamar. Ingin memastikan siapa sebenarnya laki-laki itu. Terdengar suara deheman Abah dari dapur. Aku bergegas menghampiri. Rupanya Abah hendak makan. “Kenapa, Neng?” tanya Abah begitu aku berdiri tak jauh dari meja makan. “Si Neng dari tadi sikapnya aneh. Ada apa atuh, Neng?” Ambu ikutan bertanya sambil tangan kanannya menyendokkan nasi ke atas piring yang berada di hadapan Abah. “Gak ada apa-apa, Ambu," jawabku menyembunyikan rasa curiga lelaki yang berbincang dengan Abah di sawah tadi.“Masalah orang kota tadi?” Pert
Mereka semua terdiam, mungkin termangu dengan ucapanku yang cukup berani membeberkan kesalahan masa lalu seseorang. Bukan cuma Abah dan Ambu yang merasa heran, laki-laki yang seumuran dengan Abah pun tak bisa berkutik."Maaf, Lan. Waktu itu aku gak sengaja." Jaka mengelak, aku tersenyum sinis. "Mas, ayok kita pergi!" Aku beranjak, menarik tangan Mas Bambang keluar dari dalam rumah.Enak saja sekarang setelah perekonomianku sudah stabil, mereka berusaha mendekati. Dulu saja, ketika keluargaku masih susah, mereka selalu menghina dan menganggap kami rendah. Aku bukanlah Wulan yang dahulu lagi. Yang Cuma bisa diam, menangis, mengangguk dan merunduk. Apalagi menghadapi laki-laki yang selalu merasa tidak berdosa akan tindak kejahatannya. *** Esok adalah hari pernikahan aku dan Mas Bambang. Semua warga Desa bergotong royong membantu. Bahkan Jaka adik pertama, membuat kepanitian khusus di momen bersejarah dalam kehidupanku dan Mas Bambang. Para panitia aku belikan kaos seharga tiga puluh
Dari kejauhan kulihat tiga orang banci berlari ke arah kami. Mereka semua mengenakan rok mini, kaos ketat, dan mengenakan sepatu high heels. Tetapi, tadi salah satu dari mereka ada yang memanggil Mayang. Siapa gerangan orang yang bernama Mayang?Ketiga banci semakin mendekati kami. Aku harap-harap cemas, takut nantinya menjadi bahan cemoohan warga desa."Maayaaang ... astaganaga ... kenapa yey tidak mengundang kami, Yang?"Astaga, ternyata Mayang itu adalah nama lain Mas Bambang. Apakah dulunya suamiku seorang banci? Oh, Tidak, tidak! Mas Bambang lelaki tulen, dia bukan banci!"Ka-kalian siapa? Mau apa kalian ke sini?"Kudengar suara Mas Bambang yang bergetar. Entah karena dia ketakutan atau karena memang benar kalau suamiku mengenalnya."Aku ini temanmu dulu, Mayang ... Oh my God ... yey, sekarang sombong! Eike Mince, Mayang ... Mince!"Mataku mengitari tamu undangan. Mereka memerhatikan ketiga waria yang datang dengan begitu heboh ingin mendapat pengakuan dari Mas Bambang kalau ket
Hari ini aku dan Mas Bambang kembali lagi ke ibu kota. Mas Bambang memintaku untuk tinggal di rumahnya. Tidak masalah, asalkan selalu ada dia di sisi, aku pasti bersedia dengan senang hati. Meski malam pertama Mas Bambang tidak dapat mencetak gol, aku tidak boleh berputus asa. Bagaimana pun suamiku itu harus bisa melakukannya. Minimal satu kali.Di tengah perjalanan, aku melihat pamflet obat kuat yang tokonya cukup besar. Kusuruh Mas Bambang berhenti dan memarkir mobil di sisi jalan. “Mau ngapaian, Lan?”“Mas tunggu di sini, ya? Sebentar kok.” Mas Bambang mengangguk walah kutahu di wajahnya jelas ada rasa penasaran. Biarkan saja, aku sedang malas memberi tahu. Setelah berdiri di depan toko, seorang Bapak-bapak tua bermata sipit menyapa. Sebenarnya aku malu beli obat kuat. Tapi mau bagaimana lagi, sepertinya burung Mas Bambang kesulitan untuk berdiri.“Mau beli apa, Mbak?” Bapak yang berwajah Cina itu bertanya. “A-anu, Pak ... saya mau beli obat kuat.” “Obat kuat untuk laki-laki a
Mobil Sutiyoso membuntutiku dari belakang. Entah maunya apalagi si bandot tua itu. Apa mungkin tempat tinggal dia memang bersebelahan dengan rumah Mas Bambang. Lebih baik aku keliling dulu. Melewati jalan yang terlihat ramai agar Sutiyoso tidak nekat berbuat macam-macam.Ancaman bandot tua teringang. Dia akan membunuh Mas Bambang jika aku tidak memperlakukan suamiku itu selayak pembantu. Ah, yang benar saja.Kulihat dari spion, mobil si tua bangka tidak lagi mengikuti. Aku belokan stir ke arah kanan, menuju perempatan rumah Mas Bambang.Melirik arloji sudah menunjukkan jam sepuluh lewat. Tak terasa sejam sudah aku mengemudi dengan tujuan tak jelas.Memasuki perumahan Mas Bambang, aku dikejutkan oleh kehadiran mobil Sutiyoso yang berhenti di depan pos satpam kompleks.Sudah tidak dapat lagi mengelak. Aku akan ikuti permainanmu bandot tua! Tapi lihat saja akibat dari kelakuanmu ini! Ternyata benar, Sutiyoso tinggal berjarak dua rumah dari kediaman Mas Bambang. Tapi rumah itu bersebrang
“Kayaknya gak mungkin lagi, Om. Bisa jadi sekarang udah impotent. Mungkin karena keseringan minum obat kuat. Inget lho Om, salah satu efek samping obat kuat itu bikin burung Om gak bangun lagi. Apalagi umur Om udah gak muda lagi," kataku ringan. Padahal aku sendiri tidak tahu apa saja efek samping obat kuat . Sejenak laki-laki itu tercenung. “Omongan kamu ada benarnya.” Kini Sutiyoso duduk di tepi ranjang. Matanya nanar menatap dinding. Membenarkan ucapanku.“Sudah beberapa hari ini ....” lanjutnya sembari melongok alat vital dari balik celana. “Burung Om gak bangun-bangun. Sudah berbagai cara Om lakuin. Bahkan ada jalang yang rela mengulum burung Om sampe satu jam lamanya tapi dia tetap loyo ....” ucapnya nelangsa. Aku menahan senyum. Antara geli dan bersyukur. Karena usahaku memberinya obat loyo tempo hari itu sudah menunjukkan hasil.“Nah kan ... percuma juga kalau Om minta tolong Wulan.” Aku menanggapi. Suasana mulai mencair. Bandot tua sudah tidak segarang sebelumnya. Wajah tua