Untunglah Mas Bambang selalu sigap. Dia langsung terbangun ketika aku merasakan mulas luar biasa pada kandungan. “Kenapa, Lan?” tanyanya begitu ia terbangun. Aku meringis kesakitan. Memegang perut sambil menggeliat. “Mules, Mas ....” jawabku memegang bahunya erat. Mas Bambang tampak khawatir.Mas Bambang menyibak selimut. Aku dan dia terkejut melihat darah membasahi tempat tidur. Rasa cemas sangat jelas tergambar dari raut wajah lelaki yang telah memenuhi relung hati ini. “Maaass ....” pekikku menahan rasa sakit tak tertahankan. Tanpa berucap, Mas Bambang segera menyambar kunci mobil di atas nakas, membopong tubuhku.Dengan susah payah Mas Bambang membuka pintu mobil. Kemudian berusaha mendudukkan aku dengan nyaman. Setengah berlari dia kembali ke dalam rumah. Entah apa yang dilakukannya. Namun tidak berselang lama, tubuh atletis itu sudah terlihat sedang mengunci pintu rumah.Sepanjang jalan Mas Bambang selalu menguatkan. “Tahan ya, Sayang. Sebentar lagi sampai di rumah sakit. Kam
Seminggu lalu, Sutiyoso datang kembali ke rumah Mas Bambang. Ketika itu, Mas Bambang sedang ditugaskan keluar kota selama dua hari.“Ngapain malam-malam Om ke sini?” tanyaku menatap tajam pada lelaki tua bangka berperut buncit.“Om kesepian, Lan ....”cuih! Najis! Menjijikan sekali kata-katanya.“Pulanglah ke rumah Om. Jalani hari bersama anak dan istri Om," kataku lugas. Namun, Om Sutiyoso bertambah berang. Dia mendorong pintu dengan keras, hingga aku sempat terhuyung.“Kamu itu tega Wulan! Segalanya telah Om berikan. Tapi kamu!! Justru menikah dengan laki-laki tolol itu!!”Astaga! Aku tidak menduga kalau Pak Sutiyoso mengatakan hal itu. Perkataan yang membuatku bagai dicambuk.“Jaga ucapan Om! Mas Bambang itu cerdas! Dia salah satu karyawan yang bisa diandalkan!” Aku tidak ingin suamiku dihina dan direndahkan oleh lelaki sebejat Pak Sutiyoso. Suamiku adalah lelaki yang hebat. Kaya raya dan cerdas. Terbukti perusahaan selalu mengandalkan kinerjanya walau kerap kali ia telat. Tetapi h
Meski masih terasa perih pada bekas operasi, Namun aku tetap memaksakan diri bertemu dengan Pak Dewa si sebuah restoran untuk membicarakan rencana pelaporan Sutiyoso tentang pembunuhan yang ia lakukan beberapa tahun silam.“Lebih baik kamu istrahat saja. Biar nanti saya yang ke kantor polisi.” Saran Pak Dewa. “Saya tidak apa-apa. Saya ingin mengakhiri kegilaan Sutiyoso.” Aku memang sudah mulai letih dengan permainan si Bandot tua. Dituruti malah melunjak. Sudah tidak bisa dimaafkan. Dia telah membuat Mas Bambang pergi meninggalkanku. Pak Dewa menghela napas.“Saya Cuma khawatir dengan kondisi kesehatan kamu dan bayi kamu. Tidak baik terlalu sering meninggalkannya.” Aku merunduk. Mengerti dengan maksud Pak Dewa.“Apa kamu sudah tidak percaya lagi sama saya?” Pertanyaan Pak Dewa membuatku menggeleng cepat.“Bukan begitu, Pak. Saya Cuma tidak mau ada orang lain yang terlibat. Seperti yang Bapak ketahui, dulu saya membuat Mbak Lastri dan Bang Sur untuk menjauhi saya. Karena saya takut me
Hatiku benar-benar remuk. Mas Bambang telah membenciku. Dia sudah tidak mengharapakn aku kembali lagi. Cinta yang telah bersemi, kandas sudah oleh kebohongan yang aku ciptakan sendiri. Benar kata orang, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pastilah tercium juga.“Maaaaassss!!! Mas Bambaaaangg!!” Kupanggil namanya berulang-ulang. Berharap laki-laki yang kucintai itu berbalik, menoleh padaku dan memeluk tubuh ini dengan erat. Namun, tubuh yang kurindukan itu tak jua datang. Aku semakin menangis histeris. Sebuah tangan membantuku berdiri. Dia bukan Mas Bambang, melainkan waria yang tadi memberitahu keberadaan suamiku.“Sudah, Mbak. Bangunlah ... malu dilihatin orang,” ucap waria dengan suara laki-lakinya. Dengan hati-hati ia memapahku. Langkahku gontai menuju mobil yang terparkir di bawah pohon seberang jalan. Waria yang belum aku ketahui namanya, masih setia menuntun hingga aku duduk di dalam mobil.“Maaf, Mbak. Saya gak bisa anter, gak bisa nyetir soalnya.” Aku hanya mengangguk. Men
Aku Wulandari, seorang wanita yang tidak memiliki kedua kaki dan ditinggal pergi suami. Nasib baik seolah tak pernah berpihak pada diri. Setelah tidak menerima caci maki, namun Tuhan masih saja menguji. Setelah pulang dari rumah sakit, orang tuaku menyuruh agar aku tinggal di Desa saja. Awalnya aku ragu karena takut menerima caci maki dan hinaan orang-orang Desa. Namun anggapanku salah. Justru mereka bersimpati dan merasa iba dengan keadaanku.Hampir tiap hari ada saja warga yang berkunjung ke rumah. Ada yang pura-pura cuma ingin melihat Alan. Ada juga yang datang cuma ingin menghiburku. “Sabar ya, Neng ... ini teh cobaan. Harus kuat. Barang kali Neng Wulan mau diangkat derajatnya sama Yang Maha Kuasa,” hibur Ceu Odah saat datang menjenguk. Aku hanya berdiam diri, enggan menanggapi ucapan Ceu Odah. Aku takut kalau ucapan mereka tidak dari hati.Warga Desa berubah baik pada keluarga kami, berkat jiwa pemaaf dan kebiasaan menolong Ambu. Meski sering aku larang, Ambu tetap menolong at
Subuh, aku bangkit ke kamar mandi. Berwudhu. Ini adalah kali pertama aku berwudhu setelah bertahun-tahun tidak melakukannya. Ini juga, kali pertama aku melakukan salat lima waktu setelah bertahun-tahun pula aku tidak melaksanakannya.Dalam munajat, memohon ampun pada Sang Pencipta. Mohon ampun tidak pernah bersyukur atas nikmat sehat dan rejeki yang Allah berikan. Mohon ampun atas kesalahan yang aku sengaja atau pun tidak sengaja.Usai salat, keluar kamar. Terlihat Ambu sedang mencuci piring. Aku menghampiri ingin membantu meskipun keadaanku duduk di kursi roda.“Ambu ....” sapaku lirih. Ambu menoleh tanpa sepatah kata. Untunglah ukuran wastafel tidak terlalu tinggi. Tidak begitu sulit bagiku mencuci piring kotor dengan duduk di atas kursi roda.Kuambil satu piring lalu mencucinya. Ambu pergi masuk kamar. Aku menghela napas. Rupanya Ambu masih marah. Biasanya kalau aku cuci piring, selalu ia larang. Tetapi sekarang tidak. Ia justru membiarkanku mencuci piring-piring kotor sendirian.S
“Ambu ... Neng minta maaf. Neng janji gak akan bilang gitu lagi," ucapku menyesal diiringi isak tangis. Ambu enggan menatapku. Tangan kanannya masih memegang botol susu yang disedot oleh Alan. Sungguh hati ini sangat teriris melihat sikap Ambu yang berubah dingin.“Ambu ....” sekali lagi aku memanggilnya. Kali ini Ambu menoleh. Terlihat kedua matanya mulai berembun. Menatapku lekat.“Iya, Ambu maafin. Tetapi, Neng gak boleh bilang gitu lagi. Gimana pun Alan ini anak yang gak tau apa-apa. Harusnya Neng sebagai Ibu doakan dan bicara baik-baik buat Alan. Bukan sebaliknya, Neng ....” Nasihat Ambu sangat lembut dan lirih. Aku menganggukkan kepala seraya menyeka air mata yang membasahi kedua pipi. Ambu adalah wanita penyabar dan penyayang. Selama ini sangat menyayangi anak-anaknya. Jarang sekali Ambu memarahi kami.Aku memang ibu yang tidak berguna. Kutatap wajah mungil Alan. Meski masih saja menyimpan kekesalan pada Sutiyoso, tapi jauh dari lubuk hati sebenarnya amat menyayangi Alan.“Neng
“Teteh? Teteh kenapa?” tanya kedua adikku, menarik selimut yang aku kenakan, berdiri di samping kiri tempat tidur.Aku mengatur napas. Untunglah Cuma mimpi. Tetapi, kenapa seperti sangat nyata? Ya Allah, apakah mimpi yang baru saja aku alami sebuah pertanda buruk? Atau apakah Mas Bambang sedang dalam bahaya?Ya Allah, tolong lindungi Mas Bambang di mana pun ia berada. Tolong ya Allah ....“Asep, Ujang, Teteh gak kenapa-napa. Cuma mimpi buruk. Udah sana, main lagi." Aku menjawab pertanyaan kedua adikku. Asep dan Ujang keluar kamar. Kulihat jam dinding pukul dua belas siang. Sudah masuk waktu dzuhur.Susah payah, aku turun dari tempat tidur. Sempat hampir jatuh tersungkur, untung masih di tempat kursi roda. Dengan menggunakan kursi roda, aku menuju toilet yang berada di dalam kamar. Aku berwudhu, kemudian melaksanakan kewajiban selaku umat muslim.Usai salat, kupanjatkan banyak doa. Terutama untuk keselamatan Mas Bambang. Semoga mimpi itu tidak pernah menjadi nyata. “Teteh, aya tamu (