Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Memiliki paras yang cantik dan fisik nyaris sempurna tidak lantas membuatku bahagia. Namaku Wulandari, anak pertama dari empat bersaudara. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Keluarga yang kerap kali dihina dan tak jarang mendapat perlakuan rendah orang-orang sekitar, hanya karena tidak memiliki harta berlimpah dan banyak hutang. Bapak yang kupanggil Abah bekerja serabutan. Itu pun kalau sedang mau. Lebih sering berpangku tangan, mengandalkan Ambu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Pak Lurah.“Abah mau bertani. Tidak mau bekerja!” tukas Abah saat Ambu mulai menyuruhnya mencari nafkah.“Abah, kalau bertani mah harus punya sawah. Memangnya kita punya sawah?” sahut Ambu kesal. Istri mana yang tidak kesal, melihat suami setiap pagi kerjanya duduk di balai sembari minum kopi dan merokok. “Sudahlah, masih pagi sudah ribut. Malu atuh sama tetangga Ambuuu ....”“Yang kudu malu itu Abaaaah ... jadi suami tidak ada tanggung jawabnya!”Adu mulut itu hampir
Pukul enam pagi, aku menghampiri Ambu yang sedang mencuci pakaian di sumur belakang rumah, ingin mengutarakan niat pergi ke Gunung Kawi.“Ambu ....”Perempuan bertubuh kurus itu menoleh. “Ada apa, Neng?” Ibu menjawab sambil tetap menggilas pakaian di atas papan bergerigi.Aku berjongkok di depan bak besar, mengucek-ucek pakaian yang telah direndam.“Jangan nyuci! Nanti tangan kamu kasar. Sudah sana, biar Ambu saja yang mencuci.”“Tangan halus juga percuma Ambu, Neng tetap saja jomblo.” Aku menjawab terkekeh. Tetapi, tidak Ambu, tatapan matanya seolah menyiratkan kesedihan.“Tidak apa-apa, Neng. Mungkin belum ketemu lelaki yang tepat saja. Ambu yakin, Neng cantik akan memiliki suami yang tampan dan mapan.” Harapan yang selalu Ambu katakan membuatku merunduk sedih. Bagaimana bisa mendapatkan lelaki yang seperti Ambu harapkan jika kehidupanku di rumah saja?Kami terdiam, bergelut dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar kucuran air dari kran dan suara Ayam berkokok m
Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke. Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening. Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah. Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa. ***Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Ban
Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?! Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya. Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.” Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini. Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat? Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!” Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.Entah kekuatan dari
Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso. Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos. “Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?” “Iya betul.”Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.“Oh udah buat janji?”“Udah, Pak.” Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...“Ya sudah, mari saya antar.”Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memili
“Sama-sama, Sayang ....”Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita. “Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember