Share

Tawaran Bekerja

Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat?

Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.

Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.

Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.

“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.

“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.

“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!”

Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.

Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!

Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.

“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.

Entah kekuatan dari mana yang merasuki, hingga aku sangat berani membalas hinaan istri Om Sutiyoso?

Di sini, tidak boleh ada satu orang pun yang menghinaku. Kalau pun ada, aku tak akan tinggal diam seperti di desa. Harus aku lawan!!

Wajah wanita paruh baya itu memerah, giginya gemeletuk, bibirnya yang bergincu merah bata menganga.

“Lancang!!”

Seketika tangannya terangkat hendak menampar pipiku. Namun, tangan kiriku berhasil menangkis.

Beberapa pengunjung pusat perbelanjaan melihat ke arah kami. Praktis menjadi tontonan gratis. Kucekal kuat pergelangan tangan Nyonya Ratna.

“Jangan coba menamparku, Nyonya!!” Hardikku sambil mencengkram kuat lengan istri Pak Sutiyoso lalu menghempaskannya.

Kupandangi secara bergantian kedua pasangan lansia itu. Kedua mata Ratna Ayu melotot, wajahnya memerah menahan amarah. Aku menyunggingkan senyum sinis.

“Kalau suami Anda takut direbut wanita lain, puaskan dia lahir bathin, Nyonya!”

Sengaja, kuucapkan kalimat itu tepat di depan wajah wanita sombong macam Ratna Ayu. Dia hendak melawan. Tetapi, tangan kanan Om Sutiyoso menghalau gerakan istrinya.

“Sudah, Bu ... malu dilihat orang-orang.”

Lembut, lembek, begitulah nada suara si Bandot tua. Aku terkekeh geli melihat ekspresinya.

Kulihat kedua tangan istri Om Sutiyoso mengepal. Aku tak peduli, melenggang santai meninggalkan pasangan lansia itu.

Si tua bangka membiarkanku pergi begitu saja. Tanpa ada pembelaan atau apapun. Dasar suami takut istri!

***

Sudah menjadi hal biasa, jika hari menjelang petang, ibu-ibu kontrakan duduk di depan teras rumah. Aku yang baru saja tiba dengan tiga goodie bag disambut dengan tatapan menelisik.

“Om-om nya mana, Teh? Kok naik taksi?”

Si Yeni bertanya sambil menyusui anaknya.

“Halah kepo!” jawabku ketus. Melengos masuk ke rumah.

Samar-samar kudengar umpatan Yeni. Lagi-lagi aku tak peduli. Si Yeni sering cemburu padaku. Suaminya yang berprofesi sebagai tukang ojek online kerap kali menawarkan tumpangan. Aku Wulandari, sudah bukan waktunya lagi panas-panasan naik motor. Tidak sudi!

***

Sebulan menghuni kontrakan ini, tak butuh lama bagiku untuk mengenal karakter tiap orang yang berada di sekeliling.

Aku merebahkan tubuh ke alas tidur berupa kasur lipat. Menatap nanar ke atas plafon. Bayangan orang-orang yang menghinaku terlintas.

Orang yang paling kuingat adalah Teh Mirna. Perempuan itu pernah meludahi Ambu karena tak terima dengan perlawanan Ambu. Mencaci maki keluarga kami dengan sedemikian rupa.

Aku yang tak punya daya upaya saat itu hanya mampu menangis. Meratapi nasib miskin kami.

Hingga saat ini, hutang padanya sengaja belum dilunasi. Biar nanti aku saja yang langsung membayarnya.

Kulirik lemari usang. Di dalam sana ada beberapa lembar uang yang kusimpan di bawah pakaian. Esok akan aku tabungkan di salah satu Bank kota ini.

***

Setengah enam sore sudah tiba di tempatku bekerja. Bang Suryadi menyambutku dengan suka cita. Ada gurat kebahagiaan di balik wajahnya.

“Lan, cepet masuk. Ada yang cari kamu,” seloroh Bang Sur menarik lenganku.

“Siapa, Bang?”

“Pak Dewantara. Ayo sana temuin. Jangan lupa minta tips yang banyak.”

Aku mengangguk tersenyum. Walaupun tips dari pelanggan menjadi hakku sepenuhnya, tetapi, Bang Sur selalu mendapat bagian lima persen dari tips yang kudapat setiap malamnya.

“Cuma kamu, Lan ... yang baik sama Abang. Yang lain jarang sekali membagi hasil tipsnya," ujar Bang Sur tempo hari.

Setengah berlari aku menuju ruang karaoke, di mana Pak Dewa sedang menunggu.

Kubuka pintu perlahan. Terlihat laki-laki seumuran Om Sutiyoso. Tatapannya sedang mengarah padaku.

“Saya mau bicara sebentar,” ujar Pak Dewa. Dia menggeser tempat duduk. Tak perlu pikir panjang aku duduk di sebelahnya.

“Biasa ya, Om. Satu jam ngobrol satu juta, tidak boleh kurang, boleh lebih,” kataku sambil menyimpan tas di atas meja.

“Iya, saya pasti bayar.”

Gaya genit langsung kutampilkan. Menyelipkan tangan kanan ke lengan Pak Dewa. Namun, dengan lembut ditepisnya.

“Maaf, Lan. Saya ke sini mau menyampaikan pesan Sutiyoso. Tentu Wulan kenal ‘kan?”

Aku malas mendengar nama itu. Merapikan rok yang sempat tersingkap lalu menyeruput Jus mangga yang sejak tadi sudah terhidang di atas meja.

“Kenal. Kenapa dia?”

“Dia minta maaf atas kejadian kemarin. Mungkin untuk dua atau tiga hari kedepan dia tidak bisa menemui Wulan dulu.”

Bodo amat! Siapa juga yang berharap laki tua bangka macam dia. Aku membatin.

“Terus?”

“Masalah pekerjaan yang Sutiyoso janjikan, Wulan tetap kerja di kantor. Tetapi, di kantor saya. Sebelumnya maaf, Nanti sambil kerja, usahakan Wulan kuliah. Ambil kelas karyawan. Bagaimana, Wulan mau?”

Pak Dewa menyampaikan kabar yang membuat wajahku berbinar dengan sangat santun. Sontak, kupeluk laki-laki yang sedang menghadapku itu. Berkali-kali ucapan terima kasih aku lontarkan.

“Iya, sama-sama.”

Tangan kekar Pak Dewa berusaha melepaskan pelukan.

“Tetapi, kamu harus di-test dulu. Mengisi soal-soal yang nanti akan diberikan bawahan saya untuk menguji sejauh mana kemampuanmu. Nanti, asisten saya yang memberikan materinya. Kamu siap?”

“Siap, Om! Wulan janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Terima kasih banyak ya, Om!”

“Baiklah, kalau begitu saya pamit pulang. Besok jam sembilan pagi, saya tunggu di kantor. Benar kata kamu, jangan menyia-nyiakan kesempatan emas. Ini uang yang kamu minta. Tidak kurang, mungkin sedikit lebih.”

Aku menatap lembaran-lembaran rupiah di atas meja. Tanpa berpikir panjang, mengambil dan menghitungnya.

Tanpa menunggu aku selesai menghitung uang, Pak Dewa sudah keluar ruangan karaoke.

Laki-laki itu sikapnya berbeda sekali dengan Sutiyoso. Sutiyoso adalah aki-laki yang lupa umur. Sikap dan bicaranya seperti anak ABG! Padahal aku tahu, anak-anaknya sudah dewasa bahkan sudah memiliki cucu. Dasar bandot tua!

Aku tersenyum simpul, membayangkan dapat bekerja di perusahaan besar milik Om Dewantara. Tetapi, tadi Om Dewa berkata kalau aku harus di-tes dulu. Kira-kira ... Aku bisa tidak ya menjawab soal-soal test-nya nanti? Ah, semoga saja. Aamiin.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nenk SipengendaliAir
kok wulan berubah jd genit gt ya, emang hrs gt kh kalo pemandu karaoke
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status