Share

Kedatangan Seorang Wanita

“Sama-sama, Sayang ....”

Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita.

“Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.

Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!

“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.

“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.

Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.

Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember itu aku letakkan di dekat pintu. Takut-takut kalau si Tua bangka mengintip.

Selesai mandi aku menghiasi diri. Mengenakan kaos dan rok ketat selutut.

Kupandangi tubuh ini dari pantulan kaca. Ternyata aku begitu cantik. Kulit putih, hidung mancung, pipi tirus, dan bibir tipis. Pantas saja banyak para pelanggan karaoke selalu ingin aku dampingi.

Aku melenggang keluar dengan memakai sepatu high heels yang tempo hari dibelikan Pak Sutiyoso.

Melihat penampilanku, mulut Pak Sutiyoso ternganga.

“Om, cepetan. Mau aku kunci rumahnya.”

Bergegas tua bangka itu keluar. Menuju mobil mewahnya yang terparkir di sisi jalan.

***

Lagi-lagi Pak Sutiyoso tidak diantar supir pribadi. Ia memilih untuk menyetir sendiri. Matanya tak henti-henti melirik kedua pahaku.

Entah apa yang berada di otaknya.

“Matanya lihat ke depan, Om!” titahku ketus. Dia terlihat kikuk, lalu terkekeh.

“Maaf, Lan. Paha Wulan mulus banget. Bikin Om gak fokus nyetir.”

Aku segera mengambil tas yang tersimpan di jok belakang untuk menutupi kedua paha.

Selama perjalanan hanya keheningan di antara kami. Aku lebih asyik bermain ponsel. Membuka F******k, melihat perkembangan orang-orang desa. Ya, sekarang aku punya handphone mewah. Benda canggih ini hadiah dari Bang Yos karena aku telah membuat tempat karaokenya tambah ramai.

Aku menscroll beranda. Status Minah melintas. Memang aku sengaja berteman dengan orang-orang desa di media sosial. Supaya dengan mudah memamerkan kesuksesanku.

“Kawajiban salaki mere nafkah ka pamajikan. Lain pamajikan nu mere nafkah ka salaki. (Kewajiban suami memberi nafkah kepada istri. Bukan istri yang memberi nafkah kepada suami).”

Rumah tangga si Minah sepertinya tidak harmonis. Pasti karena krisis keuangan. Aku sangat bahagia melihat orang yang pernah menghinaku hidupnya sedang mengalami kesulitan.

“Kita sudah sampai, Lan. Bentar ... jangan turun dulu. Biar Om yang bukain pintunya.”

Halah ... sok romantis banget sih?! Dia pikir aku akan terkesan? Tidak akan pernah.

Setelah turun dari mobil, Pak Sutiyoso menggenggam tanganku, namun aku tepis.

“Jangan pegang-pegang! Belum tentu aku cocok sama apartemennya!” ucapku masih dengan nada ketus.

Pak Sutiyoso hanya pasrah menerima perlakuan buruk dariku.

“Apartemen ini baru dua bulan Om beli. Biasa tempat Om males pulang ke rumah.” Pak Sutiyoso mulai buka suara. Aku masih tetap diam.

Pintu apartemen terbuka. Ruangannya ternyata luas. Ada mini bar di dekat dapur. Bibirku tak henti menyunggingkan senyum.

Aku melihat-lihat sekeliling. Luar biasa bagusnya. Seperti apartemen yang sering aku lihat di film-film.

“Kamarnya ada dua, Lan. Kamar mandi ada di dalam. Yang ini kamar utama, sebelah sana kamar tamu. Atau buat keluarga Wulan nanti kalau mau menginap.” Laki-laki bertubuh tambun itu menjelaskan.

Apa aku sedang mimpi? Kucubit pipi. Ah ternyata tidak. Ini nyata! Sangat nyata! Tua bangka ini pasti serius akan memberikannya padaku.

“Om serius kan kalau ini buat Wulan?” tanyaku meyakinkan lelaki bertubuh gempal. Menatapnya dengan tersenyum manis.

“Serius. Yang penting Wulan gak marah lagi. Mau nemenin Om kayak kemarin-marin.” Aku melebarkan senyum, lalu mulai berakting. Pura-pura manja. Bergelayut di lengannya.

“Makasih ya, Om. Om baik deh!”

Satu kecupan berhasil mendarat di puncak kepala tanpa sempat aku mengelak. Tak apalah, yang penting sekarang aku tidak tinggal lagi di kontrakan kumuh. Kontrakan yang dihuni oleh sekawanan emak-emak rempong.

***

Dua hari sudah aku menghuni apartemen Pak Sutiyoso. Barang-barang milikku yang ada di kontrakan sudah dipindahkan.

Kini tidak tidur lagi di kasur lipat, tapi di ranjang ukuran king size. Luar biasa hidupku! Perubahan yang fantastis.

Tak lupa aku melakukan selfi, mengupload ke beberapa media sosial.

Di salah satu media sosial beragam komentar dari orang-orang desa memenuhi postinganku berupa beberapa foto dengan gaya berbeda.

“Wooww ... Wulan tambah geulis wae. (Wulan makin cantik aja.)” Komentar Dedi, Laki-laki yang dulu pernah membully. Dia bilang aku geulis? Iyalah ....

“Itu rumah Wulan yang baru, ya?” Lilis, anak Teh Mirna ikutan komentar.

“Uluh-uluh ... ternyata Wulan beneran sukses. Kerja di kantor apa, Lan?”

Komentar-komentar itu tak satupun aku balas. Dulu saja, tak pernah sudi menyapaku apalagi bertanya. Giliran aku mulai terlihat sukses, barulah mereka sok ramah. Iiiihh sorry ....

Sedang asyik bermain ponsel, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.

Aku pun bangkit memeriksa siapa orang yang datang.

“Maaf, Mbak. Mau ketemu siapa ya?” tanyaku ramah, menelisik penampilan wanita yang berdiri di depanku

Wanita yang belum aku ketahui namanya itu rupanya sedang hamil. Mungkin sudah tujuh bulan.

“Saya ke sini mau bertemu dengan pemilik apartemen ini, namanya Wulandari. Apakah Anda yang bernama Wulandari?

Kok wanita ini tahu namaku? Siapa dia? Apa jangan-jangan istri lain Pak Sutiyoso?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status