Ceu Odah dan Ceu Wati terkejut mendengar bentakanku. Mereka saling pandang satu sama lain. Aku menyunggingkan senyum sinis. Bahagia rasanya dapat membalas perlakuan mereka beruda. Ambu melirik ke arahku, menahan tawa.“Jangan marah atuh, Neng ... kita mah cuma becanda," ujar Ceu Wati menyenggol lengan Ceu Odah. Mungkin mereka tersinggung tetapi aku tidak peduli. Terpenting bagiku, mereka tidak boleh menghina dan merendahkan kami lagi.Kulirik Ambu, bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum yang telah lama tak kulihat.“Ya udah atuh, Ceu. Kita pulang saja. Kasihan Wulan capek, mau istrihat.”"Tunggu!"Aku menghentikkan langkah mereka.“Aya naon, Neng? (Ada apa, Neng?)” tanya Ceu Wati, tersenyum.“Aku ingat, Ambu pernah bilang. Katanya punya hutang sama Ceo Odah dan Ceu Wati.” Tiba-tiba teringat perkataan Ambu waktu dulu.“Iih ... gak apa-apa. Gak usah dibayar. Cuma sedikit. Lagian itu kan udah lama. Ceu Odah udah ikhlasin.” Aku sangat yakin seratus persen, Ceu Odah hanya berpura-pura. M
“Aa!!!” Sebuah teriakan yang membuat aku, Ambu, dan Cecep menoleh ke sumber suara. Rupanya si Minah berdiri sambil menggendong bayi tak jauh dari kami.“Bukannya ngojek, malah ngobrol di jalan!!” hardik Minah saat berada di hadapanku.“Ini mau ngojek, Min," sahut Cecep datar. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Min??” Mata Minah mendelik. “Biasanya juga panggil, Neng!!” sambung Minah yang mengenakan daster lusuh sambil memukul lengan Cecep.“Ambu, pergi yuk! Neng teh gak mau lihat para pengkhianat lagi berantem," ucapku ketus melirik pada Cecep dan Minah.Dua pasang mata itu menatapku bersamaan.“Maksud kamu teh siapa yang pengkhianat?” tanya Minah, menatapku dengan sorot mata tajam. Aku balas menatapnya dengan tatapan serupa. Dia pikir aku takut? No way!"Aku dan Ambu tak menggubris pertanyaan istri Cecep itu. Melanjutkan langkah menuju warung Teh Mirna.Warung Teh Mirna sedang banyak pembeli. Ini saatnya aku pamerkan segala yang kupunya dan membalas perlakuan tidak baik m
Bang Suryadi mengejarku, berusaha mensejajarkan langkah.“Lan, Lan, tunggu! Kita bicara baik-baik!” panggil Bang Suryadi. Kuhentikan langkah saat laki-laki berkumis itu berada di sisi.Sebenarnya aku juga gak mau meninggalkan tempat ini. Walau bagaimana pun Bang Suryadi sudah sangat baik. Tetapi, aku paling tidak terima kalau dihina apalagi difitnah. Aku menghentikkan langkah. Memberi kesempatan lelaki pemilik tempat karaoke berbicara.“Wulan ... Jangan berhenti kerja. Wulan sudah banyak membantu Abang selama ini. Lebih baik Abang pecat mereka berdua asalkan Wulan masih bekerja di sini. Meskipun sebenarnya Abang gak tega lihat Wulan. Pagi kerja di kantor, malam di sini. Tetapi, kehadiran Wulan benar-benar sangat membantu. Abang mohon, Lan ... jangan berhentu dulu.” Jelas Bang Suryadi sambil memohon. Aku masih menimbang perkataan laki-laki yang belum dikarunia anak itu.Kasihan Bang Suryadi, sudah sepuluh tahun menikah tapi tak jua dikarunia anak. Kadang aku salut padanya, meskipun be
Tak terasa, hampir dua tahun lamanya aku tinggal di ibukota, jauh dari Desa, dan kedua orang tua.Kerja kerasku selama bekerja di sini sangatlah membuahkan hasil. Dapat merenovasi rumah yang di desa menjadi lebih besar dan megah, memiliki satu hektar sawah dan tabungan puluhan juta.Aku juga telah memiliki sebuah mobil. Kendaraan ini hadiah dari Pak Sutiyoso saat aku berulang tahun bulan November tahun lalu.Semenjak bekerja di kantor, hubunganku dengan Pak Sutiyoso mulai renggang. Selain karena kesibukan bekerja, istri Pak Sutiyoso selalu mengontrol keuangan yang dipegang oleh laki-laki tua itu. Kadang kala, Ratna Ayu turun tangan dalam mengelola perusahaannya. Alhasil, si Bandot tua tidak bisa lagi leluasa menggunakan uang. “No money, no Wulan!” Aku menjawab dengan tegas kala Pak Sutiyoso ingin mengajak kencan.Transferan yang dulu ia kirim dua minggu sekali, sekarang hanya kalau aku minta saja. Tidak ada lagi rutinitas surprise transferan yang dikirim Pak Sutiyoso.Sudah tak jadi
Perlahan kubuka kedua mata. Kepala masih terasa pusing. Pandangan pun masih sedikit mengabur. Beberapa kali mengerjapkan mata. Lalu, jelaslah sesosok laki-laki bertubuh tambun hanya mengenakan celana pendek sedang berdiri menghadap kaca jendela sambil menelpon. Dia, Pak Sutiyoso.“Aku benar-benar tak menyangka, kalau si Wulan itu masih perawan!”Mataku membulat saat mendengar ucapan si Pak Tua. Kusibak selimut yang menutupi tubuh. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa tak ada sehelai benang pun yang melekat pada tubuhku?Aku menelan ludah berkali-kali. Mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Tetapi, nihil! Aku tidak mengingat apapun.Mencoba untuk bangkit, namun sekujur badan terasa remuk, ngilu dan perih pada area sensitif. Tidak! Tidak mungkin Pak Sutiyoso tega memperkosaku! Ini pasti mimpi! Aku pasti sedang bermimpi. Kucubit lengan dengan keras, aw sakit! “Kalau tidak kuberi obat tidur, aku tak akan bisa menyipi kemolekan tubuhnya. Semalam aku benar-benar puas! Aku sengaja minu
Seminggu sudah masa cutiku. Hari ini mulai masuk kantor kembali. Namun, kejadian malam itu masih terus saja menghantui. Aku tetap tidak terima perlakuan si tua bangka yang telah merenggut paksa kesucianku. Hingga detik ini, Ambu dan Abah tidak mengetahui kejadian memalukan tersebut. Biarlah semuanya menjadi rahasia. Aku tak mau membuat mereka bersedih, khawatir dan kecewa.Selama satu minggu, aku gunakan untuk berpikir membalaskan dendam pada Sutiyoso!Akhirnya aku dapatkan cara untuk membuatnya menderita seumur hidup. Nomor ponsel pun aku ganti. Hanya segelintir orang yang mengetahui. Keluargaku, Bang Suryadi dan Pak Dewa. “Saya mohon, Pak. Jangan beritahukan nomor ini ke dia! Saya mohon ....” pintaku pada Pak Dewa saat memberi tahu nomor baru di ruangannya. Pak Dewa menarik napas panjang. Lelaki yang selalu bersikap sopan padaku, menumpu kedua tangan di atas meja.“Kamu tenang saja. Saya juga sebenarnya sangat marah atas kelakuan dia terhadap kamu. Tidak mungkin akan saya berita
“Saya khawatir jika Anda membalas kebaikan yang telah saya lakukan, kita akan menjadi semakin dekat. Kalau sudah dekat secara otomatis Anda akan tertarik dengan saya, dan ketertarikan itu semakin hari semakin meningkat, saya tidak mau itu terjadi. Karena pasti akan menyiksa Anda.” Bambang menjeda kata, lalu menghela napas.“Cinta bertepuk sebelah tangan itu sangatlah tidak menyenangkan. Anda pasti akan tersiksa. Kenapa saya berkata demikian? Karena tak mungkin saya membalas cinta yang mulai bersemi dalam hati Anda pada saya. Mohon maaf, saya masih beristri.” Jelasnya panjang lebar.“Apaan sih? Gak ngerti deh! Percaya diri amat kalau aku benar-benar cinta sama dia.” Aku membathin. Bambang ini terkadang otaknya seperti berlian, apalagi saat bertemu klien atau melakukan presentasi. Selalu membuat orang-orang terpukau. Tapi kadang juga otaknya seperti kerikil. Kugelengkan kepala, lalu bersikap seolah mengerti dengan apa yang diutarakannya.“Oh gitu, Pak.” Sahutku seraya tersenyum.“Maaf
Pukul 05.45, aku terbangun. Kedua mata mengerjap, lalu tertuju pada bungkusan berwarna biru putih yang terletak di atas nakas samping tempat tidur. Rasa takut dan cemas menjalari tubuh. Ada keraguan untuk melakukan test urine menggunakan alat tersebut. Takut kalau hasilnya dua garis. Aku menggelengkan kepala. Tidak! Pasti hanya satu garis.Aku menghela napas, kemudian menuju toilet. Meski diliputi kecemasan, tespeck itu tetap aku bawa.Setelah melakukan tes, tanpa melihat hasilnya, aku masukan kembali tespeck ke dalam bungkusnya. Lalu membasuh sekujur badan dengan air. Mandi.*** Keluar kamar, Mbak Ratih dan Mbok Rukmi sedang berkutat di dapur. “Saras belum bangun, Mbak?” tanyaku begitu berdiri di sampingnya. Mbak Ratih rupanya tidak menyadari kehadiranku, dia memegang dada karena kaget aku menyapanya.“Aduh Wulan, Mbak ampe kaget. Kirain siapa. Jantung Mbak serasa mau copot, Lan," katanya terkekeh, menepuk-nepuk dadanya.“Jam tiga subuh dia bangun, sekarang udah tidur lagi. Kamu u