Share

Apartemen

Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso.

Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.

Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos.

“Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?”

“Iya betul.”

Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.

“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.

“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.

“Oh udah buat janji?”

“Udah, Pak.”

Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...

“Ya sudah, mari saya antar.”

Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memiliki hati yang baik. Aku tersenyum menyambut baik niatnya.

“Mbak tunggu di sini. Mungkin sepuluh menit lagi Pak Dewa akan datang.”

Aku mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

Benar saja, baru saja menghempaskan bokong ke atas sofa, tepat sepuluh menit sosok laki-laki paruh baya itu memasuki gedung. Segera berdiri lalu menghampirinya.

“Pak Dewa,” sapaku ketika berdiri tepat di hadapannya.

“Rupanya kamu sudah datang. Ayo ikut dengan saya.”

Aku pun mengekori lelaki yang rambutnya mulai memutih itu.

Sepanjang jalan, para karyawan menyapanya dengan takzim. Kantor ini benar-benar luas. Aku harus bisa kerja di sini. Ambu dan Abah pasti bangga melihat anak perempuan satu-satunya menjadi karyawan di perusahaan besar.

Tiba di ruangan Pak Dewa, aku dipersilahkan duduk.

Laki-laki penuh wibawa itu menuju rak buku yang terletak di sudut kanan ruangan. Tangannya membawa beberapa lembar kertas dan dua buah buku tebal.

“Pelajari semua ini. Senin depan dites. Kalau lulus, bisa kerja di sini. Kalau tidak, saya minta maaf. Bagaimana pun saya tidak mau sembarangan menerima karyawan. Kamu paham?”

“Paham, Om!” jawabku semangat empat lima. Aku harus dapat membuktikan pada Pak Dewantara kalau aku bisa diandalkan!

“Oh iya, selama di kantor, kamu harus panggil saya Pak, jangan Om.”

“Oh iya, maaf Pak.” Pak Dewa tersenyum.

“Kalau gitu kamu boleh pulang. Datanglah senin depan. Nanti kamu di tes oleh Vera asisten saya. Kalau tidak ada yang ditanyakan, kamu boleh pulang.”

“Gak ada,Pak. Kalau gitu saya pamit dulu.” Aku pun beranjak setelah memasukan lembaran kertas ke dalam tas, dan menenteng dua buku tebal.

Kusalami tangan Pak Dewa seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali padanya.

***

Begitu tiba di kontrakan, langsung kubaca dan pelajari dua buku tebal itu.

Oh iya, sepertinya seminggu ini gak bisa kerja di tempat Bang Sur. Aku harus mengabarinya. Semoga saja dia kasih ijin.

“Aduh ... bakal sepi nih gak ada kamu, Lan.” Aku menghela napas mendengar tanggapan Bang Sur.

“Maaf, Bang. Cuma seminggu kok. Ini cita-cita Wulan, Bang. Pengen kerja di kantoran. Boleh ya, Bang?”

“Nanti kalau Wulan udah kerja di sana, apa Wulan berhenti kerja di sini?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Bang Sur pasti sangat khawatir kalau aku akan mengundurkan diri. Tidak dapat dipungkiri kalau aku adalah tambang emas untuknya.

“ Enggak, Bang. Malam harinya Wulan akan tetap kerja di situ.”

“Syukurlah. Ya sudah, kamu Abang ijinin. Tapi seminggu aja, ya?”

“Iya.”

“Mudah-mudahan kamu selalu sehat ya, Lan?”

“Aamiin. Doain biar Wulan sukses juga dong, Bang!”

“Iya. Abang yakin pasti Wulan sukses.”

“Makasih ya, Bang.”

Selesai menelepon, kembali kupelajari materi-materi dua buku itu.

Aku harus bisa. Harus bisa!! Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Harus aku buktikan pada orang-orang Desa, bahwa Wulandari binti Sutrisna bisa menjadi orang sukses! Pokoknya, mulai detik ini tidak akan aku biarkan keluargaku dicaci dan dihina lagi oleh mereka.

***

Tak menyangka, pagi-pagi sekali si Bandot tua sudah datang ke kontrakan.

“Ngapain ke sini?” tanyaku begitu pintu terbuka. Untung saja dua tetanggaku belum pada bangun.

“Om boleh masuk dulu, Lan?”

“Masuklah.” Kuikat rambut dengan asal. Pak Sutiyoso duduk di atas tikar. Maklum, tidak ada kursi. Kalaupun ada mau ditaro di mana. Kontrakan sempit begini.

Kedua mata Pak Sutiyoso mengitari ruangan. Aku tak peduli. Melengos ke dapur membawa segelas air putih.

“Gak usah repot-repot, Lan.”

“Cuma air putih," sahutku cuek.

Aku masih kesal dengan sikap Pak Sutiyoso saat di Mall. Laki-laki tua bangka ini diam saja ketika istrinya menghinaku di tempat umum.

“Ada apa, Om?” tanyaku ketus. Malas banget sebenarnya lihat bandot tua. Lelaki takut istri.

“Om minta maaf.”

“Maaf untuk?”

“Kejadian di Mall itu. Om gak tau kalau Ratna ada di sana.”

Aku diam. Enggan menanggapi.

“Lan, jangan marah ya?” Aku tetap cuek. Tak peduli dengan omongannya.

“Wulan gak mau maafin, Om?”

Menghela napas. Menatapnya lekat.

“Wulan gak suka dihina apalagi di caci maki di tempat umum! Wulan benci dengan sikap Om yang bisanya Cuma dieeeemm aja!” Akhirnya amarahku membuncah. Masih teringat akan caci maki istri Om Sutiyoso. Mentang-mentang orang kaya, seenaknya menghinaku.

Laki-laki itu beringsut mendekati. Telapak tangannya berusaha menggenggam tanganku, namun segera aku tepis.

“Wulan, Om benar-benar minta maaf. Gini deh, Om akan kabulin semua permintaan Wulan, asalkan Wulan mau maafin dan temenin Om lagi. Gimana?” Aku menoleh. Mencari kesungguhan dari bola mata laki-laki yang mungkin sudah seumuran dengan Abah.

Apa benar dia akan mengabulkan segala permintaanku? Oke, aku akan uji tawarannya.

“Beneran nih?”

“Iya, Sayang ....”

Idiiih ... rasanya mau muntah dengar panggilan itu.

Sabar, Lan ... kendalikan diri kamu. Gumamku dalam hati.

“Wulan mau maafin Om, asalkan Om mau ngabulin permintaan Wulan.” Kedua netra lelaki tua di hadapanku itu berbinar.

Wajah yang tadinya begitu sedih dan masam sekarang berubah berseri-seri. Dasar ABG expired!

“Iya, Sayang. Om pasti kabulin. Wulan mau minta apa?” tanyanya tak sabar.

Aku membuang muka, memerhatikan jarum jam yang sudah berada di angka enam.

“Wulan mau ....” Wulan sengaja menggantung kalimat sambil menggigit bibirnya membuat hasrat Sutiyoso mencuat.

“Ma-mau apa, Sayang?” Sutiyoso bertanya, suaranya terdengar bergetar karena tak tahan melihat sikap Wulan yang sensual. Wulan mendekati bandot tua itu, jemarinya memegangi dada Sutiyoso. Aliran darah Sutiyoso memanas menahan hasrat yang menggelora.

“Aku ingin ... hmmm ... ingin apartemen. Boleh 'kan?" Wulan sengaja mengedipkan sebelah mata membuat Sutiyoso tersadar dari lamunan liarnya.

"Bo-boleh, Sayang ... secepatnya Om akan membelikanmu apartemen. Om janji!"

Sontak, Wulan memeluk tubuh gendut itu dengan mesra sambil berucap, "Terima kasih Om ganteeenng ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status