Share

Perkenalan Menggetarkan

“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.

“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.

“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.”

Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso.

“Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.

Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia orang yang baik.

“Diminum Mbak airnya.” Aku meletakan secangkir teh manis di hadapan Vera.

“Makasih.” Vera mengambil cangkir yang berisi teh manis lalu menyesapnya.

“Kedatangan saya ke sini atas perintah Pak Dewa. Beliau menyuruh saya ngajarin kamu tentang segala pekerjaan yang akan nanti kamu lakuin sebagai sekretaris beliau," jelasnya dengan lembut.

“Oh, begitu.”

“Dua buku dan berkas-berkas yang Pak Dewa kasih ke kamu coba bawa ke sini," ujarnya. Aku pun masuk kamar mengambil dua buku dan berkas-berkas tersebut. Kemudian, keluar kamar bersiap mempelajari penjelasan Mbak Vera.

“Sudah kamu pelajari?” tanyanya saat kuletakkan barang-barang itu. Aku mengangguk seraya tersenyum. "Sudah, Mbak.”

“Ada yang tidak dimengerti?” tanyanya sambil membolak-balikkan buku tebal yang beberapa waktu lalu membuat kepalaku pening tujung keliling.

“Banyak, Mbak. Hehe," jawabku menggaruk-garuk kepala, nyengir kuda.

“Ya sudah sini saya jelasin. Kamu harus mengerti semuanya. Karena nanti kamulah yang menggantikan saya.” Aku tercenang mendengar penuturan. Begitu banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan dalam waktu dekat. Semoga saja otakku dapat menerima segala penjelasan tentang pekerjaanku nanti.

“Mbak, mau cuti berapa bulan?” Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.

“Gak cuti. Saya langsung resign.”

"Resign? tepatnya kapan, Mbak?" Aku mendesak dengan pertanyaan. Soalnya kalau resign dalam waktu dekat berarti aku harus lebih giat lagi mempelajari seluk beluk pekerjaannya.

"Kalau kamu sudah menguasai, saya akan langsung resign."

Aku manggut-manggut. Ingin bertanya alasannya tapi takut tak sopan.

“Halaman mana yang gak kamu mengerti?” Aku beringsut agar duduk lebih dekat dengannya.

Mbak Vera ini selain ramah, dia juga cerdas. Tutur bahasanya sangat santun.

Setelah kutunjukkan beberapa halamam yang tak dimengerti, dengan sabar Mbak Vera menjelaskannya hingga aku benar-benar mengerti.

Selain mengajarkanku materi, Mbak Vera juga memberitahuku cara bicara dan bersikap.

Dia juga tak sungkan menceritakan pengalamannya selama bekerja di kantor Pak Dewa.

“Gimana, Lan? Ada yang belum kamu mengerti?”

“Sudah, Mbak. Makasih banyak.”

Mbak Vera meminum jus mangga yang baru beberapa menit lalu aku buatkan.

Senyuman menghiasi wajah putihnya.

“Saya tuh sebenarnya betah kerja sama Pak Dewa. Beliau orangnya sopan, ramah, dermawan juga. Tapi suami ngelarang soalnya kondisi saya sekarang lagi hamil. Takut saya kecapekan. Apalagi anak pertama saya usianya baru tiga tahun," papar Vera seolah mengerti akan apa yang ingin aku tanyakan. Syukurlah kalau Pak Dewa sifatnya tidak sama dengan Sutiyoso.

“Oh begitu. Kalau boleh tau, hamilnya udah berapa bulan, Mbak?” Sebenarnya aku hanya berbasa-basi.

“Delapan bulan.” Tebakanku meleset lagi. Aku pikir sudah sembilan bulan.

“Wulan ini berasal dari daerah mana?” Giliran Mbak Vera yang bertanya.

“Saya orang desa, Mbak. Ini kerja juga sambil kuliah. Tapi saya semangat pengen sukses. Biar jadi orang terpandang di desa," sahutku apa adanya. Memang tujuanku di sini tiada lain ingin mengangkat derajat keluarga dengan memiliki harta yang berlimpah.

“Bagus, manusia itu memang harus punya ambisi. Ambisi yang positif.”

Sambil mengelus perutnya Mbak Vera meneguk kembali minuman yang aku hidangkan.

“Maaf Wulan, kalau bicara saya tidak berkenan. Kamu itu cantik, jangan pernah mau dimanfaatin laki-laki. Apalagi di kota besar seperti di sini. Harus pandai memilih teman.” Pesan Mbak Vera menohok hatiku. Apa mungkin Mbak Vera mengetahui pekerjaanku sebagai wanita penggoda?

“Iya, Mbak. Makasih banyak," jawabku sedikit gusar.

“Kalau gitu saya pulang dulu. Maaf merepotkan.”

“Enggak kok Mbak. Justru Wulan yang repotin Mbak," kataku mengelak ucapannya.

“Gak apa-apa," ujarnya sembari merangkul pundakku.

“Mbak pamit ya, Lan. Semoga sukses.”

“Iya, Mbak. Terima kasih."

Mbak Vera telah keluar apartemen. Aku kembali membuka buku-buku dan juga file yang masih tergeletak di atas meja.

***

Hampir dua jam lamanya aku menjalani test. Test tulisan dab lisan. Walaupun test lisannya agak sedikit tidak nyambung tapi tak apalah yang penting aku bisa menjawab. Lumayan membuatku pening dengan pertanyaan-pertanyaan yang agak membingungkan. Untung saja yang mengujiku itu laki-laki tampan.

Harusnya Mbak Vera yang mengujiku, tapi katanya beliau sudah tidak bekerja lagi. Sudah mengajukan permohonan resign.

“Baiklah, saya rasa cukup ujiannya. Nanti Anda tunggu telepon dari perusahaan. Karena saya bukan yang menentukan diterima atau tidaknya Anda di sini.” Aku masih termangu mendengar suara bas laki-laki yang duduk di hadapan.

“Hei, Anda dengar tidak?” Aku terlonjak saat lelaki yang di depan melambaikan tangan tepat di wajahku.

“Iya, Pak. Saya dengar.”

“Kenapa Anda lihatin saya seperti itu?”

“Oh, gak apa-apa.” Astaga kikuk aku dibuatnya. Kulirik lagi laki-laki itu, tatapan kami beradu pandang. Aku merunduk malu-malu.

Ya Tuhan, aku gak mau jatuh cinta. Wulan tugas kamu bukan mencari cinta, tapi mencari harta.

Pikiranku yang lain berbicara. Kuembuskan napas menghalau rasa gugup.

Laki-laki berkulit putih itu membenarkan letak dasi, punggungnya bersandar di sofa.

“Jangan malu-malu, kamu mengakui kan kalau aku ini laki-laki yang berparas tampan?”

Aku mendongak, menatapnya kembali. Sial! Bagaimana dia bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan?

“Iya 'kan? Kalau saya ini tampan?” Ia bertanya kembali. Dilempar pertanyaan kedua, mau tak mau aku mengakuinya.

“I-iya, Pak," sahutku mengulum senyum. Sumpah, jantungku berdetak lebih cepat. Rasanya aliran darahku memanas seketika.

“Gak usah malu-malu. Hampir semua wanita di muka bumi ini mengakui ketampanan saya. Oh iya kita belum kenalan, atau jangan-jangan Anda udah tahu nama saya?”

Ya Tuhan, percaya diri sekali lelaki ini? Tetapi, apa yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah. Dia memang tampan.

“Belum, Pak. Saya belum tahu nama Bapak.”

Kemudian ia berdiri sambil mengulurkan tangan, dengan gemetar kusambut uluran tangannya.

“Perkenalkan, nama saya Bambang Hermawan. Laki-laki tampan, mapan, dan ... sedikit dermawan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status