Share

Dipecat Sebelum Bekerja

Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?!

Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!

“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya.

Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.

“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.”

Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini.

Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.

“Terus maksud Om, booking itu apa?”

Hebat sekali orang tua ini, walaupun sudah lansia. Tetapi, masih tetap kuat meminum minuman yang mengandung alkohol. Dia masih waras, belum mabuk berat.

“Kita jalan-jalan saja. Misalnya temenin Om makan siang, nonton, shopping. Selama di sini Wulan belum pernah shopping 'kan?”

Aku berpikir sejenak. Menimang-nimang ajakan laki-laki beristrikan Ratna Ayu.

“Om tidak bohong kalau tidak akan mengajakku ke hotel? Hanya mengajakku jalan-jalan saja?” Aku memastikan jika ucapan Om Sutiyoso tidaklah bohong.

“Tidak, Lan. Lagian Om cuma minta ditemani dari pukul delapan pagi sampai jam lima sore. Setelah itu, Om antar kamu ke sini lagi.”

Aku bersandar di sofa sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Bayarannya berapa?”

“Ini cek kosong. Wulan tinggal isi. Tetapi, satu lagi ... Di luar sana, Wulan harus bersikap manja dan centil kayak biasanya, oke?”

Om Sutiyoso menjawil dagu lancipku. Aku mengambil secarik kertas persegi panjang itu. Mengibas-ibaskannya lalu terbersit ide. Mungkin ide ini awal dari kesuksesanku yang sesungguhnya.

Aku memberikan kembali cek ke telapak tangan Pak Sutiyoso.

“Kali ini Wulan tidak mau uang. Tetapi, Wulan mau pekerjaan!” ucapku dengan sangat yakin.

“Pekerjaan? Pekerjaan apa?”

Om Sutiyoso menatapku lekat. Aroma alkohol dari mulutnya tercium jelas.

“Aku ingin bekerja di kantor, Om. Minimal jadi sekretaris.”

Kelopak mata Pak Sutiyoso membulat. Mungkin dia terkejut dengan permintaanku.

“Wulan pernah kuliah?”

“Tidak. Tetapi, waktu masih sekolah, aku salah satu siswa berprestasi. Sebelum memberikan pekerjaan, Om bisa tes aku dulu. Asalkan kasih aku materinya. Apa saja yang harus aku pelajari dan kerjakan. Apa Om ragu dengan kemampuanku?”

Aku menatap lekat laki-laki yang usianya mungkin sebaya dengan Abah.

Om Sutiyoso menggeleng cepat, “Bukan, bukan begitu, Lan. Justru Om semakin kagum sama kamu. Ternyata Wulan wanita yang ambisius. Bagus itu! Calon wanita yang sukses.”

Mendapat pujian, aku tersenyum bangga. Ya, aku memang harus sukses. Harus banyak uang. Harus!

Tiba-tiba aku membayangkan berpakaian wanita kantoran yang sering kutonton di televisi. Sepertinya aku semakin cantik jika mengenakan pakaian seperti itu. Bibirku menyunggingkan senyum percaya diri.

Aku menoleh ke arah Om Sutiyoso yang sedang meneguk minumannya kembali.

“Kalau Om keberatan, tidak masalah. Berarti besok aku tidak bisa menemani, Om!” Ancamku dengan wajah ditekuk.

Apa mungkin tua bangka ini meragukan kecerdasanku?

“Tidak, Om tidak keberatan. Om sangat senang. Setidaknya hubungan kita semakin dekat. Hahaha ....” Gelak tawa yang menjijikkan!

Aku bukan anak kecil yang tak tahu laki-laki yang dalam otaknya hanya nafsu dan nafsu saja.

Om Sutiyoso tipikal laki-laki yang haus kasih sayang. Aku memaklumi soalnya istri Om Sutiyoso itu seperti Harimau betina. Begitulah kesimpulanku menangkap cerita dari mulut Om Sutiyoso.

***

Jarum jam belum menunjukkan angka delapan pagi dengan tepat. Namun, Om Sutiyoso sudah menampakkan batang hidung.

Penghuni rumah petak di sebelah kanan kiriku mulai berkasak-kusuk. Samar kudengar mereka berbicara.

“Si Wulan ternyata sekarang jadi simpanan Om-om.” Mpok Tarmi mulai menyebar gosip murahan.

“Sayang banget, punya wajah cantik bukannya cari laki yang single dan muda malah pilih bandot tua.” Si Yeni yang usianya lebih muda setahun dariku menimpali.

“Jangan salah, bandot tua juga banyak duit. Lah, mobilnya juga bagus banget.”

Telingaku mulai terasa panas! Tetapi, biarlah. Tidak ada guna melayani perkataan mereka. Toh, Mpok Tarmi dan si Yeni tidak pernah memberikan aku yang!

Om Sutiyoso membukakan pintu mobil mewahnya. Setelah aku duduk dengan nyaman, tua bangka itu masuk ke jok pengemudi. Lalu, kendaraan yang kami tumpangi pun melaju, meninggalkan kontrakan petak.

***

Sesuai kesepakatan, sepanjang jalan aku bermanja-manja dengannya. Tak peduli dengan tatapan sinis orang lain. Bagiku sekali lagi, yang penting duit!

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah bioskop yang terletak di pusat perbelanjaan.

Jujur saja, baru kali ini kakiku menginjakkan Mall. Waktu di Desa, jangankan ke Mall, ke pasar pun jarang sekali. Mungkin hanya menjelang Idul Fitri.

“Sayang, sambil nunggu filmnya mulai. Kita belanja dulu, ya?”

Hah? Sayang?

“Oke, Sayang!” sahutku menggamit lengannya manja.

Alamaaakk ... Tua bangka ini wajahnya langsung sumringah. Dasar laki-laki kurang kasih sayang.

Aku berjalan sambil menahan tawa.

Di depan toko sepatu, aku dilayani bak seorang Ratu. Duduk di sofa empuk, seorang karyawan wanita berambut sebahu begitu telaten memasangkan sepatu pada kaki jenjangku.

Beberapa kali kutolak sepatu yang karyawan itu pasangkan. Sebenarnya bukan aku tak suka. Tetapi, bingung harus pilih yang mana.

Aku melirik Om Sutiyoso. Dia berdiri tak jauh dariku. Aku melempar senyum genit saat kami beradu pandang.

Pemilik toko menghampiri tua bangka itu, oh rupanya Pemilik toko ini teman Om Sutiyoso.

“Yos, itu pacar kau?” tanya si Pemilik toko. Aku pura-pura acuh.

“Iya dong!”

Si tua bangka hanya tersenyum. Melipat kedua tangan ke depan dada. Perut buncitnya maju beberapa senti.

Sekitar setengah jam kami berada di toko ini. Om Sutiyoso menghampiri.

“Sayang, sepuluh menit lagi filmya dimulai. Ayo, cepat pilih sepatunya.”

“Aku suka sepatu yang ini, itu, sama yang dipegang si Mbak.”

“Ya sudah ambil semua. Mbak tolong diberesin. Hei, Jok! Uangnya nanti aku transfer sajalah. Rekening kau masih sama ‘kan?”

“Masih! Aku tunggu transferannya, Yos!” sahut Pak Joko mengacungkan ibu jari.

Kami berjalan setengah berlari. Namun, tiba-tiba Om Sutiyoso menghentikkan langkah saat seorang wanita berpakaian glamour mendekati kami. Tua bangka juga menepis tanganku dari lengannya.

“Siapa dia, Pak?”

Wanita yang kutaksir seumuran dengan Pak Sutiyoso bertanya. Matanya menelisikku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Di-dia, sekretaris Bapak, Bu.”

Bu? Jangan-jangan wanita yang berdiri angkuh di hadapanku adalah istri si tua bangka.

“Benar kamu sekretarisnya?”

“Iya, Bu,” jawabku setenang mungkin.

Wanita yang bernama Ratna Ayu mendekatiku hingga jarak kami hanya beberapa senti.

“Mulai hari ini, kamu dipecat!!!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status