Share

Di-booking

Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke.

Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.

Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening.

Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah.

Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa.

***

Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Banyak pengunjung dari kalangan pembisnis. Apalagi tempat karaoke ini cukup tertutup. Jadi, aman untuk para bos-bos besar itu singgah.

“Kamu itu punya daya pikat tersendiri, Lan. Abang harap Wulan betah di sini, ya? Jangan sampai berhenti.” Bang Suryadi memuji sekaligus memohon.

Aku tersenyum bangga. Baru kali ini bersyukur memiliki paras cantik. Ternyata kecantikanku ada gunanya juga. Namun, tidak sedikit pula pemandu karaoke dan artis dangdut di sini terlihat sinis padaku. Entah karena mereka iri, dengki atau mungkin karena mereka tidak memiliki apa yang aku miliki.

Aku pernah mendengar percakapan Tiara dan Delia di toilet.

“Aku curiga sama si Wulan, Del,” celetuk Tiara tanpa tahu keberadaanku di salah satu bilik toilet.

“Curiga kenapa?”

“Curiga kalau si Wulan itu menggunakan susuk pemikat.”

Susuk? Dia berpikir aku pakai susuk? Susuk sate kali. Ada-ada saja mereka.

“Iya, aku juga berpikir seperti itu. Bayangkan saja, sejak kehadiran dia, tempat ini jadi ramai. Sampai kedatangan pengusaha-pengusaha elite. Edan!” Bicara Tiara bernada sinis, iri dan dengki.

“Belum lagi, para pengunjung maunya ditemani si Wulan, terutama kalangan dari bos-bos besar. Aku penasaran deh, dia pasang susuk pemikatnya di dukun mana, ya?” tanya Tiara. Kalimat terakhirnya membuatku geli. Kembali kutajamkan pendengaran.

“Aku juga tidak tahu. Eh, bukannya kamu juga pakai susuk pemikat, ya?”

“Ssssttt ... Jngan keras-keras bicaranya, Del. Nanti kalau ada yang dengar, bisa gawat.”

Kubuka pintu toilet sedikit, temannya itu menempelkan jari telunjuk pada bibirnya.

“Maaf. Tetapi, yang aku tahu, si Wulan itu tidak mau di-booking ke hotel lho.”

“Masa? Sok jual mahal amat. Munafik!”

Aku menggelengkan kepala mendengarkan percakapan mereka. sudah tidak dapat dibiarkan mulut Tiara dan si Delia. Dengan kasar, aku membuka pintu toilet.

“Siapa yang munafik? Aku?” tanyaku tanpa berbasa-basi.

Tiara dan Delia terperanjat. Mereka saling pandang. Mereka pasti tidak menyangka kalau aku ada di dalam toilet. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Di sini aku tidak boleh lemah. Tidak boleh ada orang yang menghinaku. Cukup di desa saja. Aku harus pandai memanfaatkan perhatian istimewa pemilik tempat karaoke ini.

“Kalian mau aku laporin ke Bang Sur?” Aku memicingkan mata, memberi ancaman pada mereka.

“Laporin apa? Memangnya kita salah apa?”

Tiara pura-pura dungu. Aku mencebik. Aku tahu dalam hati mereka pasti ketar-ketir.

Tangan kananku mengeluarkan ponsel. Mengangkat benda canggih itu ke depan wajah. Menakuti mereka dengan pura-pura merekam pembicaraan antara Tiara dan Delia.

“Pembicaraan kalian sudah aku rekam. Aku bisa saja, menyuruh Bang Suryadi memilih. Pilih pecat kalian berdua, atau pilih aku yang pergi dari tempat ini!” Ancamku penuh penekanan. Wajah Tiara dan Delia langsung pias.

Semua orang di sini tahu, kalau aku karyawan spesial Bang Sur. Adanya aku di sini, omset Bang Sur naik drastis. Apalagi aku mampu menggaet pelanggan dari kalangan atas.

“Ja-jangan, Wulan ... Kami minta maaf. Tolong jangan laporin pada Bang Sur.” Tiara mulai memohon.

Aku menghela napas. Menatap satu persatu wajah seniorku itu.

Harusnya mereka lebih kuat dan berkuasa dari pada aku. Tiara dan Delia kabarnya sudah tiga tahun bekerja di tempat ini. Sedangkan aku, satu tahun pun belum.

Lagi-lagi aku bangga akan diri sendiri yang dianugrahi kecantikan alami.

“Oke, aku tidak akan lapor, asalkan omongan kalian tentang aku dijaga. Dengar baik-baik, aku Wulandari tidak pernah dan tidak akan memakai susuk! Tidak akan pernah mau di-booking! Bukan aku munafik, tetapi aku masih punya harga diri sebagai wanita! Tidak akan menghinakan diri sendiri hanya demi beberapa lembar rupiah seperti kalian! Kalian mmengert?” Suaraku meninggi. Seperti seorang bos yang memarahi bawahannya yang bekerja tidak becus.

“Mengerti, Lan .... mengerti,” sahut mereka dengan kepala merunduk dalam. Aku tersenyum puas.

“Bagus. Sekali lagi aku dengar kalian berdua membicarakan hal buruk tentang aku, aku tidak akan segan-segan menyuruh Bang Sur untuk pecat kalian berdua.” Jari telunjukku mengarah pada kedua hidung mereka.

Rasanya puas sekali, bisa memarahi dan mengancam si Tiara dan Delia.

“Kami janji, Lan ... Tidak akan mengulanginya lagi.”

Aku tersenyum puas menyaksikan ketakutan mereka. Mungkin dulu ekspresi wajah aku seperti mereka saat diancam orang kampung. Diancam karena Ambu dan Abah tidak mampu membayar hutang Teh Marni.

***

Malam ini, pelanggan dari kalangan bos besar datang. Namanya Pak Sutiyoso. Awalnya dia datang bersama Pak Dewantara. Namun sudah tiga kali datang sendirian.

Katanya Pak Dewa dan Pak Sutiyoso berteman akrab sejak mereka masih sekolah menengah.

Pak Sutiyoso ke tempat ini bukan untuk bernyanyi. Tetapi, untuk berkeluh kesah atau istilahnya curhat padaku.

Seperti biasa, aku minta bayaran tiap jam ketika menemani laki-laki berperut gendut itu. Zaman sekarang tidak ada yang gratis! Semuanya serba aku jadikan uang. Pak Sutiyoso langsung menyanggupi, tidak keberatan sama sekali.

“Kalau perlu, Om bayar lebih dari yang kamu minta. Tetapi, dengan satu syarat ....”

Mataku langsung berbinar mendengar bayaran lebih yang akan diberikan Om Sutiyoso.

“Apa syaratnya, Om?” tanyaku penasaran. Pak Sutiyoso mendekatkan bibirnya di telingaku.

“Syaratnya, kamu harus mau Om booking, bagaimana? Kamu mau ‘kan?”

Apa? Lelaki tua bangka ini mau membooking? Aku sudah bertekad tidak mau dibawa kemana-mana oleh pelanggan, hanya menemaninya berbicara dan bernyanyi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status