Share

Wanita Penggoda
Wanita Penggoda
Author: Syatizha

Gunung Kawi

Memiliki paras yang cantik dan fisik nyaris sempurna tidak lantas membuatku bahagia.

Namaku Wulandari, anak pertama dari empat bersaudara. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Keluarga yang kerap kali dihina dan tak jarang mendapat perlakuan rendah orang-orang sekitar, hanya karena tidak memiliki harta berlimpah dan banyak hutang.

Bapak yang kupanggil Abah bekerja serabutan. Itu pun kalau sedang mau. Lebih sering berpangku tangan, mengandalkan Ambu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Pak Lurah.

“Abah mau bertani. Tidak mau bekerja!” tukas Abah saat Ambu mulai menyuruhnya mencari nafkah.

“Abah, kalau bertani mah harus punya sawah. Memangnya kita punya sawah?” sahut Ambu kesal.

Istri mana yang tidak kesal, melihat suami setiap pagi kerjanya duduk di balai sembari minum kopi dan merokok.

“Sudahlah, masih pagi sudah ribut. Malu atuh sama tetangga Ambuuu ....”

“Yang kudu malu itu Abaaaah

... jadi suami tidak ada tanggung jawabnya!”

Adu mulut itu hampir tiap hari terjadi. Aku dan adik-adik sudah tidak terlalu mempedulikan.

Selesai memandikan Ujang dan Asep, aku bergegas mengambil pakaian mereka. Memakaikannya satu persatu. Sedangkan Jaka adik pertamaku, menginap di rumah temannya. Usia Jaka sudah empat belas tahun, dia hanya tamatan SD. Ujang masih berumur tiga tahun, sedangkan Asep lima tahun. Aku sendiri baru tamat SMA setahun lalu, itu pun dibiayai pemerintah karena termasuk siswa yang cerdas.

“Neng ... Neng Wulaaan ....”

“Iya, Ambu?”

“Ini, uang tiga puluh ribu untuk membeli beras sama telur.” Suara Ambu setengah berbisik.

“Jangan sampai ketahuan sama Abah. Kalau Abah sampai tahu, nanti malah dibeliin kopi sama rokok.”

Aku mengangguk, lalu menyimpan uang pemberian ibu.

***

Tak lama setelah Ambu pergi ke rumah Pak Lurah, aku pun ke warung untuk membeli pesanan Ambu.

“Mau hutang lagi, Lan?” tanya Teh Mirna pemilik warung sembako dengan ketus. Ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung menoleh ke arahku.

“Enggak. Wulan bawa uang. Teh, Wulan mau beli telur seperapat sama beras satu liter.”

“Mana coba uangnya?”

Wajar, kalau Teh Mirna tidak percaya karena hutang keluargaku sudah berlembar-lembar di buku catatan hutang milik Teh Mirna. Aku memperlihatkan dua lembar uang kertas ke hadapannya.

“Lan, kamu ‘kan lulusan SMA. Kenapa tidak kerja di kota saja? Kalau kamu kerja pasti bisa bantu-bantu keuangan keluargamu kamu,” celetuk Teh Zulfa, tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Benar sekali! Apalagi kamu punya badan bagus, wajah cantik. Pasti sangat mudah mendapat pekerjaan.” Giliran Teh Yati ikut berbicara. Aku masih enggan menanggapi.

“Jadi artis dangdut saja atuh, Lan ... Ikut sama si Kang Heri. Kalau mau, nanti teh Zulfa yang bicara.”

“Nih, belanjaannya. Telur delapan ribu, beras sepuluh ribu. Jadi, delapan belas ribu,” ujar Teh Mirna dengan suara yang jauh dari kata ramah. Aku menyerahkan uang berwarna hijau.

“Ya ampun, Wulaaan ... kalau diajak ngobrol, tanggapi dong! Malah diam saja! Kamu tuli?” Protes Teh Yati. Aku menghela napas kasar. Berusaha tetap sabar.

“Si Wulan itu pemalas. Percuma cantik juga kalau malas! Makanya sampai sekarang masih jomblo! Cantik juga percuma, ditinggal kawin terus sama pacarnya. Ya iyalah, orang si Wulan pemalas,” cetus pemilik warung, menyerahkan kembalian dua ribu rupiah.

“Kalau Wulan kerja, Ujang sama Asep siapa yang jaga?”

Akhirnya aku buka suara. Sebenarnya ingin sekali kusumpal mulut-mulut mereka.

‘Tunggu saja, suatu saat nanti aku pasti jadi orang kaya. Banyak uang!’ Tekadku dalam hati.

“Alasan! Jangan jadikan kedua adikmu sebagai alasan, Lan! Bilang saja kalau kamu itu malas! Nih, Lan ... Harusnya kamu itu bekerja! Membantu perekonomian keluarga kamu! Supaya keluarga kamu itu tidak pinjam uang terus! Tidak berhutang terus! Dasar, orang miskin!”

Mendengar ucapan Teh Marni, darahku mendidih. Rasanya sakit sekali keluarga dihina seperti ini. Bukan malas, aku hanya khawatir dengan kedua adikku yang masih kecil. Akan tetapi, perkataan mereka tidak sepenuhnya salah. Keluargaku memang terkenal sering berhutang.

Setelah mengambil uang kembalian dua ribu, aku memilih pergi meninggalkan mereka yang masih saja membicarakan dan menghina keluargaku.

***

Pekerjaan yang Ambu lakukan hanya diberi upah tiga puluh ribu perhari. Kalau ditambah dengan menyetrika, bisa diberi delapan puluh ribu. Tetapi, itu pun hanya kadang-kadang saja menyetrikanya.

Aku tidak seperti gadis desa lain. Keseharianku hanya dirumah menjaga adik-adik. Sudah malas juga bergaul dengan anak-anak sebaya di desa ini.

“Mendingan aku, Lan. Walaupun tidak secantik kamu, tetapi sudah punya pacar.”

Mumun menyombongkan diri pada saat kami berkumpul untuk merayakan acara perlombaan tujuh belas Agustus tahun lalu.

“Kasihan kamu, Lan ... Punya wajah cantik tidak berguna! Sekalinya punya tunangan, malah ditikung sahabat sendiri. Tetapi, wajar si Cecep lebih memilih si Minah. Minah kan orang tuanya punya sawah banyak. Lah kamu? Cuma punya banyak hutang. Hahahaha.”

Perkataan teman-temanku yang mengejek terdengar kembali.

Usia belasan tahun gadis di desaku sudah menikah. Sebenarnya dua bulan lalu, ada juragan tanah dari kecamatan lain yang ingin melamar. Akan tetapi, Ambu menolak karena laki-laki yang seumuran Abah itu telah memiliki istri.

“Jangan, Neng. Walaupun dia kaya raya, kalau punya istri lebih baik ditolak. Neng juga pernah merasakan, rasanya dikhianati pacar. Sakit ‘kan? Apalagi dikhianati suami?”

Ucapan Ambu selalu aku ingat. Ambu sangat melarangku agar tidak boleh dinikahi oleh lelaki yang telah memiliki istri.

“Kamu memang harus menikah dengan laki-laki yang kaya raya. Tetapi, jangan yang masih memiliki istri. Ambu lebih baik punya mantu duda, tampan, dan mapan. Heheheh ....” Canda Ambu pada suatu malam. Saat itu, aku hanya meringis mendengar keinginan Ambu. Apa mungkin ada duda yang kaya raya, tampan dan mapan mau menikahi gadis desa sepertiku? Ah, entahlah!

***

Seperti malam-malam sebelumnya, mataku enggan terpejam. Keinginan menjadi orang kaya raya semakin kuat. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama. Tidak boleh hanya berdiam diri. Sudah menjadi tugasku mengangkat harkat dan martabat keluarga.

“Pokoknya aku harus menjadi orang kaya. Sudah cukup mereka menghina keluargaku.”

Tiba-tiba aku teringat obrolan Kang Sukri dan Kang Dandi di pos ronda.

“Cuma bertapa seminggu di gunung Kawi, balik dari sana, si Mardun jadi banyak uang. Mendadak jadi orang kaya raya! Sekarang saja, sawahnya sudah lima hektar! Edan!”

Apakah aku juga harus ke sana? Harus bertapa di Gunung Kawi untuk melakukan pesugihan? Semakin lama, aku tidak sanggup mengahadapi ocehan orang-orang desa. Mungkin benar, aku harus mencari pekerjaan di Ibu kota atau kalau tidak ... Mau tidak mau, aku harus nekat ke Gunung Kawi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status