Memiliki paras yang cantik dan fisik nyaris sempurna tidak lantas membuatku bahagia.
Namaku Wulandari, anak pertama dari empat bersaudara. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Keluarga yang kerap kali dihina dan tak jarang mendapat perlakuan rendah orang-orang sekitar, hanya karena tidak memiliki harta berlimpah dan banyak hutang.Bapak yang kupanggil Abah bekerja serabutan. Itu pun kalau sedang mau. Lebih sering berpangku tangan, mengandalkan Ambu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Pak Lurah.“Abah mau bertani. Tidak mau bekerja!” tukas Abah saat Ambu mulai menyuruhnya mencari nafkah.“Abah, kalau bertani mah harus punya sawah. Memangnya kita punya sawah?” sahut Ambu kesal.Istri mana yang tidak kesal, melihat suami setiap pagi kerjanya duduk di balai sembari minum kopi dan merokok.“Sudahlah, masih pagi sudah ribut. Malu atuh sama tetangga Ambuuu ....”“Yang kudu malu itu Abaaaah... jadi suami tidak ada tanggung jawabnya!”Adu mulut itu hampir tiap hari terjadi. Aku dan adik-adik sudah tidak terlalu mempedulikan.Selesai memandikan Ujang dan Asep, aku bergegas mengambil pakaian mereka. Memakaikannya satu persatu. Sedangkan Jaka adik pertamaku, menginap di rumah temannya. Usia Jaka sudah empat belas tahun, dia hanya tamatan SD. Ujang masih berumur tiga tahun, sedangkan Asep lima tahun. Aku sendiri baru tamat SMA setahun lalu, itu pun dibiayai pemerintah karena termasuk siswa yang cerdas.“Neng ... Neng Wulaaan ....”“Iya, Ambu?”“Ini, uang tiga puluh ribu untuk membeli beras sama telur.” Suara Ambu setengah berbisik.“Jangan sampai ketahuan sama Abah. Kalau Abah sampai tahu, nanti malah dibeliin kopi sama rokok.”Aku mengangguk, lalu menyimpan uang pemberian ibu.***Tak lama setelah Ambu pergi ke rumah Pak Lurah, aku pun ke warung untuk membeli pesanan Ambu.“Mau hutang lagi, Lan?” tanya Teh Mirna pemilik warung sembako dengan ketus. Ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung menoleh ke arahku.“Enggak. Wulan bawa uang. Teh, Wulan mau beli telur seperapat sama beras satu liter.”“Mana coba uangnya?”Wajar, kalau Teh Mirna tidak percaya karena hutang keluargaku sudah berlembar-lembar di buku catatan hutang milik Teh Mirna. Aku memperlihatkan dua lembar uang kertas ke hadapannya.“Lan, kamu ‘kan lulusan SMA. Kenapa tidak kerja di kota saja? Kalau kamu kerja pasti bisa bantu-bantu keuangan keluargamu kamu,” celetuk Teh Zulfa, tiba-tiba sudah berada di sampingku.“Benar sekali! Apalagi kamu punya badan bagus, wajah cantik. Pasti sangat mudah mendapat pekerjaan.” Giliran Teh Yati ikut berbicara. Aku masih enggan menanggapi.“Jadi artis dangdut saja atuh, Lan ... Ikut sama si Kang Heri. Kalau mau, nanti teh Zulfa yang bicara.”“Nih, belanjaannya. Telur delapan ribu, beras sepuluh ribu. Jadi, delapan belas ribu,” ujar Teh Mirna dengan suara yang jauh dari kata ramah. Aku menyerahkan uang berwarna hijau.“Ya ampun, Wulaaan ... kalau diajak ngobrol, tanggapi dong! Malah diam saja! Kamu tuli?” Protes Teh Yati. Aku menghela napas kasar. Berusaha tetap sabar.“Si Wulan itu pemalas. Percuma cantik juga kalau malas! Makanya sampai sekarang masih jomblo! Cantik juga percuma, ditinggal kawin terus sama pacarnya. Ya iyalah, orang si Wulan pemalas,” cetus pemilik warung, menyerahkan kembalian dua ribu rupiah.“Kalau Wulan kerja, Ujang sama Asep siapa yang jaga?”Akhirnya aku buka suara. Sebenarnya ingin sekali kusumpal mulut-mulut mereka.‘Tunggu saja, suatu saat nanti aku pasti jadi orang kaya. Banyak uang!’ Tekadku dalam hati.“Alasan! Jangan jadikan kedua adikmu sebagai alasan, Lan! Bilang saja kalau kamu itu malas! Nih, Lan ... Harusnya kamu itu bekerja! Membantu perekonomian keluarga kamu! Supaya keluarga kamu itu tidak pinjam uang terus! Tidak berhutang terus! Dasar, orang miskin!”Mendengar ucapan Teh Marni, darahku mendidih. Rasanya sakit sekali keluarga dihina seperti ini. Bukan malas, aku hanya khawatir dengan kedua adikku yang masih kecil. Akan tetapi, perkataan mereka tidak sepenuhnya salah. Keluargaku memang terkenal sering berhutang.Setelah mengambil uang kembalian dua ribu, aku memilih pergi meninggalkan mereka yang masih saja membicarakan dan menghina keluargaku.***Pekerjaan yang Ambu lakukan hanya diberi upah tiga puluh ribu perhari. Kalau ditambah dengan menyetrika, bisa diberi delapan puluh ribu. Tetapi, itu pun hanya kadang-kadang saja menyetrikanya.Aku tidak seperti gadis desa lain. Keseharianku hanya dirumah menjaga adik-adik. Sudah malas juga bergaul dengan anak-anak sebaya di desa ini.“Mendingan aku, Lan. Walaupun tidak secantik kamu, tetapi sudah punya pacar.”Mumun menyombongkan diri pada saat kami berkumpul untuk merayakan acara perlombaan tujuh belas Agustus tahun lalu.“Kasihan kamu, Lan ... Punya wajah cantik tidak berguna! Sekalinya punya tunangan, malah ditikung sahabat sendiri. Tetapi, wajar si Cecep lebih memilih si Minah. Minah kan orang tuanya punya sawah banyak. Lah kamu? Cuma punya banyak hutang. Hahahaha.”Perkataan teman-temanku yang mengejek terdengar kembali.Usia belasan tahun gadis di desaku sudah menikah. Sebenarnya dua bulan lalu, ada juragan tanah dari kecamatan lain yang ingin melamar. Akan tetapi, Ambu menolak karena laki-laki yang seumuran Abah itu telah memiliki istri.“Jangan, Neng. Walaupun dia kaya raya, kalau punya istri lebih baik ditolak. Neng juga pernah merasakan, rasanya dikhianati pacar. Sakit ‘kan? Apalagi dikhianati suami?”Ucapan Ambu selalu aku ingat. Ambu sangat melarangku agar tidak boleh dinikahi oleh lelaki yang telah memiliki istri.“Kamu memang harus menikah dengan laki-laki yang kaya raya. Tetapi, jangan yang masih memiliki istri. Ambu lebih baik punya mantu duda, tampan, dan mapan. Heheheh ....” Canda Ambu pada suatu malam. Saat itu, aku hanya meringis mendengar keinginan Ambu. Apa mungkin ada duda yang kaya raya, tampan dan mapan mau menikahi gadis desa sepertiku? Ah, entahlah!***Seperti malam-malam sebelumnya, mataku enggan terpejam. Keinginan menjadi orang kaya raya semakin kuat. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama. Tidak boleh hanya berdiam diri. Sudah menjadi tugasku mengangkat harkat dan martabat keluarga.“Pokoknya aku harus menjadi orang kaya. Sudah cukup mereka menghina keluargaku.”Tiba-tiba aku teringat obrolan Kang Sukri dan Kang Dandi di pos ronda.“Cuma bertapa seminggu di gunung Kawi, balik dari sana, si Mardun jadi banyak uang. Mendadak jadi orang kaya raya! Sekarang saja, sawahnya sudah lima hektar! Edan!”Apakah aku juga harus ke sana? Harus bertapa di Gunung Kawi untuk melakukan pesugihan? Semakin lama, aku tidak sanggup mengahadapi ocehan orang-orang desa. Mungkin benar, aku harus mencari pekerjaan di Ibu kota atau kalau tidak ... Mau tidak mau, aku harus nekat ke Gunung Kawi.Pukul enam pagi, aku menghampiri Ambu yang sedang mencuci pakaian di sumur belakang rumah, ingin mengutarakan niat pergi ke Gunung Kawi.“Ambu ....”Perempuan bertubuh kurus itu menoleh. “Ada apa, Neng?” Ibu menjawab sambil tetap menggilas pakaian di atas papan bergerigi.Aku berjongkok di depan bak besar, mengucek-ucek pakaian yang telah direndam.“Jangan nyuci! Nanti tangan kamu kasar. Sudah sana, biar Ambu saja yang mencuci.”“Tangan halus juga percuma Ambu, Neng tetap saja jomblo.” Aku menjawab terkekeh. Tetapi, tidak Ambu, tatapan matanya seolah menyiratkan kesedihan.“Tidak apa-apa, Neng. Mungkin belum ketemu lelaki yang tepat saja. Ambu yakin, Neng cantik akan memiliki suami yang tampan dan mapan.” Harapan yang selalu Ambu katakan membuatku merunduk sedih. Bagaimana bisa mendapatkan lelaki yang seperti Ambu harapkan jika kehidupanku di rumah saja?Kami terdiam, bergelut dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar kucuran air dari kran dan suara Ayam berkokok m
Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke. Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening. Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah. Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa. ***Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Ban
Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?! Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya. Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.” Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini. Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat? Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!” Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.Entah kekuatan dari
Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso. Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos. “Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?” “Iya betul.”Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.“Oh udah buat janji?”“Udah, Pak.” Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...“Ya sudah, mari saya antar.”Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memili
“Sama-sama, Sayang ....”Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita. “Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember
“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.” Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso. “Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia o
Hah? Sedikit dermawan? Sayang sekali. Ternyata dia bukan idamanku. Padahal wajahnya sangat tampan. Tetapi, kalau pelit, ogah!Aku menarik tangan dari genggamannya. Maleslah, naksir cowok pelit! Misalnya laki-laki itu paling tampan sedunia pun, kalau dia pelit, bagiku tetap jelek!! Dalam hidupku saat ini hanya uang, uang dan uang! Urusan cinta nomor sekian. Rasa sakit hatiku karena dikhianati pacar dan tikung sahabat sendiri, cukup membuatku malas jatuh hati pada pria. Sudahlah, aku harus fokus mengumpulkan uang sebanyak mungkin supaya keluargaku di desa dinaikan harkat martabatnya dan dihormati oleh Warga desa. Aku harus fokus! fokus!“Kalau udah selesai, saya pamit ya, Pak.”“Oh iya silakan. Saya harap pikiran Anda tidak dibayangi oleh paras tampan yang saya miliki. Tidur Anda tetap nyenyak, selera makan Anda tetap enak.”Aku paksakan bibir ini tersenyum walaupun sebenarnya agak mual mendengar celotehan Pak Bambang.“I-iya, Pak. Mari Pak, permisi.”Keluar dari ruangan itu, handphone