Meski masih terasa perih pada bekas operasi, Namun aku tetap memaksakan diri bertemu dengan Pak Dewa si sebuah restoran untuk membicarakan rencana pelaporan Sutiyoso tentang pembunuhan yang ia lakukan beberapa tahun silam.“Lebih baik kamu istrahat saja. Biar nanti saya yang ke kantor polisi.” Saran Pak Dewa. “Saya tidak apa-apa. Saya ingin mengakhiri kegilaan Sutiyoso.” Aku memang sudah mulai letih dengan permainan si Bandot tua. Dituruti malah melunjak. Sudah tidak bisa dimaafkan. Dia telah membuat Mas Bambang pergi meninggalkanku. Pak Dewa menghela napas.“Saya Cuma khawatir dengan kondisi kesehatan kamu dan bayi kamu. Tidak baik terlalu sering meninggalkannya.” Aku merunduk. Mengerti dengan maksud Pak Dewa.“Apa kamu sudah tidak percaya lagi sama saya?” Pertanyaan Pak Dewa membuatku menggeleng cepat.“Bukan begitu, Pak. Saya Cuma tidak mau ada orang lain yang terlibat. Seperti yang Bapak ketahui, dulu saya membuat Mbak Lastri dan Bang Sur untuk menjauhi saya. Karena saya takut me
Hatiku benar-benar remuk. Mas Bambang telah membenciku. Dia sudah tidak mengharapakn aku kembali lagi. Cinta yang telah bersemi, kandas sudah oleh kebohongan yang aku ciptakan sendiri. Benar kata orang, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pastilah tercium juga.“Maaaaassss!!! Mas Bambaaaangg!!” Kupanggil namanya berulang-ulang. Berharap laki-laki yang kucintai itu berbalik, menoleh padaku dan memeluk tubuh ini dengan erat. Namun, tubuh yang kurindukan itu tak jua datang. Aku semakin menangis histeris. Sebuah tangan membantuku berdiri. Dia bukan Mas Bambang, melainkan waria yang tadi memberitahu keberadaan suamiku.“Sudah, Mbak. Bangunlah ... malu dilihatin orang,” ucap waria dengan suara laki-lakinya. Dengan hati-hati ia memapahku. Langkahku gontai menuju mobil yang terparkir di bawah pohon seberang jalan. Waria yang belum aku ketahui namanya, masih setia menuntun hingga aku duduk di dalam mobil.“Maaf, Mbak. Saya gak bisa anter, gak bisa nyetir soalnya.” Aku hanya mengangguk. Men
Aku Wulandari, seorang wanita yang tidak memiliki kedua kaki dan ditinggal pergi suami. Nasib baik seolah tak pernah berpihak pada diri. Setelah tidak menerima caci maki, namun Tuhan masih saja menguji. Setelah pulang dari rumah sakit, orang tuaku menyuruh agar aku tinggal di Desa saja. Awalnya aku ragu karena takut menerima caci maki dan hinaan orang-orang Desa. Namun anggapanku salah. Justru mereka bersimpati dan merasa iba dengan keadaanku.Hampir tiap hari ada saja warga yang berkunjung ke rumah. Ada yang pura-pura cuma ingin melihat Alan. Ada juga yang datang cuma ingin menghiburku. “Sabar ya, Neng ... ini teh cobaan. Harus kuat. Barang kali Neng Wulan mau diangkat derajatnya sama Yang Maha Kuasa,” hibur Ceu Odah saat datang menjenguk. Aku hanya berdiam diri, enggan menanggapi ucapan Ceu Odah. Aku takut kalau ucapan mereka tidak dari hati.Warga Desa berubah baik pada keluarga kami, berkat jiwa pemaaf dan kebiasaan menolong Ambu. Meski sering aku larang, Ambu tetap menolong at
Subuh, aku bangkit ke kamar mandi. Berwudhu. Ini adalah kali pertama aku berwudhu setelah bertahun-tahun tidak melakukannya. Ini juga, kali pertama aku melakukan salat lima waktu setelah bertahun-tahun pula aku tidak melaksanakannya.Dalam munajat, memohon ampun pada Sang Pencipta. Mohon ampun tidak pernah bersyukur atas nikmat sehat dan rejeki yang Allah berikan. Mohon ampun atas kesalahan yang aku sengaja atau pun tidak sengaja.Usai salat, keluar kamar. Terlihat Ambu sedang mencuci piring. Aku menghampiri ingin membantu meskipun keadaanku duduk di kursi roda.“Ambu ....” sapaku lirih. Ambu menoleh tanpa sepatah kata. Untunglah ukuran wastafel tidak terlalu tinggi. Tidak begitu sulit bagiku mencuci piring kotor dengan duduk di atas kursi roda.Kuambil satu piring lalu mencucinya. Ambu pergi masuk kamar. Aku menghela napas. Rupanya Ambu masih marah. Biasanya kalau aku cuci piring, selalu ia larang. Tetapi sekarang tidak. Ia justru membiarkanku mencuci piring-piring kotor sendirian.S
“Ambu ... Neng minta maaf. Neng janji gak akan bilang gitu lagi," ucapku menyesal diiringi isak tangis. Ambu enggan menatapku. Tangan kanannya masih memegang botol susu yang disedot oleh Alan. Sungguh hati ini sangat teriris melihat sikap Ambu yang berubah dingin.“Ambu ....” sekali lagi aku memanggilnya. Kali ini Ambu menoleh. Terlihat kedua matanya mulai berembun. Menatapku lekat.“Iya, Ambu maafin. Tetapi, Neng gak boleh bilang gitu lagi. Gimana pun Alan ini anak yang gak tau apa-apa. Harusnya Neng sebagai Ibu doakan dan bicara baik-baik buat Alan. Bukan sebaliknya, Neng ....” Nasihat Ambu sangat lembut dan lirih. Aku menganggukkan kepala seraya menyeka air mata yang membasahi kedua pipi. Ambu adalah wanita penyabar dan penyayang. Selama ini sangat menyayangi anak-anaknya. Jarang sekali Ambu memarahi kami.Aku memang ibu yang tidak berguna. Kutatap wajah mungil Alan. Meski masih saja menyimpan kekesalan pada Sutiyoso, tapi jauh dari lubuk hati sebenarnya amat menyayangi Alan.“Neng
“Teteh? Teteh kenapa?” tanya kedua adikku, menarik selimut yang aku kenakan, berdiri di samping kiri tempat tidur.Aku mengatur napas. Untunglah Cuma mimpi. Tetapi, kenapa seperti sangat nyata? Ya Allah, apakah mimpi yang baru saja aku alami sebuah pertanda buruk? Atau apakah Mas Bambang sedang dalam bahaya?Ya Allah, tolong lindungi Mas Bambang di mana pun ia berada. Tolong ya Allah ....“Asep, Ujang, Teteh gak kenapa-napa. Cuma mimpi buruk. Udah sana, main lagi." Aku menjawab pertanyaan kedua adikku. Asep dan Ujang keluar kamar. Kulihat jam dinding pukul dua belas siang. Sudah masuk waktu dzuhur.Susah payah, aku turun dari tempat tidur. Sempat hampir jatuh tersungkur, untung masih di tempat kursi roda. Dengan menggunakan kursi roda, aku menuju toilet yang berada di dalam kamar. Aku berwudhu, kemudian melaksanakan kewajiban selaku umat muslim.Usai salat, kupanjatkan banyak doa. Terutama untuk keselamatan Mas Bambang. Semoga mimpi itu tidak pernah menjadi nyata. “Teteh, aya tamu (
"Ambu, Jaka lagi ngobrol sama siapa?" Melihat Ambu yang masih saja berdiam diri, aku pun bertanya kembali. Menghalau rasa penasaran yang mendera."Jakaa ... suruh masuk A Bambangnya ...." Mataku membelalak mendengar nama Mas Bambang diucapkan oleh Ambu. Benarkah dia yang berada di luar?Sosok yang amat aku rindukan itu, kini berdiri di depan pintu bersama Jaka. Dia seolah ragu untuk melangkah. bola matanya berembun. menahan air mata yang akan membuncah.Pandanganku pun mulai mengabur. Ada perasaan haru dan bahagia di dalam hati ini. Ingin berlari memeluknya tetapi tidak bisa. Aku meremas pegangan kursi roda. Air mata sudah tak dapat lagi dibendung."Ayok, masuk, A!" ajak Jaka seraya tersenyum. Tetapi tidak Mas Bambang. Lelaki itu wajahnya terlihat masam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Ia melangkahkan kakinya semakin mendekati. Tanganku gemetar, jantung ini berdegup tak menentu. Ya Tuhan, apa benar, pria yang berdiri di depanku ini adalah orang yang selama ini aku rindukan?
Hari ini adalah hari kebahagiaanku. Aku bersyukur karena orang-orang yang aku sayangi berkumpul di rumahku. Sekarang, kami semua sedang makan bersama. Ambu dan Mbak Ratih membuat nasi liwet. Sedangkan Jaka, Mas Bambang serta Bang Suryadi berbincang di depan rumah sambil menjaga Alan. Aku sendiri membantu Ambu dan Mbak Ratih di dapur.“Neng, lebih baik kamu istirahat saja. Biar urusan masak, Ambu sama Mbak Ratih yang mengerjakan,” ucap Ambu membuatku semakin tak enak hati. Kalau pun di dapur, aku hanya membantu mengiris bawang dan bumbu-bumbu dapur lainnya. “Iya, Lan. Kamu di depan saja sama Mas Bambang dan Alan.” Mbak Ratih menambahkan. Aku tersenyum miring. “Baik, Ambu, Mbak. Maaf ya, aku tak bisa membantu di sini,” ucapku tersenyum getir. Andai saja aku masih memiliki kedua kaki, mungkin tidak merepotkan mereka. Sudahlah, tidak perlu disesalkan. Semuanya sudah menjadi garis takdir. Memang sudah takdirku seperti ini.Sore menjelang, Mbak Ratih dan Bang Suryadi pamit pulang. Mer