"Ambu, Jaka lagi ngobrol sama siapa?" Melihat Ambu yang masih saja berdiam diri, aku pun bertanya kembali. Menghalau rasa penasaran yang mendera."Jakaa ... suruh masuk A Bambangnya ...." Mataku membelalak mendengar nama Mas Bambang diucapkan oleh Ambu. Benarkah dia yang berada di luar?Sosok yang amat aku rindukan itu, kini berdiri di depan pintu bersama Jaka. Dia seolah ragu untuk melangkah. bola matanya berembun. menahan air mata yang akan membuncah.Pandanganku pun mulai mengabur. Ada perasaan haru dan bahagia di dalam hati ini. Ingin berlari memeluknya tetapi tidak bisa. Aku meremas pegangan kursi roda. Air mata sudah tak dapat lagi dibendung."Ayok, masuk, A!" ajak Jaka seraya tersenyum. Tetapi tidak Mas Bambang. Lelaki itu wajahnya terlihat masam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Ia melangkahkan kakinya semakin mendekati. Tanganku gemetar, jantung ini berdegup tak menentu. Ya Tuhan, apa benar, pria yang berdiri di depanku ini adalah orang yang selama ini aku rindukan?
Hari ini adalah hari kebahagiaanku. Aku bersyukur karena orang-orang yang aku sayangi berkumpul di rumahku. Sekarang, kami semua sedang makan bersama. Ambu dan Mbak Ratih membuat nasi liwet. Sedangkan Jaka, Mas Bambang serta Bang Suryadi berbincang di depan rumah sambil menjaga Alan. Aku sendiri membantu Ambu dan Mbak Ratih di dapur.“Neng, lebih baik kamu istirahat saja. Biar urusan masak, Ambu sama Mbak Ratih yang mengerjakan,” ucap Ambu membuatku semakin tak enak hati. Kalau pun di dapur, aku hanya membantu mengiris bawang dan bumbu-bumbu dapur lainnya. “Iya, Lan. Kamu di depan saja sama Mas Bambang dan Alan.” Mbak Ratih menambahkan. Aku tersenyum miring. “Baik, Ambu, Mbak. Maaf ya, aku tak bisa membantu di sini,” ucapku tersenyum getir. Andai saja aku masih memiliki kedua kaki, mungkin tidak merepotkan mereka. Sudahlah, tidak perlu disesalkan. Semuanya sudah menjadi garis takdir. Memang sudah takdirku seperti ini.Sore menjelang, Mbak Ratih dan Bang Suryadi pamit pulang. Mer
“Sementara waktu, jangan pakai celana dalam dulu, ya, Mas? Habisnya gak ada yang baru,” kataku dengan suara tertahan. Mas Bambang tampak kebingungan, namun akhirnya ia menganggukkan kepala.“Baiklah. Enak sih gak pakai celana dalam. Adem. Hehehe ....” Aku menggelengkan kepala seraya menghela napas panjang. Suamiku ini memang ada-ada saja. Masih saja berpikir kalau tidak mengenakan celana dalam adem. Mungkin bukan adem tetapi asem. Eh!“Mas, itu pakaiannya mau dibawa kemana?” tanyaku heran melihat Mas Bambang yang hendak kembali masuk kamar mandi. “Mau aku pakai.”“Ya ampun, Mas. Pakainya di sini saja! Kenapa mesti di kamar mandi. Memangnya kenapa kalau pakai di sini?” Aku semakin tak habis pikir, dari dulu Mas Bambang selalu saja mengganti pakaian di dalam kamar mandi. Tidak pernah di depanku.“Kalau di sini ada kamu, Lan ....” jawabnya sambil merunduk malu-malu. Kedua mataku membeliak, tak menyangka jika Mas Bambang malu kepadaku. Jadi selama ini dia mengganti pakaian di dalam
POV BambangLega rasanya terlepas dari si mulut kaleng rombeng. Memiliki istri yang cerewet sangatlah menyebalkan. Tak perlu memasang alarm jika ingin bangun pagi, istriku itu mulutnya melebihi alarm.Diriku sudah tidak tahan mendengar ocehannya tiap waktu. Oleh karenanya, dua hari lalu aku menyewa pengacara untuk mengurus perceraian kami. Tentu tanpa sepengetahuan sang istri soalnya kalau dia tahu, pasti akan mengemis-ngemis agar tidak diceraikan. Secara aku ini berwajah tampan, mapan dan sangat bertanggung jawab dalam hal menafkahi.Selepas pulang kerja, aku menyempatkan diri mampir di kantor Pak Wahyu, pengacara yang aku sewa untuk membantu menyelesaikan perceraian. Dengan memberinya sejumlah uang yang lumayan besar, tanpa kehadiranku di persidangan pun, perceraian yang aku ajukan pastilah dikabulkan oleh hakim.“Pokoknya saya tidak mau tau, perceraian saya dan Vania harus berjalan dengan lancar. Nanti Pak Wahyu saja yang hadir di persidangan, saya sangat sibuk.” Pengacara itu man
“Gak salah lo cerein dia?" tanya Mahardika teman sekantor dengan raut wajah tak percaya."Salah kenapa? Tindakan gue ini udah paling benar!" Tandasku penuh percaya diri. Sahabatku itu duduk kembali, setelah ia berdiri karena kaget mendengar kabar perceraianku dengan Vania."Alasan lo apa? Kalo cuma karena bini bawel gak bakal dikabulin kali." Si Mahar mengejek. Namun aku memaklumi sebab ia belum pernah merasakan berumah tangga dan memiliki istri yang cerewet."Heleeeh kepo! Pokoknya ada alasan lain yang gak bisa gue ceritain ke lu. Dahlah, gue males bahas soal ini." Aku mengelak. Lagi pula kalau sampai mengatakan alasan yang lain, pasti makhluk berambut ikal itu berceramah panjang lebar. Malaslah!"Gue cuma penasaran. Secara si Vania itu menurut gue istri idaman banget.""Idaman?" Tawaku membahana memenuhi ruangan. "Ada-ada aja lo, Har. Idaman dari Hongkong? Bini cerewet gitu lo bilang idaman," sahutku geli. "Eh, lo sekarang boleh ketawa. Suatu saat bakal nangis-nangis.""Sok tau lo
Namaku Bambang Hermawan, wajah tampan, hidup mapan, sedikit dermawan, mirip artis Tommy Kurniawan.Bekerja di sebuah perusahaan swasta terbesar di Negara ini. Sudah menjadi karyawan tetap. Ditambah kinerja kerjaku yang tak pernah mengecewakan si Bos. Selalu tepat waktu saat masuk kantor. Pekerjaan selalu beres tepat waktu. Urusan dengan klien-klien selalu berjalan dengan lancar.Tapi sial! Hari ini untuk pertama kalinya terlambat menemui klien. Ditambah proyek yang seharusnya berada ditangan perusahaan kami malah jatuh ke perusahaan rival. Alhasil, untuk pertama kalinya juga setelah tiga tahun bekerja, si Bos marah besar. Sial, sial, sial!!Semua ini gara-gara si Mahar, jam sebelas baru telepon.Tiba di kantor kutemui laki-laki berasal dari Jawa itu yang sedang duduk di ruangab dekat pantry."Lo sengaja kan baru telepon gue jam sebelas? Biar gue dimarah-marahin si Bos??" Sungutku sembari menarik kerah Mahardika"Wey, wey, selow bro ... lepasin kerah gue!""Asem lo!""Eh, gue neleponin
Sepanjang perjalanan, suasana hening. Tidak ada pembicaraan apapun. Wulan masih menutup hidung, sesekali terlihat mual. Aku bingung sebenarnya ada apa dengannya? Apa iya dia mabuk perjalanan? Rasanya tidak mungkin."Ehm," Aku berdehem memecah keheningan. Perempuan di sebelahku tetap bergeming."Lan, butiknya di daerah mana?" tanyaku, Wulan menoleh. Dia membenarkan letak duduk."Gak jadi. Besok aja.""Langsung ke rumah kamu aja nih?"Wulan mengangguk. Kini pandangannya beralih keluar jendela.*** Empat puluh menit kemudian tiba di kediaman gadis berambut sebahu itu.Setelah mematikan mesin mobil, Wulan segera keluar. Dia nampak buru-buru. “Terima kasih.” Hanya ucapan itu yang keluar dari bibir mungilnya.Aku benar-benar tak mengerti. Sebelumnya Wulan begitu agresif, akan tetapi setelah berpelukan tadi, dia seperti menghindar. Jangan-jangan si Wulan takut khilaf? Khilaf ingin melakukan lebih? Misalnya, khilaf mencium bibirku yang seksi?Aha, tentu saja. Secara aku ini memiliki wajah y
Keluar dari restoran, wajah cantik nan ayu nan kinclong nan anu Wulan berubah muram. Ada apa gerangan? Apa karena saat makan tadi tak sempat aku menyuapinya? Atau karena dia cemburu ketika pelayan pengantar bon itu menatapku tak henti-henti.Oh Pemirsa ... bantu aku mencari jawabnya.“Lalan Cantik ....” Kupanggil dengan panggilan sayang “Lalan” dengan lembut, selembut tangannya sembari memamerkan senyuman ter-hot. Tapi aneh, dia tetap diam.“Lalannya Ambang ....” Sengaja menyebut diriku “Ambang” biar terkesan manja. Kucolek pula dagu lancipnya. Yes, bidadari Ambang menoleh.“Napa, Mas?”“Lalan kok cembelut aja sih? Cembulu, ya?”Wulan tak menjawab, dengan bibir tersungging seperti wanita jahat di Indosair, wajah putih cantik berseri itu berpaling ke luar jendela mobil.Cemburu yang sangat elegan dan tepat sasaran. Berbeda dengan cemburunya mantan istriku. Vania itu cemburu kalau aku main game lupa waktu dan memancing sampai subuh.“Apa enaknya mancing sih, Mas? Mending dapet ikan? In