Hari ini aku dan Mas Bambang kembali lagi ke ibu kota. Mas Bambang memintaku untuk tinggal di rumahnya. Tidak masalah, asalkan selalu ada dia di sisi, aku pasti bersedia dengan senang hati. Meski malam pertama Mas Bambang tidak dapat mencetak gol, aku tidak boleh berputus asa. Bagaimana pun suamiku itu harus bisa melakukannya. Minimal satu kali.Di tengah perjalanan, aku melihat pamflet obat kuat yang tokonya cukup besar. Kusuruh Mas Bambang berhenti dan memarkir mobil di sisi jalan. “Mau ngapaian, Lan?”“Mas tunggu di sini, ya? Sebentar kok.” Mas Bambang mengangguk walah kutahu di wajahnya jelas ada rasa penasaran. Biarkan saja, aku sedang malas memberi tahu. Setelah berdiri di depan toko, seorang Bapak-bapak tua bermata sipit menyapa. Sebenarnya aku malu beli obat kuat. Tapi mau bagaimana lagi, sepertinya burung Mas Bambang kesulitan untuk berdiri.“Mau beli apa, Mbak?” Bapak yang berwajah Cina itu bertanya. “A-anu, Pak ... saya mau beli obat kuat.” “Obat kuat untuk laki-laki a
Mobil Sutiyoso membuntutiku dari belakang. Entah maunya apalagi si bandot tua itu. Apa mungkin tempat tinggal dia memang bersebelahan dengan rumah Mas Bambang. Lebih baik aku keliling dulu. Melewati jalan yang terlihat ramai agar Sutiyoso tidak nekat berbuat macam-macam.Ancaman bandot tua teringang. Dia akan membunuh Mas Bambang jika aku tidak memperlakukan suamiku itu selayak pembantu. Ah, yang benar saja.Kulihat dari spion, mobil si tua bangka tidak lagi mengikuti. Aku belokan stir ke arah kanan, menuju perempatan rumah Mas Bambang.Melirik arloji sudah menunjukkan jam sepuluh lewat. Tak terasa sejam sudah aku mengemudi dengan tujuan tak jelas.Memasuki perumahan Mas Bambang, aku dikejutkan oleh kehadiran mobil Sutiyoso yang berhenti di depan pos satpam kompleks.Sudah tidak dapat lagi mengelak. Aku akan ikuti permainanmu bandot tua! Tapi lihat saja akibat dari kelakuanmu ini! Ternyata benar, Sutiyoso tinggal berjarak dua rumah dari kediaman Mas Bambang. Tapi rumah itu bersebrang
“Kayaknya gak mungkin lagi, Om. Bisa jadi sekarang udah impotent. Mungkin karena keseringan minum obat kuat. Inget lho Om, salah satu efek samping obat kuat itu bikin burung Om gak bangun lagi. Apalagi umur Om udah gak muda lagi," kataku ringan. Padahal aku sendiri tidak tahu apa saja efek samping obat kuat . Sejenak laki-laki itu tercenung. “Omongan kamu ada benarnya.” Kini Sutiyoso duduk di tepi ranjang. Matanya nanar menatap dinding. Membenarkan ucapanku.“Sudah beberapa hari ini ....” lanjutnya sembari melongok alat vital dari balik celana. “Burung Om gak bangun-bangun. Sudah berbagai cara Om lakuin. Bahkan ada jalang yang rela mengulum burung Om sampe satu jam lamanya tapi dia tetap loyo ....” ucapnya nelangsa. Aku menahan senyum. Antara geli dan bersyukur. Karena usahaku memberinya obat loyo tempo hari itu sudah menunjukkan hasil.“Nah kan ... percuma juga kalau Om minta tolong Wulan.” Aku menanggapi. Suasana mulai mencair. Bandot tua sudah tidak segarang sebelumnya. Wajah tua
Untunglah Mas Bambang selalu sigap. Dia langsung terbangun ketika aku merasakan mulas luar biasa pada kandungan. “Kenapa, Lan?” tanyanya begitu ia terbangun. Aku meringis kesakitan. Memegang perut sambil menggeliat. “Mules, Mas ....” jawabku memegang bahunya erat. Mas Bambang tampak khawatir.Mas Bambang menyibak selimut. Aku dan dia terkejut melihat darah membasahi tempat tidur. Rasa cemas sangat jelas tergambar dari raut wajah lelaki yang telah memenuhi relung hati ini. “Maaass ....” pekikku menahan rasa sakit tak tertahankan. Tanpa berucap, Mas Bambang segera menyambar kunci mobil di atas nakas, membopong tubuhku.Dengan susah payah Mas Bambang membuka pintu mobil. Kemudian berusaha mendudukkan aku dengan nyaman. Setengah berlari dia kembali ke dalam rumah. Entah apa yang dilakukannya. Namun tidak berselang lama, tubuh atletis itu sudah terlihat sedang mengunci pintu rumah.Sepanjang jalan Mas Bambang selalu menguatkan. “Tahan ya, Sayang. Sebentar lagi sampai di rumah sakit. Kam
Seminggu lalu, Sutiyoso datang kembali ke rumah Mas Bambang. Ketika itu, Mas Bambang sedang ditugaskan keluar kota selama dua hari.“Ngapain malam-malam Om ke sini?” tanyaku menatap tajam pada lelaki tua bangka berperut buncit.“Om kesepian, Lan ....”cuih! Najis! Menjijikan sekali kata-katanya.“Pulanglah ke rumah Om. Jalani hari bersama anak dan istri Om," kataku lugas. Namun, Om Sutiyoso bertambah berang. Dia mendorong pintu dengan keras, hingga aku sempat terhuyung.“Kamu itu tega Wulan! Segalanya telah Om berikan. Tapi kamu!! Justru menikah dengan laki-laki tolol itu!!”Astaga! Aku tidak menduga kalau Pak Sutiyoso mengatakan hal itu. Perkataan yang membuatku bagai dicambuk.“Jaga ucapan Om! Mas Bambang itu cerdas! Dia salah satu karyawan yang bisa diandalkan!” Aku tidak ingin suamiku dihina dan direndahkan oleh lelaki sebejat Pak Sutiyoso. Suamiku adalah lelaki yang hebat. Kaya raya dan cerdas. Terbukti perusahaan selalu mengandalkan kinerjanya walau kerap kali ia telat. Tetapi h
Meski masih terasa perih pada bekas operasi, Namun aku tetap memaksakan diri bertemu dengan Pak Dewa si sebuah restoran untuk membicarakan rencana pelaporan Sutiyoso tentang pembunuhan yang ia lakukan beberapa tahun silam.“Lebih baik kamu istrahat saja. Biar nanti saya yang ke kantor polisi.” Saran Pak Dewa. “Saya tidak apa-apa. Saya ingin mengakhiri kegilaan Sutiyoso.” Aku memang sudah mulai letih dengan permainan si Bandot tua. Dituruti malah melunjak. Sudah tidak bisa dimaafkan. Dia telah membuat Mas Bambang pergi meninggalkanku. Pak Dewa menghela napas.“Saya Cuma khawatir dengan kondisi kesehatan kamu dan bayi kamu. Tidak baik terlalu sering meninggalkannya.” Aku merunduk. Mengerti dengan maksud Pak Dewa.“Apa kamu sudah tidak percaya lagi sama saya?” Pertanyaan Pak Dewa membuatku menggeleng cepat.“Bukan begitu, Pak. Saya Cuma tidak mau ada orang lain yang terlibat. Seperti yang Bapak ketahui, dulu saya membuat Mbak Lastri dan Bang Sur untuk menjauhi saya. Karena saya takut me
Hatiku benar-benar remuk. Mas Bambang telah membenciku. Dia sudah tidak mengharapakn aku kembali lagi. Cinta yang telah bersemi, kandas sudah oleh kebohongan yang aku ciptakan sendiri. Benar kata orang, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pastilah tercium juga.“Maaaaassss!!! Mas Bambaaaangg!!” Kupanggil namanya berulang-ulang. Berharap laki-laki yang kucintai itu berbalik, menoleh padaku dan memeluk tubuh ini dengan erat. Namun, tubuh yang kurindukan itu tak jua datang. Aku semakin menangis histeris. Sebuah tangan membantuku berdiri. Dia bukan Mas Bambang, melainkan waria yang tadi memberitahu keberadaan suamiku.“Sudah, Mbak. Bangunlah ... malu dilihatin orang,” ucap waria dengan suara laki-lakinya. Dengan hati-hati ia memapahku. Langkahku gontai menuju mobil yang terparkir di bawah pohon seberang jalan. Waria yang belum aku ketahui namanya, masih setia menuntun hingga aku duduk di dalam mobil.“Maaf, Mbak. Saya gak bisa anter, gak bisa nyetir soalnya.” Aku hanya mengangguk. Men
Aku Wulandari, seorang wanita yang tidak memiliki kedua kaki dan ditinggal pergi suami. Nasib baik seolah tak pernah berpihak pada diri. Setelah tidak menerima caci maki, namun Tuhan masih saja menguji. Setelah pulang dari rumah sakit, orang tuaku menyuruh agar aku tinggal di Desa saja. Awalnya aku ragu karena takut menerima caci maki dan hinaan orang-orang Desa. Namun anggapanku salah. Justru mereka bersimpati dan merasa iba dengan keadaanku.Hampir tiap hari ada saja warga yang berkunjung ke rumah. Ada yang pura-pura cuma ingin melihat Alan. Ada juga yang datang cuma ingin menghiburku. “Sabar ya, Neng ... ini teh cobaan. Harus kuat. Barang kali Neng Wulan mau diangkat derajatnya sama Yang Maha Kuasa,” hibur Ceu Odah saat datang menjenguk. Aku hanya berdiam diri, enggan menanggapi ucapan Ceu Odah. Aku takut kalau ucapan mereka tidak dari hati.Warga Desa berubah baik pada keluarga kami, berkat jiwa pemaaf dan kebiasaan menolong Ambu. Meski sering aku larang, Ambu tetap menolong at