Serina tak tahu, jika menyentuh dan disentuh oleh seorang pria akan memberinya sensasi seperti ini, seolah ada sesuatu yang menggelitik dirinya dari dalam. Tanjung adalah pria pertama yang memberinya rasa seperti ini. Ia penasaran, sejauh apa rasa asing itu akan ia rasakan. Maka, Serina melangkah lebih nekat. Disapunya rahang tajam yang maskulin itu. Dipertemukannya kedua mata mereka. Serina yang penasaran dan Tanjung yang sibuk mempertahankan kendali diri.“Kau bisa melakukannya, melihat diriku lebih jauh,” bisiknya, seperti dewi pengoda yang amat lihai.Tanjung memejamkan mata rapat-rapat. Jelas-jelas wanita ini baru saja membangun tembok yang sangat kokoh. Mengapa sekarang ia mengundang Tanjung untuk masuk begitu saja? Ia bahkan membuka pintu lebar-lebar untuk Tanjung. Tanjung sama sekali tak mampu memahami alur pikiran Serina. Napas Tanjung saling bertabrakan. Akal sehat dalam kepalanya seolah perlahan-lahan menyusut. Mengapa Serina bisa semenawan ini? Apa yang terjadi padanya
Tanjung membeku. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendengar pujian sevulgar itu. Serina memandangnya dengan tatapan misterius, seolah mengundang Tanjung untuk menjelajah di dalam matanya. Serina menyampirkan rambut melewati bahu, memperlihatkan dadanya yang kelewat indah, menggoda mata Tanjung untuk terpaku di sana. “Kau bisa melakukannya kapan pun kau mau.” Senyum itu mengembang dengan santai, sangat mengganggu.“Apa yang kau katakan, Serina?” Sekujur tubuh Tanjung menegang.“Kau tahu, kalau kau terus bersikap baik seperti ini, aku akan bersikap lebih baik lagi. Aku bisa memberikan semua milikku padamu.”Tanjung seolah sedang berada di sarang iblis. Berbagai godaan menyerangnya dari berbagai sisi. Jantungnya berdenyut cepat sampai terasa sakit. “Aku bisa mengorbankan apa pun untukmu.” Tatapan itu semakin intens, mencoba meruntuhkan dinding pertahanan Tanjung. Serina tetap diam, seolah menunggu Tanjung bergerak lebih dulu. Sedang Tanjung mengepalkan tangan, menahan gejolak pa
Rasa-rasanya ia sudah lama tertidur. Saat Serina membuka mata, tangan hangat yang mendekapnya telah pergi. Ia menoleh ke samping hanya untuk menemukan sisi ranjang yang kosong. “Sudah bangun?” Kelopak matanya bergerak-gerak dengan kerutan kening bingung. “Jam berapa ini?”Serina berusaha bangun, menemukan Tanjung yang duduk di kursi meja bundar semalam sambil membaca koran dengan gaya aristokratnya. Lelaki itu melirik arloji mahalnya. “Jam dua siang.”Mata Serina membulat. Jam dua siang? Dia tidur selama itu? Serina ingat dirinya yang tertidur awal malam sampai tengah malam, lalu tertidur lagi sampai siang. Alam mimpinya tak membrontak seperti biasanya.Tanjung melipat surat kabarnya, lalu berdiri dan sekonyong-konyong menggendong Serina. Mendudukkannya di kursi. “Makanlah dulu. Perutmu pasti kosong.” Serina baru sadar jika di atas meja ada makanan. Kali ini masakan China yang sepertinya sudah agak dingin. “Aku memesannya satu jam lalu. Supaya saat bangun, kau tak perlu menunggu
Di pagi buta, Tanjung terbangun oleh suara bel. Dengan pelan dia turunkan jari-jari Serina dari rahangnya. Semalam entah alasan apa yang membuat Serina malah bermain-main dengan wajahnya.Tanjung bergerak sepelan mungkin agar tak membangunkan Serina. Ia mengatur selimut agar tetap menutupi tubuh Serina hingga sebatas dada. Bunyi bel semakin cepat. Tanjung segera membuka pintu sebelum Serina terganggu. Siapa yang datang di pagi buta begini? Apakah Markus atau staf hotel?Bukan keduanya. Saat pintu terbuka, Tanjung malah berhadapan dengan seorang wanita bertubuh mungil yang menatapnya tajam.Garis-garis rahang yang tegas dan bibir yang menipis. Meski bertubuh kecil, jelas auranya tidak biasa. “Mana Serina?”Suara yang dingin dan tegas sekilas mengingatkan Tanjung pada Narumi. Sorot mata yang mengancam itu tidak jauh berbeda dengan yang sering kali Narumi layangkan padanya.“Anda siapa?”“Bangunkan dia.”Kening Tanjung mengerut. “Saya perlu tahu identitas Anda.”Tatapan itu kian menaja
Tanjung mendengar decakan kesal dari balik punggungnya. Ia tahu pasti seberapa berambisi Serina untuk menyingkirkan Narumi. Rasa-rasanya wanita tinggi semampai itu tidak lagi melawan Narumi untuk Tanjung, tapi untuk dirinya sendiri. Alih-alih memudarkan tatapan tajamnya, Izora tetap menyorot Tanjung dengan dingin. “Itu tindakan yang benar. Lawan musuhmu sendiri, jangan mengandalkan wanita.” Kata-kata itu menusuk terlalu dalam ke jantung Tanjung. Harusnya ia menyadarinya sejak awal. Dia terlalu putus asa sampai akhirnya mengambil jalan bodoh dengan memanfaatkan seorang wanita. “Ayo kita pulang.” Pandangan Izora menembus melewati tubuh Tanjung, pada Serina yang masih menggertakkan gigi di ranjang. “Aku tidak mau.”“Berhenti bermain-main, Renata.”Serina terpaku. Saat Izora memanggil nama aslinya, maka wanita itu sudah amat marah. Tak ada celah untuk membantahnya. Yang lebih mengesalkan lagi, Tanjung malah berbalik, mendekati ranjang dan bersiap menggendong Serina. “Tidak perlu dia
Tanjung kembali ke kamar hotel. Saat itu juga ia merasakan kekosongan. Seolah ada sesuatu yang hilang. Ruangan itu kini menampung dirinya saja. Hanya suara napasnya yang mengalun pendek. Ranjang menjadi kosong. Aroma Serina pun menghilang. Seketika sekujur tubuh Tanjung dirayapi dingin. Sebab tak ada lagi tubuh lain yang bisa dipeluknya. Dua malam bersama Serina entah mengapa membawa sesuatu yang besar di hatinya. Tanjung menarik napas pendek sebelum memutuskan keluar dari kamar hotel. Tak ada yang bisa ia lakukan di sana. Ia memutuskan kembali ke kediaman Maulana–neraka yang sebenarnya.Para pekerja sudah berlalu lalang, tanda jika Narumi belum bangun. Mereka mengerjakan tugas terburu-buru sebelum sang nyonya besar bangun dan melihat mereka. “Tuan!!!!”Hanya Risa yang berani memanggilnya di antara puluhan pelayan yang mondar-mandir sambil sesekali meliriknya segan. “Tuan ke mana saja? Saya sangat khawatir.”Tanjung enggan menjawab. Bibirnya berat untuk terbuka. “Nyonya mencari T
Alih-alih senang karena musuhnya sudah pergi, Narumi malah terlihat tidak suka. Risa gemetar di tempatnya. Setelah ini dia pasti akan disalahkan. “Aku yang memulangkannya.”“Kenapa? Kau takut aku akan menghancurkannya?”Tanjung membalas tatapan kejam itu. Mulai saat ini, ia akan menghadapi Narumi sendirian. Apa pun risikonya akan dia tanggung sendiri. “Tidak perlu membahasnya lagi. Kembalilah seperti dulu. Ibu yang memperlakukanku seperti boneka Ibu, cukup bersikap seperti itu.”Sepersekian detik kemudian, Tanjung bisa melihat kilat misterius di mata Narumi, seperti sinyal berbahaya yang tak boleh ia abaikan. “Akhir-akhir ini kau suka sekali menantangku.” Badan tegap itu berbalik dan perlahan meninggalkan pintu kamar Tanjung, meninggalkan jejak mencekam yang mencekik napas. Tanjung menyadari, jika keputusannya membawa Serina ke rumah ini sangatlah salah. Ia dilanda keputusasaan sampai tidak mampu berpikir dengan jernih.*** Akhirnya mereka sampai di vila milik Izora. Puncak b
“Kau pernah merasa kacau?”Serina mengunyah makanannya dengan lahap. Akhirnya dia bisa makan di meja makan dengan tenang. Ia menyelesaikan kunyahannya sebelum menjawab pertanyaan Izora. “Iya, seperti ada yang berbeda dari tubuhku. Aku merasa ketakutan dan tenggelam dalam kesedihan. Kau tahu ‘kan … mentalku tidak selemah itu kecuali jika kau menyuntikkan obat aneh padaku secara diam-diam.”Hening menyergap secara tiba-tiba. Entah Kayman yang duduk di ujung meja maupun Izora yang menjadi kaku di di hadapan Serina. Mereka bertiga menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. “Aku selalu mewaspadai makanan ataupun minuman yang selalu masuk ke mulutku di rumah itu.”“Kau pernah ke rumah sakit.” Izora yang memperkuat kecurigaan itu. Semua informasi tentang Serina selama ini ia dapatkan dari Ronald, tangan kanannya.Serina membanting garpunya sampai suara denting piring dan sendok memekakkan telinga. “Sialan! Nenek Lampir sialan itu sangat cerdik. Dia pasti sengaja melukaiku agar bisa menyuntikk