Hanan kehilangan jejak Dimas yang membawa Malilah begitu cepat. Tapi hatinya mengatakan pasti Dimas membawa Malilah kembali ke rumah mereka. Akhirnya ia pun menyusul kesana.
Brrukk!
Karena terburu-buru Hanan lupa menurunkan standar sepeda motor. Ia berhenti sebentar, namun tak perduli langsung berlari menuju rumah Malilah. Ia mendengar suara Malilah sesekali menjerit dari dalam.Hanan mencoba mendorong pintu, dan ternyata tak terkunci. Pelan-pelan ia menerobos masuk. Ia melangkah pelan-pelan ke kamar Malila. Sesekali tangannya menutup telinga, tak tahan dengan rintihan Malilah. Ingin rasanya ia menerobos, tapi Dimas benar. Dia berhak atas Malilah karena suaminya. Tapi, rasanya Hanan tak terima caranya. Hanan masih melangkah pelan sambil memutar otak. Teringat ibunya pernah merekam Dimas perbuatan Dimas dulu. Hanan mengeluarkan ponsel dan melakukan hal yang sama. Ia mendekat ke pintu kamar sambil memegang ponsel.
"Buka bajumu, Lila!"
"Mas!
Di belakang Hanan Malilah merasa tubuhnya mengecil. Hanan seperti hapal mati tiap tikungan yang mereka lalui. Setajam apapun tikungan, tetap saja Hanan memesang gaya ala pembalap motogp. Lutut hampir menyentuh aspal."Pak Boos!" Malilah menggigil ketakutan. Hanan tak mendengar."Pak Booooos!" Malilah menepuk pundak Hanan dari belakang. Hanan langsung menepi.Ciiiiit!Malilah langsung mundur, karena Hanan mengerem mendadak, tubuhnya mepet. Sedangkan posisinya ia tidak memakai pakaian dalam."Kalau pencet rem jangan mendadak!" protes Malilah risih."Lah kamu mukul mendadak! Kenapa? Kebelet?""Ih, bukaan. Pak Bos, mau bawa aku kemana? Ini kan sudah masuk jalanan sepi."Malilah menoleh ke kanan dan ke kiri, benar-benar sepi. Tak satu pun ada rumah di dekat tempat mereka berhenti."Yang jelas mengamankanmu dari Dimas!" Sahut Hanan sambil menstarter kuda besinya lagi."Jangan laju-laju juga
"Oh, iya."Wanita yang dipanggil Bu Seno tersebut terlihat begitu patuh dan hormat pada Hanan."Ayo! Ke kamar," ajaknya."Biar saya yang antar, Bu. Sekalian ada yang mau dibicarakan berdua!" Bu Seno mempersilahkan dengan santun."Kamu mandi dulu aja, dibelakang!" perintah Hanan sambil membuka lemari dalam kamar tempat ia meletakkan barang Malilah.***"Itu gedung apa?" Tanya Malillah yang sejak tadi pusing mendengar suara berisik tanpa jeda, sambil menatap keluar lewat jendela kamarnya.Hanan menarik Malilah duduk di tepi ranjang."Kamu dulu pernah tanya kan, aku kerja apa?""Ini kantorku. Aku kerja disini. Pemiliknya aku sendiri, managernya aku sendiri, staff accountingnya juga aku sendiri. Pak Seno dan Bu Seno itu karyawan tetapku," ucap Hanan sambil tertawa. Malilah menatap Hanan tanpa berkedip. Menunggu penjelasan."Itu gedung walet, peninggalan Almarhum Papa. Waktu Papa meninggal, ak
Mengendarai sepeda motor di jalan yang mulus dengan pikiran kacau, membuat perasaan Hanan seperti terombang-ambing di lautan. Setelah melihat ketulusan Malilah dalam menyayangi Arumi yang begitu besar, perlahan tapi pasti rasa ingin selalu melindungi Malilah juga makin besar.Hanan menghentikan kendaraanya di sebuah warung kopi tepi jalan."Kopi hitam Bulek! Gak usah pake gula!" ucapnya sambil menghempas tubuh di kursi rotan yang panjang."Tumben!" gumam Wanita penjaga warung berbadan tambun tersebut sambil meraih gelas."Sekali-sekali Bulek, masa mau manis terus. Kaya hidup. Kadang ada pahitnya!"Penjaga Warung nyengir, sambil mengaduk kopi hitam tanpa gula kemudian mengantar ke meja dekat Hanan beristirahat."Ketengan! Sambil nunggu dingin," tawar Penjaga Warung sambil menyodorkan sebuah bungkus rokok yang sudah terbuka dan sebuah korek gas.Hanan menggeleng. Ia tak pernah berurusan dengan rokok,
Hanan tiba di rumah selepas magrib. Fania sudah menunggunya di depan pintu."Kemana aja sih, Mas? Jangan bilang kamu sibuk nyari Malilah lagi? Udah biarin aja kalau dia mau pergi, sama suaminya juga!" ucap Fania cemberut."Kok kamu tahu? Malilah pergi sama suaminya?" jawab Hanan curiga."Ehm, ya ... taulah. Kan aku udah datang dari tadi. Liat kali Malilah gak ada. Ya ... aku tanya sama Mama. Katanya dijemput pulang sama suaminya, kan?"Hanan mengangguk."Terus, kamu darimana kok sampe habis magrib baru pulang?""Eh, ini. Tadi motor mogok. Makanya lama di bengkel dulu." jawab Hanan mencari alasan."Bukannya tadi kamu pergi naik mobil sama aku?" Fania mengernyitkan dahi."Iya, tadi kan pulang dulu, Dek. Pas aku tahu Malilah pergi, aku langsung pergi cari ASI. Kan aku sudah bilang, Arumi enggak cocok Susu Formula. Tapi dijalan motornya mogok!" Hanan mengarang cerita."Betul ya
"Dek! Kamu gendong dulu Arumi. Dia ngantuk!"Fania bangkit dengan terpaksa, menggendong Arumi dan membawanya mondar-mandir di kamar mereka. Arumi malah menangis. Fania mulai dibuat kesal."Tuh, kan. Mas! Bukan aku yang enggak mau sama dia. Dia yang gak mau sama aku!"Fania meletakkan Arumi kembali."Kamu sih, gendong tok! Biasanya Malilah tuh, kalo gendong dia sambil diajak ngomong!""Ngomong apasih Mas, sama anak kecil juga. Aku bukan Malilah. Jangan disama-samain!" Gerutu Fania kesal karena Hanan mulai menyebut nama Malilah lagi."Susah emang. Kalau naluri keibuannya sudah mati!" ucap Hanan sambil menggendong Arumi."Mas! Sejak ada Malilah, kenapa kamu sering ngomel sih, ngurusin Arumi. Dulu kamu gak pernah protes. Bukannya dulu emang kamu yang urusin dia semuanya? Ya wajar kalau dia enggak dekat sama aku. Kok marahnya baru sekarang? Aneh!" Fania nyolot sambil membenam tubuhnya dalam selimut tebal. Hanan terd
"Ma! Bagaimana ini, Ma? Apa kita harus lapor polisi?" Hanan mengejar langkah Bu Ratih."Bukankah harus nunggu 2x24 jam?" Bu Ratih bertanya balik."Tapi, Ma. Darimana orang yang membawanya masuk? Mama tadi keluar semua pintu masih tertutup rapat, Kan?" Hanan memastikan. Bu Ratih mengangguk sambil berpura-pura ikut mikir."Kamu sudah cek, Kamarmu? Jendela?"Hanan berbalik ke kamar setengah berlari. Ia langsung memeriksa kunci jendela dan benar, tidak terkunci."Fania! Kamu gimanasih? Kok jendela ini aja gak kamu kunci. Jelas orang yang membawa Arumi lewat sini!" tuduh Hanan langsung."Mana aku tahu Mas, kalau enggak terkunci, perasaan kemaren sudah kukunci kok," jawab Fania berkilah."Tapi ini nyatanya terbuka!" Hanan sedikit nge-gas. Bu Ratih yang ikut masuk ke kamar menatap Fania dengan tatapan sinis. Fania yang merasa terpojok memilih duduk dengan wajah muram. Ia tak melakukan apa-apa karena merasa b
Hanan melaju menuju ke jalan yang berbeda. Tiba-tiba ia kepikiran Dimas. Jangan-jangan Dimas yang melakukan itu karena dendam ia membawa Malilah. Tumben sekali Dimas tidak ada datang ke rumah marah-marah padahal ia terang-terangan membawa Malilah pergi.Sampai di sana, Hanan mengamati dari dalam mobil. Sepi-sepi saja. Tiba-tiba dari dalam rumah, keluar dua orang asing. Hanan mengamati dengan seksama. Kedua orang tersebut berbincang sebentar setelah mengunci pintu. Hanan merasa aneh. Kenapa kunci rumah dipegang orang lain? Siapa mereka? Tak ingin menduga-duga, Hanan menghampiri kedua orang tersebut."Permisi Pak, apa penghuni rumah ini ada?""Oh, kami calon penghuni yang baru, Pak. Rumah ini sudah dijual oleh pemiliknya.""Hah?" Hanan terperangah. Dijual? Cepat sekali laku. Bukankan surat rumah ada padanya?""Maaf, Pak. Memang suratnya ada?""Ada. Kami langsung membelinya karena pemiliknya bilang butuh uang untuk membayar utang is
"Minum dan tenang dulu, Ma!"Hanan menyodorkan segelas minum pada ibunya yang masih emosi setelah kedatangan mertuanya tadi. Setelah menunggu emosi Bu Ratih reda beberapa saat, Hanan kembali menyambung pembicaraan mereka sebelumnya."Kenapa Mama menyudutkan Fania? Kasian Fania Ma. Sekarang ibu juga enggak bolehin dia kesini.""Hanan! Biar saja. Biar Fania di sana sementara waktu. Bukankah itu bagus, supaya kamu bisa membantu Malilah lebih cepat bercerai dengan Dimas tanpa disibukkan oleh kecurigaan Fania yang berlebihan?" Bu Ratih menatap Hanan. Hanan mencerna ucapan ibunya, lalu mengangguk kecil."Betul juga!" gumamnya kemudian."Tapi, Ma. Kenapa Mama harus menuduh Fania?""Supaya dia tak protes bila kamu kesana kemari, sibuk mencari Arumi karena kesalahannya," jawab Bu Ratih tegas. Hanan diam. Walaupun alasannya cukup masuk akal, tapi tetap saja ia merasa ibunya keterlaluan terhadap Fania."Tapi Ma ... bagaimana kalau Fa