Hanan tiba di rumah selepas magrib. Fania sudah menunggunya di depan pintu.
"Kemana aja sih, Mas? Jangan bilang kamu sibuk nyari Malilah lagi? Udah biarin aja kalau dia mau pergi, sama suaminya juga!" ucap Fania cemberut.
"Kok kamu tahu? Malilah pergi sama suaminya?" jawab Hanan curiga.
"Ehm, ya ... taulah. Kan aku udah datang dari tadi. Liat kali Malilah gak ada. Ya ... aku tanya sama Mama. Katanya dijemput pulang sama suaminya, kan?"
Hanan mengangguk.
"Terus, kamu darimana kok sampe habis magrib baru pulang?"
"Eh, ini. Tadi motor mogok. Makanya lama di bengkel dulu." jawab Hanan mencari alasan.
"Bukannya tadi kamu pergi naik mobil sama aku?" Fania mengernyitkan dahi.
"Iya, tadi kan pulang dulu, Dek. Pas aku tahu Malilah pergi, aku langsung pergi cari ASI. Kan aku sudah bilang, Arumi enggak cocok Susu Formula. Tapi dijalan motornya mogok!" Hanan mengarang cerita.
"Betul ya
"Dek! Kamu gendong dulu Arumi. Dia ngantuk!"Fania bangkit dengan terpaksa, menggendong Arumi dan membawanya mondar-mandir di kamar mereka. Arumi malah menangis. Fania mulai dibuat kesal."Tuh, kan. Mas! Bukan aku yang enggak mau sama dia. Dia yang gak mau sama aku!"Fania meletakkan Arumi kembali."Kamu sih, gendong tok! Biasanya Malilah tuh, kalo gendong dia sambil diajak ngomong!""Ngomong apasih Mas, sama anak kecil juga. Aku bukan Malilah. Jangan disama-samain!" Gerutu Fania kesal karena Hanan mulai menyebut nama Malilah lagi."Susah emang. Kalau naluri keibuannya sudah mati!" ucap Hanan sambil menggendong Arumi."Mas! Sejak ada Malilah, kenapa kamu sering ngomel sih, ngurusin Arumi. Dulu kamu gak pernah protes. Bukannya dulu emang kamu yang urusin dia semuanya? Ya wajar kalau dia enggak dekat sama aku. Kok marahnya baru sekarang? Aneh!" Fania nyolot sambil membenam tubuhnya dalam selimut tebal. Hanan terd
"Ma! Bagaimana ini, Ma? Apa kita harus lapor polisi?" Hanan mengejar langkah Bu Ratih."Bukankah harus nunggu 2x24 jam?" Bu Ratih bertanya balik."Tapi, Ma. Darimana orang yang membawanya masuk? Mama tadi keluar semua pintu masih tertutup rapat, Kan?" Hanan memastikan. Bu Ratih mengangguk sambil berpura-pura ikut mikir."Kamu sudah cek, Kamarmu? Jendela?"Hanan berbalik ke kamar setengah berlari. Ia langsung memeriksa kunci jendela dan benar, tidak terkunci."Fania! Kamu gimanasih? Kok jendela ini aja gak kamu kunci. Jelas orang yang membawa Arumi lewat sini!" tuduh Hanan langsung."Mana aku tahu Mas, kalau enggak terkunci, perasaan kemaren sudah kukunci kok," jawab Fania berkilah."Tapi ini nyatanya terbuka!" Hanan sedikit nge-gas. Bu Ratih yang ikut masuk ke kamar menatap Fania dengan tatapan sinis. Fania yang merasa terpojok memilih duduk dengan wajah muram. Ia tak melakukan apa-apa karena merasa b
Hanan melaju menuju ke jalan yang berbeda. Tiba-tiba ia kepikiran Dimas. Jangan-jangan Dimas yang melakukan itu karena dendam ia membawa Malilah. Tumben sekali Dimas tidak ada datang ke rumah marah-marah padahal ia terang-terangan membawa Malilah pergi.Sampai di sana, Hanan mengamati dari dalam mobil. Sepi-sepi saja. Tiba-tiba dari dalam rumah, keluar dua orang asing. Hanan mengamati dengan seksama. Kedua orang tersebut berbincang sebentar setelah mengunci pintu. Hanan merasa aneh. Kenapa kunci rumah dipegang orang lain? Siapa mereka? Tak ingin menduga-duga, Hanan menghampiri kedua orang tersebut."Permisi Pak, apa penghuni rumah ini ada?""Oh, kami calon penghuni yang baru, Pak. Rumah ini sudah dijual oleh pemiliknya.""Hah?" Hanan terperangah. Dijual? Cepat sekali laku. Bukankan surat rumah ada padanya?""Maaf, Pak. Memang suratnya ada?""Ada. Kami langsung membelinya karena pemiliknya bilang butuh uang untuk membayar utang is
"Minum dan tenang dulu, Ma!"Hanan menyodorkan segelas minum pada ibunya yang masih emosi setelah kedatangan mertuanya tadi. Setelah menunggu emosi Bu Ratih reda beberapa saat, Hanan kembali menyambung pembicaraan mereka sebelumnya."Kenapa Mama menyudutkan Fania? Kasian Fania Ma. Sekarang ibu juga enggak bolehin dia kesini.""Hanan! Biar saja. Biar Fania di sana sementara waktu. Bukankah itu bagus, supaya kamu bisa membantu Malilah lebih cepat bercerai dengan Dimas tanpa disibukkan oleh kecurigaan Fania yang berlebihan?" Bu Ratih menatap Hanan. Hanan mencerna ucapan ibunya, lalu mengangguk kecil."Betul juga!" gumamnya kemudian."Tapi, Ma. Kenapa Mama harus menuduh Fania?""Supaya dia tak protes bila kamu kesana kemari, sibuk mencari Arumi karena kesalahannya," jawab Bu Ratih tegas. Hanan diam. Walaupun alasannya cukup masuk akal, tapi tetap saja ia merasa ibunya keterlaluan terhadap Fania."Tapi Ma ... bagaimana kalau Fa
"Apa kamu sudah bicara sama Malilah soal rumahnya yang dijual Dimas?" tanya Bu Ratih sesaat sebelum mereka pulang. Hanan menggeleng."Lah? Tadi pas belajar motoran ngomong apa?""Eng ... gak ada Ma. Lupa! Tadi terlalu fokus ngajarin Lila sampe lupa," jawab Hanan sambil garuk-garuk kepala. Bu Ratih mencebik."Ya sudah. Omongin dulu. Sekalian, bujuk dia cerai secepatnya!""Mama kenapa jadi ngebet nyuruh aku ngurusin cerai Dimas sama Malilah?" Hanan mengernyitkan dahi."Hah? Eh, ya ... itu! Supaya ... supaya Arumi aman di sini. Supaya Dimas gak nyari-nyari Malilah lagi!" sahut Bu Ratih beralasan."Besok aja, Ma! Kan besok aku kesini lagi!"Bu Ratih setuju dan mereka pun pulang.Sampai di rumah, Hanan hanya sebentar mengambil surat tanah yang asli milik Malilah. Lalu ia kembali menemui orang yang mau menempati rumah Malilah."Ada apalagi, Mas?" tanya pembeli yang bernama Sa
Hanan langsung menuju ke tempat Arumi dan Malilah. Ah, rasanya sudah tak sabar ingin tiba di sana dan mencium Aruminya."Anak Papa ...."Hanan sumringah saat melihat Malilah dan Arumi berdiri menyambutnya. Malilah langsung masuk meninggalkan Hanan bercengkrama bersama Arumi di luar. Hanan membawa Arumi masuk."Mau kopi, Mas?" tawar Bu Seno melihat Hanan sudah datang."Enggak usah, Bu! Aku mau titip Arumi aja nanti kalau udah tidur.""Kemana?""Oh, itu ... mau lanjut ngajarin Lila naik motor lagi," jawab Hanan."Isss, Mas. Tadi Mbak Lila udah berani sendiri loh, di depan rumah mutar-mutar, kalau mau jalan sekarang, gak apa-apa kok. Arumi pinter kok," ucap Bu Seno meminta Arumi ke pangkuannya.Ucapan Bu Seno membuat dahi Hanan berkerut. Berani sekali dia. Hanan langsung menyerahkan Arumi pada Bu Seno dan memanggil Malilah.***"Bawa! Aku dibelakang!" Hanan menyodorkan kunci.
Fania! Itu suara Fania.Sial sekali!Biasanya bila sedang bertengkar, Fania bersemedi sekitar satu minggu dirumah orang tuanya, kenapa dia mendadak kembali cepat."Fania! Fania! Tolong. Nanti akan kujelaskan. Aku akan pulang, tapi jangan sekarang, Arumi enggak bisa ditinggal!" Hanan mendadak berkeringat dingin."Oh. Aku enggak bisa nunggu. Aku akan menemuimu di sana. Tapi, sepertinya aku harus mengajari Mama untuk berbuat benar dulu sebelum pergi," ucap Fania dingin."Fania! Jangan sakitin Mama! Aku akan pulang sekarang!" Hanan mengusap keringat di dahinya."Oke, aku tunggu sekarang!""Lila! Titip Arumi. Aku pulang sebentar!" ucap Hanan langsung keluar meninggalkan mereka. Malilah yang mendengar Hanan menyebut nama Fania sudah paham, tak menjawab hanya mengangguk.Hanan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Perasaannya langsung tak nyaman. Bergitu tiba di rumah, ia langsung berlari masuk.
Sementara di dalam, Bu Ratih dengan tubuh menggigil melepas bajunya yang basah. Bu Ratih memegang kepala yang terasa sakit, karena sempat melawan Fania walau akhirnya kalah tenaga dan dia yang jatuh tersungkur. Masih sempat ia mendengar Fania menelpon ibunya dan memerintahkan menuju rumah sakit. Bu Ratih tak berdaya saat Fania mengikat anggota tubuhnya. Tenaganya yang sudah rapuh dan pernah mengalami gejala stroke, bukanlah tandingan seorang Fania, apalagi saat itu Fani seperti orang kesurupan karena dilanda emosi. Berulang kali ia memaki Bu Ratih, sebelum akhirnya menyeret ke kamar mandi. Entah dapat energi darimana, Fania bisa mengangkat Bu Ratih dan menenggelamkan tubuhnya dalam bak mandi. Setelah itu ia tersenyum puas, meninggalkan Bu Ratih yang tak bisa bergerak dan membuka mulut."Ssshhhh! Bbbrrrr!"Gigi Bu Ratih sampai gemeretak menahan dingin. Dengan langkah tertatih, ia menuju kamar. Sesekali tangannya berpegangan di di tembok rumah, karena pusing. C