Share

Bab 6

"Marin?!"

Mas Bian dan wanita sial4n itu melepaskan pagutannya begitu menyadari kehadiranku.

Buru-buru pria itu mendorong wanitanya dan mendekat ke arahku yang mematung dengan mata sudah berkaca-kaca.

Kulihat Sheila tersenyum puas melihat ke arahku. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua.

"Bereskan urusan kalian berdua, Mas," ujar wanita itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Rasanya tanganku panas ingin menempelengnya saja.

"Marin, ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang."

Plakk!!

Tamparan keras kulayangkan pada pipinya membuat pria itu berpaling. Tak tahan rasanya melihatnya masih membela diri setelah ketahuan.

"Beginikah kelakuanmu saat tak ada orang lain, atau jangan-jangan mereka yang ada di lokasi syuting juga tahu kedekatanmu dengan wanita jal4ng itu?!"

"Bukan begitu, Marina. Aku bisa menjelaskan semuanya," jawabnya cepat tapi tak dapat menyembunyikan raut wajah gelisahnya.

"Memangnya apalagi yang perlu kudengar, Mas? Apa?! Dan sejak kapan kamu begitu dekat dengan dia?!"

"Dengar Marin. Aku dan Sheila tak ada hubungan apa-apa. Kami hanya berteman. Semua itu hanya kesalahpahaman semata. Jadi, berhenti berpikir yang tidak-tidak! Kau cuma salah paham di sini," elaknya setelah apa yang terjadi di depan mataku.

"Heh, salah paham katamu? Bukankah kau sangat terobsesi padanya? Bahkan setelah ketahuan pun bisa-bisanya kamu terus mengelak dan mengatakan kalau itu cuma salah paham?!"

"Marin, ini tak seperti yang kau—"

"Dengar Mas. Kau menyebut nama wanita itu saat mabuk, dan kau bilang penasaran dengan gayanya. Bahkan saat berhubungan denganku, wanita itu juga yang kau sebut. Dan sekarang, tepat di depan mataku kau bercumbu dengan … argghh, bahkan aku benci menyebut namanya! Kalian benar-benar menjijikan, Mas!!" teriakku tak peduli andai didengar oleh orang lain.

Mas Bian mendengus kesal. Wajahnya memerah karena marah. Berulang kali dia meremas rambutnya kasar dengan tatapan tajam ke arahku.

"Oke, aku tahu kau sedang cemburu dan marah saat ini. Jadi, pulanglah, kita akan bicarakan ini di rumah setelah pikiranmu tenang."

"Nggak perlu, kau bebas pergi dan melanjutkan aksimu dengan wanita itu."

Cepat kutinggalkan Mas Bian untuk mengejar Sheila. Akan jadi kebiasaan seandainya wanita itu terus kubiarkan.

Dengan cepat kutarik bahu wanita itu hingga dia berbalik dan menatap nyalang ke arahku.

"Apa-apaan kamu ini, Mbak?!" bentak Sheila tak terima. Wanita itu melayangkan pandangan tajam ke arahku.

"Tunggu, aku belum selesai bicara!"

"Memang apa yang kamu inginkan dariku?" tantangnya tanpa rasa malu. Inikah wajah asli wanita yang belakangan menjadi idola kaum ibu-ibu di Indonesia ini? Heh, miris.

"Apa kau puas sudah bercumbu dengan suamiku, hah?! Apa kau begitu murahan hingga tak sanggup mencari pria lajang untuk kau jadikan lawan?! Kenapa harus suamiku, kenapa harus bersama dia, Sheila. Jawab!?" cercaku dengan amarah menggebu.

Sheila menarik sudut bibir, kemudian mendorong dadaku.

Apa dia tidak merasa bersalah sedikitpun? Selain sudah melukai hati dan perasaanku, sikapnya lebih mengerikan dari yang kuduga.

Sial4n!

"Selesaikan saja urusan kalian baik-baik, dan tak usah membawa-bawa aku dalam masalahmu," ujarnya dingin sambil berlalu pergi.

Dasar wanita tidak bermoral, bisa-bisanya dia melakukan hal itu. Bukankah seharusnya yang marah di sini itu adalah aku. Wajar rasanya jika aku melabraknya.

"Cukup, Marin! Pulanglah, kita akan bereskan masalah ini di rumah!" Mas Bian juga ikut-ikutan pergi menyusul wanita itu meninggalkan aku yang menganga melihat tingkahnya.

Benar-benar keterlaluan!

Kuhempaskan bok*ngku dibalik kemudi. Tangisku pecah seiring dengan rasa sakit yang menghujam di dalam dadaku.

Sakit rasanya melihat suami sendiri tengah berbuat mesum di depan mata kepala sendiri.

Ya Tuhan, tega-teganya mereka melakukan hal itu. Apa Mas Bian tidak merasa berdosa sedikitpun, dan sudah berapa kali mereka melakukannya?

Arggh, makin kupikirkan rasanya dadaku semakin menyempit dengan rasa sakit yang kian berlipat-lipat.

Richie berteriak -teriak setelah sebelumnya dibawa main oleh pengasuhnya.

Lekas kuusap air mata dan memasang kacamata serta masker, menyamarkan wajah yang entah sudah semerah apa.

Aku tak boleh terlihat sedih di depan Richie. Kasihan anak itu jika melihatku terluka oleh papanya sendiri.

"Udah puas mainnya?" tanyaku sehalus mungkin.

Richie mengangguk cepat dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Udah, Ma. Aku seneng deh main di taman, tadi juga aku lihat Papa syuting lagi."

Ah, Mas. Setidaknya lihatlah anakmu. Tegakah kamu melukainya?

"Ya udah kita pulang, udah sore ini," ujarku sambil menyalakan mesin mobil, meninggalkan tempat yang jadi saksi perbuatan hina mereka.

***

Mas Bian pulang hampir tengah malam. Aku menunggunya seperti biasa. Mataku tak pernah bisa terpejam sebelum memastikan pria itu ada di rumah dengan selamat.

Bedanya kali ini bukan perasaan khawatir yang kurasakan, tapi lebih pada kecewa. Akan dibawa kemana pernikahan ini seandainya dia tetap melanjutkan hubungannya dengan wanita itu.

Lampu menyala setelah sebelumnya pintu kamar dibuka. Mas Bian masuk lalu membersihkan diri terlebih dahulu.

Beberapa saat kemudian, ranjang berderit seiring dengan pria itu yang merapatkan badannya ke punggung.

"Marin, kamu sudah tidur?"

Aku tak menjawab. Terus berusaha menahan kebencian dalam dada. Tak baik menjawab kalau ujung-ujungnya hanya akan ada pertengkaran di antara kami.

Pria itu mendesah berat. Menatap ke atas langit-langit sambil menghembuskan nafas berat, lalu setelahnya dengkuran halus terdengar lirih.

***

"Kamu kenapa nggak jujur padaku tentang kedekatan mereka yang sudah jauh itu, Son?"

Sony terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Kuhubungi dia pagi-pagi sekali, tepatnya sebelum dia datang untuk menjemput suamiku ke lokasi syuting.

"Apa yang terjadi, Mbak? Apakah Mbak melihat sesuatu yang tidak nyaman kemarin? Ah, maaf aku bertanya. Kulihat Pak Bian dan Sheila bertengkar dan menyebut-nyebut nama Mbak Marin."

Aku memijat pelipis yang terasa nyeri, lalu mendudukan bok*ng di sofa ruang tamu. Semalam insomnia-ku kambuh dan membuatku terjaga sepanjang malam.

"Mbak melihat mereka berciuman kemarin. Lebih buruk dari itu, entah kenapa keduanya malah mengelak. Sebenarnya apa yang tidak Mbak ketahui tentang mereka, Son?"

"Mungkin Mbak hanya—"

"Jangan terus-terusan menutupi bangkai, Son. Ingat, kamu bahkan memiliki tiga orang adik perempuan. Apa kamu nggak mikir bagaimana perasaan mereka kalau suaminya berbuat serong di belakangnya?" hardikku kesal. Sejak pertama entah kenapa suami selalu menyalahkan dan berpikir seolah-olah aku terlalu berlebihan menanggapi kedekatan mereka.

Terdengar helaan nafas dari ujung telepon. Sepertinya Sony sangat berhati-hati dalam memberikan informasi.

"Aku tak bisa memberi tahu lebih jauh tentang hubungan keduanya. Tapi, Pak Bian mengaku kalau dia tertarik dengan Sheila. Setahuku mereka tidak pernah menghabiskan waktu berduaan, ya, Mbak tahu 'kan maksudnya. Tapi sepertinya Pak Bian sudah benar-benar tertarik pada pesona wanita itu."

"Apakah sejauh itu?!"

"Mbak yang sabar ya. Kami para kru di lokasi memang sudah curiga melihat kedekatan mereka. Apalagi Pak Bian begitu menikmati perannya sebagai suami bohongannya dalam sinetron striping itu."

Jleb. Lebih dari kemarin. Pernyataan Sony kali ini terasa lebih dalam menyakitkan dari apa yang kau lihat sebelumnya.

Kubiarkan ponselku jatuh ke lantai. Aku menggigit bibir agar bisa tangisku tidak keluar.

Sumpah rasanya berat mendengar pernyataan pria itu. Sony salah satu orang yang paling dekat dengan suamiku tentunya tidak akan terus-terusan menutupi tentang kebohongan suamiku setelah kudesak terus-terusan.

Mas Bian tiba-tiba saja ada di depanku. Dia meraih ponsel kemudian menaikkan satu alisnya melihat panggilan masih berlangsung.

"Marin, siapa yang kau hubungi sepagi ini?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status