Share

Bab 8

Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik.

Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.

Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia.

Entah.

Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama.

Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu.

"Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?"

Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis.

"Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok."

"Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu ke dalam lemari?"

"Biar Marin aja yang beresin, Ma. Mama istirahat aja, pasti Mama lelah juga, 'kan?."

Mama tersenyum dengan wajah teduhnya.

"Iya, sih. Tapi nggak apa-apa. Mama seneng bantuin kamu. Oh ya, sini duduk, Mama mau ngobrol dikit sama kamu."

Mama menepuk sofa di sebelahnya. Setelah aku duduk, mama meraih jari-jariku dan meremasnya pelan.

"Marin, kamu harus lebih banyak sabar sama Bian. Sekarang 'kan suamimu adalah public figure. Yang selain sangat sibuk, juga dikelilingi oleh banyak wanita cantik di luaran sana, termasuk lawan mainnya dalam sinetron itu. Tapi kamu tahu 'kan, kalau hanya kamu dan Richie yang dia cintai sampai kapanpun.

Jadi, kamu harus memberi pengertian pada Bian. Yang penting dia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak kalian. Toh, apa yang dia dapatkan sekarang adalah harapan kalian selama bertahun-tahun untuk mencapai kesuksesan ini."

"Heh, Mas Bian pasti curhat banyak hal sama mama, ya." Aku mendesis. Memikirkan betapa banyak kebohongan yang pria itu lontarkan pada Mama.

"Ya, 'kan nggak salah, toh. Bian cuma mau kamu ngertiin dia dan sadar akan posisinya sekarang. Dia bisa sampai ke titik ini juga selain karena dia kerja keras, juga ada dukungan dari kamu . Jadi, Mama minta agar kamu lebih sabar menghadapi dia."

Aku berdiri dengan perasaan kecewa. "Kita bicarakan lagi nanti, ya, Ma. Aku mau mandi sekarang," kilahku ingin lepas dari situasi yang tak mengenakkan ini.

"Ya udah, cuma itu yang ingin Mama ngobrolin sama kamu. Mama mau liat Richie sama Mbak Ani dulu."

Mama keluar dari kamar dan menutup pintu. Aku terdiam di tempat, masih tak mengerti kenapa Mas Bian menggunakan Mama untuk membujukku mengerti tentannya.

Aku berjongkok dan membuka koper untuk mengambil baju. Penasaran atas apa yang dimasukkan oleh orang-orang rumah ke dalamnya.

Mataku awas memindai satu persatu baju yang masih berlabel. Baju-baju itu entah siapa yang membelinya untukku, yang jelas tak ada satupun baju lama yang dimasukkan ke dalamnya.

Aku menggigit kuku memikirkan sejauh mana Mas Bian akan bertindak, bahkan menjauhkan aku dari negeriku sendiri.

***

Keesokan harinya, seorang tour guide mengajak kami berkeliling kota, melihat apa saja yang asing yang tidak kutemukan di negaraku.

Mama dan Richie antusias membeli pernak-pernik dan oleh-oleh. Tak lupa dengan tas branded favorit ibu-ibu.

Setiap mama membeli barang, maka dia akan memotret dan mengunggahnya di I* miliknya.

Termasuk tas yang terakhir dibelinya ini, mama pun melakukan hal yang sama. Terlihat bahagia saat mama mampu membeli barang-barang yang diinginkannya.

Tapi, tiba-tiba saja raut wajah mama berubah pucat. Mama tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Wanita sekitar 56 tahun itu menatap serius padaku, kemudian bergantian menatap layar pipih yang menyala di tangan kirinya.

"Kenapa, Ma?"

Aku yang hendak mengambil alih ponsel dilarang Mama. Wanita itu buru-buru mematikan dan memasukkannya ke dalam sling bag miliknya.

"Nggak apa-apa, Marin."

Aku yang heran makin dibuatnya bingung

Saat Mama memilih untuk mengakhiri jalan-jalannya.

"Kita pulang ke hotel sekarang, Mama kayaknya lelah," ujarnya begitu saja.

Aku melirik pada asisten Mama, Mbak Ani termasuk tour guide kami. Mereka hanya menggeleng dan mengangkat bahu, tanda tidak mengetahui apa-apa.

***

Kubaringkan badanku yang mudah lelah diatas tempat tidur. Kuusap perut yang belum ada pergerakan. Di dalam sana, buah hati kedua akan segera diketahui keberadaannya.

Iseng kunyalakan ponsel yang sejak kemarin kumatikan sejak dalam pesawat.

Belasan notifikasi masuk setelah menyalakan data. Dan … astaga, apa yang kulihat ini.

Mas Bian dan wanita itu jadi trending topik di media sosial serta aplikasi.

Dia kegep tengah berduaan di tempat remang-remang dengan posisi yang intim bersama dengan wanita itu.

Ya Tuhan …

Ya Tuhan …

Inikah alasan pria itu menjauhkanku. Dia ingin bebas bercengkrama dengan wanita itu tanpa gangguan dari anak dan istrinya.

Aku gigit bibir sekuatnya agar isak ini tidak keluar dari mulut. Membayangkan bagaimana suamiku bercampur dengan wanita lain. Ternyata tanpa harus aku mengadu pada Mama sekalipun, kebenaran itu akhirnya terkuak dengan cepat.

"Marin, kamu baik-baik aja, Nak?"

Mama mengetuk pintu kamar namun hingga beberapa saat tidak kujawab juga.

Wanita pemilik surgaku itu lalu membuka daun pintu dan mendapatiku yang tengah merosot di lantai.

"Ya ampun, Marin ….!"

Setengah berlari Mama menghampiri dan membawaku dalam pelukannya.

"Marin, kamu pasti sudah melihat berita tentang mereka?" Aku mengangguk samar.

"Tenangkan dirimu, Marin. Semuanya belum tentu benar. Banyak akun gosip yang ingin menjatuhkan karir suamimu. Bian tadi menghubungi Mama dan meyakinkan kalau semua itu hanya gosip dan kebohongan belaka. Mereka itu sedang syuting. Mungkin ada orang iseng yang mengambil gambar, seolah mereka tengah berhubungan." Mama menjelaskan tapi kujawab dengan gelengan cepat.

"Apa Mama masih percaya sama dia?!"

"Maksudnya?!" tanya Mama dengan reaksi terkejut.

Aku mendudukkan badan dengan tangis yang tertahan. Mataku sudah berlinang air mata menatap ke arah Mama yang mengusap genangan air di pipi.

"Itu mungkin bukan kebohongan Ma. Itu mungkin kebenarannya. Dan alasan dia menyuruh kita untuk liburan, pasti karena tidak mau terganggu."

"Marin, jangan ngomong yang bukan-bukan, Bian tidak mungkin melakukan hal itu. Kamu tahu 'kan di dunia hiburan rentan sekali kena gosip dan—"

"Dia sudah mengakuinya sama aku, Ma. Dia sudah mengakuinya, bahkan dia menginginkan wanita itu juga tanpa memikirkan perasaanku!" cicitku bertubi-tubi agar Mama mengerti. Lalu mengalirlah cerita yang terjadi diantara kami.

Mama terlihat terkejut sekali. Wajah itu memerah seketika. Dadaku yang terasa sesak kupukul-pukul dengan tangan demi untuk menenangkan hati. Lebih sakit melihat mama begini.

Kini yang terluka bukan aku saja, ditambah Mama yang lebih syok.

Semua karena ulahmu, Bian ….

"Maafkan Mama, Marin. Mama tidak tahu kalau ternyata Bian melakukan hal ini. Demi untuk kesenangannya sendiri, dia menjauhkan kamu dan Richie dari sisinya hanya agar dapat bermesraan dengan wanita itu. Maafkan Mama, maaf ….!"

Mama ikut terisak dan membawaku dalam pelukannya. Mama pasti kecewa karena kebohongan menantu kebanggaanya. Jadinya kami berbarengan menangis tersedu-sedu.

Tega kamu Bian!

Tega kamu menyakitiku, Mama dan Richie, hanya demi untuk mendapatkan kebebasan bersama wanita itu.

Tapi lihat saja, aku tidak akan membiarkannya. Bahkan aku sudah menghempaskan cinta yang pernah aku punya untuknya. Mulai saat ini, aku akan membuang jauh-jauh pria pengkhianat itu dari hidupku.

Mama keluar kamar setelah tangis kami mereda. Wanita itu mengambil ponsel kemudian menghubungi beberapa orang.

Aku masih meringkuk di lantai merasakan hatiku yang sakit. Bohong jika aku tidak terluka atas pengkhianatannya.

Dan sekarang aku rela jika harus melepasnya. Apa boleh buat, dia yang memulai dan aku harus siap mengakhirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status