Share

Bab 5

Sampai keesokan paginya, tidak ada yang bersuara di antara kami. Dan tidak seperti biasanya, Mas Bian juga tidak sibuk bermain ponsel saat kami menikmati sarapan bertiga.

Kuharap dia merasa bersalah atas kejadian tadi malam, yang sialnya sampai sekarang kejadian itu terasa menghujam jantungku.

Jika pikirannya ada di sini dan tidak terganggu dengan wanita itu, sekilas dia seperti seorang suami yang bertanggung jawab dan perhatian, terutama pada Richie.

"Marin," panggilnya datar.

"Ya?" Seakan sadar dari lamunan, aku menjawab cepat.

"Mas minta maaf untuk urusan semalam. Tolong jangan diambil hati, ya. Mas benar-benar tak sadar."

Mas Bian meriah jari-jariku dan meremasnya pelan. Aku tersenyum tipis menanggapinya.

"Jauhkan dia dari pikiranmu, Mas. Jangan lupa, peranmu sebagai suami dari wanita itu cukup dalam sinetron saja, jangan dibawa-bawa ke rumah tangga kita. Itu beda, ingat itu baik-baik," tekanku dengan suara lirih. Jangan sampai Richie mendengar percakapan orang dewasa. Itu tak bagus untuk otaknya.

"Mas 'kan sudah bilang itu tak sengaja."

Mas Bian seperti tak terima padahal aku hanya mengingatkannya.

"Dan aku hanya mengingatkan, Mas. Oh ya, siang ini Mas syuting di kota Bogor, 'kan?" tanyaku memastikan.

Aku jadi mengetahui banyak hal tentang Mas Bian dari agenda milik asistennya yang kubaca.

"Iya, kenapa memangnya?"

"Nggak ada, aku kan cuma tanya," kilahku cepat sambil menghidangkan kopi hitam kesukaannya.

"Kalau mau mampir, ya mampir aja. Nggak apa-apa kok. Sekalian biar kamu lihat kalau aku dan Sheila tidak ada hubungan apa-apa."

"Maksudku bukan begitu, Mas. Tapi, bukankah wajar jika aku merasa curiga."

Mas Bian yang sedang menyeruput kopi panasnya melayangkan tatapan tajam ke arahku. Ini tatapan pertama yang kudapatkan dengan penuh kekesalan.

Apakah sikapku terlalu berlebihan? Sedangkan dia dengan entengnya menggumamkan dan menyebut nama wanita lain ketika berhubungan.

"Gak usah aneh-aneh deh. Kamu bahkan tahu aku sering berinteraksi dengan para pemain perempuan, dan biasanya kamu nggak pernah seperti ini, Marin. Kenapa sekarang jadi sensi sendiri?"

"Mas, aku nggak bermaksud apa-apa, lho. Rasanya sikapku masih wajar. Lagian mengingatkan itu 'kan kewajibanku agar kamu bisa mengontrol diri," balasku tak mau kalah.

"Buktinya kamu minta agenda dan sempat menyita ponsel milik Sony. Itu artinya kamu tidak percaya lagi padaku, 'kan?!"

"Cukup, Mas! Aku melakukan hal itu juga ada alasannya. Malam itu saat kamu mabuk, kamu menyebut nama wanita itu dan—"

"Ck. Kamu benar-benar nggak waras apa, ngedengerin omongan orang yang tengah teler?"

Mas Bian beranjak. Meninggalkan meja makan lalu menyambar kunci mobil dan pergi.

Di halaman, asisten dan beberapa orang pegawainya yang lain tampak bingung melihatnya pergi tergesa-gesa bahkan mengabaikan mereka.

"Mbak, Pak Bian kenapa, ya? Kok kayak abis marah-marah gitu?" tanya Viona sambil mendekat ke arahku.

Dengan cepat aku menggeleng pelan.

Masalah rumah tanggaku bukan konsumsi publik ataupun mereka. Dan tak perlu kujelaskan pada siapapun.

"Bukan apa-apa, kalian jaga saja dia agar jangan sampai melewati batas. Ingatkan dia juga untuk tidak melakukan sesuatu yang akan dia sesali nanti. Ingat juga, jika kalian membiarkan dia berbuat keburukan, kalian juga akan mendapatkan dosanya."

Viona sedikit terhenyak mendengar balasanku. Lalu dia menjawab dengan kaku.

"Oh, i-iya, Mbak."

***

"Ma, kita sebenarnya mau pergi ke mana sih?" tanya Richie dengan gaya khas anak-anak.

Beberapa saat yang lalu aku menjemputnya dari sekolah dan mengajaknya pergi ke suatu tempat.

"Kita mau lihat Papa syuting. Richie suka nggak?"

"Yeay, aku suka banget, Ma. Di sana banyak orang, aku suka dikasih permen sama jajanan sama aunty-aunty itu," ujarnya berceloteh.

"Ya udah, sekarang benerin duduknya dan kita berangkat …."

Sepanjang jalan Richie bersorak gembira. Jarang-jarang aku mendatangi Mas Bian di lokasi syuting.

Tapi sekarang 'ku pikir sesekali tidak apa-apa. Hanya untuk berjaga-jaga dan memastikan kalau dia tidak berbuat macam-macam, terutama saat dekat-dekat dengan wanita itu.

Tiga puluh menit kemudian, kami sampai di tempat yang dituju. Mereka benar-benar sedang melakukan syuting dan tidak menyadari kehadiranku.

Terdengar jelas di telingaku, sutradara berulang kali menyuruh mereka untuk menghentikan adegan.

Cut cut cut!

"Bian, nggak usah terlalu intens. Ini bukan adegan romantis, jadi kamu gak perlu sampai nyosor dan nyium Sheila segala. Gimana sih kamu?" gerutu pria berperut sedikit buncit tersebut.

"Bukannya tadi lo yang nyuruh?" tanya Mas Bian tak terima dan duduk di sampingnya.

"La, lo, la, lo, makin hari kamu makin sombong aja, Bian. Nggak ada sopan sopannya ke orang tua!"

"Makanya lo jangan nyolot. Udah untung gue masih mau syuting, panas-panasan pula. Mending kalau bayarannya double," jawabnya tanpa sopan santun.

Sony sigap mengambil botol mineral untuk pria itu yang segera diteguknya.

Tapi sejak kapan Mas Bian berubah menjadi sombong seperti itu, bahkan tidak menghargai orang yang selain posisinya lebih tinggi, pria itu adalah orang tua yang semestinya dihormati.

"Kita sedang syuting Bian, jika kamu terlalu dekat dengan Sheila, penonton akan mengasumsikan hal lain. Lagian itu nggak ada dalam script, kan?" Pak Imam melirik ke arah anak buahnya.

Rata-rata mereka menggeleng.

"Ah, bodo amatlah. Gue capek, nggak mau syuting lagi. Lagian si Sheila juga nggak masalah tuh," ujarnya kukuh.

Sheila juga menanggapi biasa saja. Sayangnya, aku tak melihat adegan sebelumnya.

Aku masih berdiri di tempatku perhatikan mereka yang telah mengobrol, hingga kesadaranku buyar ketika Richie berlari diikuti Mbak Ani, mendekat ke arah papanya.

"Papa ….!"

Mas Bian seketika terkejut. Dia sampai berbalik melihat Richie di sana.

"Richie, ngapain kamu di sini? Dan datang sama siapa, kok nggak bilang-bilang sama papa?"

"Itu sama Mama. Di sana, Pa!" tunjuk Richie ke arahku.

Pria itu melirik dan melayangkan pandangan tidak suka. Apalagi Sheila yang langsung membuang muka dan meminta rehat lalu pergi setelahnya.

"Kamu ngapain pake ke sini segala, Marin? Udah nggak percaya sama suami sendiri?" tanya Mas Bian ketus.

Aku tersenyum dan memilih duduk di kursi yang berjajar.

"Kenapa Mas seperti terganggu aku datang ke sini, padahal puluhan orang juga sedang menyaksikan syuting. Tapi nggak ada masalah tuh. Lagian bukannya tadi Mas yang nyuruh datang?"

"Ya, bedalah, itukan tadi bukan sekarang. Kalau ada istri mana bisa aku konsentrasi."

Mas Bian lalu menatap para putranya, "Richie pulang bareng Mama sekarang, ya. Papa mungkin pulangnya tengah malam."

"Ya, kok gitu sih, Pa. Aku 'kan masih mau di sini,," protes Richie saat Mas Bian menjauhkan dia dari pangkuannya.

Anak itu sontak mengerucutkan bibirnya tak terima.

"Marin, ajak Richie pulang, lain kali jangan bawa-bawa dia ke tempat syuting. Ngerti kamu?"

Mas Bian beranjak pergi. Bukan hanya meninggalkanku dan Richie yang kecewa, tapi lebih dari itu para kru yang ada di sana pun semuanya memperhatikan kearah kami.

"Ma, Papa marah ya, gara-gara aku datang ke tempatnya kerja?"

Richie menekuk wajah sambil mendekat ke arahku.

"Mungkin papa lagi capek, 'kan kerjanya di taman sambil panas-panasan."

"Oh, gitu ya, Ma?"

"Heem." Aku mengangguk, berusaha menelan kekesalan sambil tersenyum lembut, mengusap puncak kepala putraku dengan penuh kasih sayang.

"Ya udah, kita nyari es krim aja, gimana?"

"Ya udah, aku mau deh," jawabnya seperti tak semangat.

Aku beranjak dan mengajaknya pergi. Walau bagaimanapun anak itu tidak tahu apa-apa, dan aku tidak mau membuatnya ikut badmood seperti papanya.

Berjalan ke arah kiri, ada beberapa stand makanan berjajar rapi, aku mengajak Richie memilih es krim coklat kesukaannya. Untunglah kekesalannya berganti dengan keceriaan, saat dia memilih dua es krim rasa coklat kesukaannya.

Selesai membayar aku mengajaknya pergi. Bukan kembali ke mobil untuk pulang ke rumah, tapi mengajak jalan-jalan di sekitar taman yang cukup panas di tengah hari tersebut.

"Ma, bukannya itu papa? Kok syutingnya belum dilanjut sih, Ma?" Tangan Richie menunjuk ke arah depan.

Deg. Anakku benar. Tapi kenapa mereka pergi.

"Tunggu sama Mbak Ani di sini."

Entah dorongan dari mana kakiku terus melangkah meskipun peran jantungku tiba-tiba saja bertaruh-talu.

Meninggalkan Richie dengan pengasuhnya, dadaku tak tenang saat aku mengekor dua orang yang tampak melipir ke tempat sepi tersebut.

Ya Tuhan, kenapa mereka pergi ke tempat seperti itu dan meninggalkan lokasi?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin berkeliaran dalam kepala hingga menghasilkan pikiran negatif. Sementara kakiku menghujam paving blok yang terasa begitu berat saat dipaksa melangkah.

Dan … bagi petir siang bolong, bagai jantung yang dihantam pisau belati, bahkan bagai dihempaskan dari tebing yang sangat tinggi, saat tiba-tiba mataku menyaksikan dengan kepalaku sendiri keadaan yang benar-benar membuatku sampai tidak bisa berkata-kata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status