Sampai keesokan paginya, tidak ada yang bersuara di antara kami. Dan tidak seperti biasanya, Mas Bian juga tidak sibuk bermain ponsel saat kami menikmati sarapan bertiga.
Kuharap dia merasa bersalah atas kejadian tadi malam, yang sialnya sampai sekarang kejadian itu terasa menghujam jantungku.Jika pikirannya ada di sini dan tidak terganggu dengan wanita itu, sekilas dia seperti seorang suami yang bertanggung jawab dan perhatian, terutama pada Richie."Marin," panggilnya datar."Ya?" Seakan sadar dari lamunan, aku menjawab cepat. "Mas minta maaf untuk urusan semalam. Tolong jangan diambil hati, ya. Mas benar-benar tak sadar."Mas Bian meriah jari-jariku dan meremasnya pelan. Aku tersenyum tipis menanggapinya."Jauhkan dia dari pikiranmu, Mas. Jangan lupa, peranmu sebagai suami dari wanita itu cukup dalam sinetron saja, jangan dibawa-bawa ke rumah tangga kita. Itu beda, ingat itu baik-baik," tekanku dengan suara lirih. Jangan sampai Richie mendengar percakapan orang dewasa. Itu tak bagus untuk otaknya."Mas 'kan sudah bilang itu tak sengaja."Mas Bian seperti tak terima padahal aku hanya mengingatkannya."Dan aku hanya mengingatkan, Mas. Oh ya, siang ini Mas syuting di kota Bogor, 'kan?" tanyaku memastikan.Aku jadi mengetahui banyak hal tentang Mas Bian dari agenda milik asistennya yang kubaca."Iya, kenapa memangnya?""Nggak ada, aku kan cuma tanya," kilahku cepat sambil menghidangkan kopi hitam kesukaannya."Kalau mau mampir, ya mampir aja. Nggak apa-apa kok. Sekalian biar kamu lihat kalau aku dan Sheila tidak ada hubungan apa-apa.""Maksudku bukan begitu, Mas. Tapi, bukankah wajar jika aku merasa curiga."Mas Bian yang sedang menyeruput kopi panasnya melayangkan tatapan tajam ke arahku. Ini tatapan pertama yang kudapatkan dengan penuh kekesalan.Apakah sikapku terlalu berlebihan? Sedangkan dia dengan entengnya menggumamkan dan menyebut nama wanita lain ketika berhubungan."Gak usah aneh-aneh deh. Kamu bahkan tahu aku sering berinteraksi dengan para pemain perempuan, dan biasanya kamu nggak pernah seperti ini, Marin. Kenapa sekarang jadi sensi sendiri?""Mas, aku nggak bermaksud apa-apa, lho. Rasanya sikapku masih wajar. Lagian mengingatkan itu 'kan kewajibanku agar kamu bisa mengontrol diri," balasku tak mau kalah."Buktinya kamu minta agenda dan sempat menyita ponsel milik Sony. Itu artinya kamu tidak percaya lagi padaku, 'kan?!""Cukup, Mas! Aku melakukan hal itu juga ada alasannya. Malam itu saat kamu mabuk, kamu menyebut nama wanita itu dan—""Ck. Kamu benar-benar nggak waras apa, ngedengerin omongan orang yang tengah teler?"Mas Bian beranjak. Meninggalkan meja makan lalu menyambar kunci mobil dan pergi.Di halaman, asisten dan beberapa orang pegawainya yang lain tampak bingung melihatnya pergi tergesa-gesa bahkan mengabaikan mereka."Mbak, Pak Bian kenapa, ya? Kok kayak abis marah-marah gitu?" tanya Viona sambil mendekat ke arahku.Dengan cepat aku menggeleng pelan.Masalah rumah tanggaku bukan konsumsi publik ataupun mereka. Dan tak perlu kujelaskan pada siapapun. "Bukan apa-apa, kalian jaga saja dia agar jangan sampai melewati batas. Ingatkan dia juga untuk tidak melakukan sesuatu yang akan dia sesali nanti. Ingat juga, jika kalian membiarkan dia berbuat keburukan, kalian juga akan mendapatkan dosanya."Viona sedikit terhenyak mendengar balasanku. Lalu dia menjawab dengan kaku."Oh, i-iya, Mbak." ***"Ma, kita sebenarnya mau pergi ke mana sih?" tanya Richie dengan gaya khas anak-anak.Beberapa saat yang lalu aku menjemputnya dari sekolah dan mengajaknya pergi ke suatu tempat."Kita mau lihat Papa syuting. Richie suka nggak?""Yeay, aku suka banget, Ma. Di sana banyak orang, aku suka dikasih permen sama jajanan sama aunty-aunty itu," ujarnya berceloteh."Ya udah, sekarang benerin duduknya dan kita berangkat …."Sepanjang jalan Richie bersorak gembira. Jarang-jarang aku mendatangi Mas Bian di lokasi syuting. Tapi sekarang 'ku pikir sesekali tidak apa-apa. Hanya untuk berjaga-jaga dan memastikan kalau dia tidak berbuat macam-macam, terutama saat dekat-dekat dengan wanita itu.Tiga puluh menit kemudian, kami sampai di tempat yang dituju. Mereka benar-benar sedang melakukan syuting dan tidak menyadari kehadiranku.Terdengar jelas di telingaku, sutradara berulang kali menyuruh mereka untuk menghentikan adegan.Cut cut cut!"Bian, nggak usah terlalu intens. Ini bukan adegan romantis, jadi kamu gak perlu sampai nyosor dan nyium Sheila segala. Gimana sih kamu?" gerutu pria berperut sedikit buncit tersebut."Bukannya tadi lo yang nyuruh?" tanya Mas Bian tak terima dan duduk di sampingnya."La, lo, la, lo, makin hari kamu makin sombong aja, Bian. Nggak ada sopan sopannya ke orang tua!""Makanya lo jangan nyolot. Udah untung gue masih mau syuting, panas-panasan pula. Mending kalau bayarannya double," jawabnya tanpa sopan santun.Sony sigap mengambil botol mineral untuk pria itu yang segera diteguknya. Tapi sejak kapan Mas Bian berubah menjadi sombong seperti itu, bahkan tidak menghargai orang yang selain posisinya lebih tinggi, pria itu adalah orang tua yang semestinya dihormati."Kita sedang syuting Bian, jika kamu terlalu dekat dengan Sheila, penonton akan mengasumsikan hal lain. Lagian itu nggak ada dalam script, kan?" Pak Imam melirik ke arah anak buahnya.Rata-rata mereka menggeleng."Ah, bodo amatlah. Gue capek, nggak mau syuting lagi. Lagian si Sheila juga nggak masalah tuh," ujarnya kukuh.Sheila juga menanggapi biasa saja. Sayangnya, aku tak melihat adegan sebelumnya.Aku masih berdiri di tempatku perhatikan mereka yang telah mengobrol, hingga kesadaranku buyar ketika Richie berlari diikuti Mbak Ani, mendekat ke arah papanya."Papa ….!"Mas Bian seketika terkejut. Dia sampai berbalik melihat Richie di sana."Richie, ngapain kamu di sini? Dan datang sama siapa, kok nggak bilang-bilang sama papa?""Itu sama Mama. Di sana, Pa!" tunjuk Richie ke arahku. Pria itu melirik dan melayangkan pandangan tidak suka. Apalagi Sheila yang langsung membuang muka dan meminta rehat lalu pergi setelahnya."Kamu ngapain pake ke sini segala, Marin? Udah nggak percaya sama suami sendiri?" tanya Mas Bian ketus.Aku tersenyum dan memilih duduk di kursi yang berjajar."Kenapa Mas seperti terganggu aku datang ke sini, padahal puluhan orang juga sedang menyaksikan syuting. Tapi nggak ada masalah tuh. Lagian bukannya tadi Mas yang nyuruh datang?""Ya, bedalah, itukan tadi bukan sekarang. Kalau ada istri mana bisa aku konsentrasi." Mas Bian lalu menatap para putranya, "Richie pulang bareng Mama sekarang, ya. Papa mungkin pulangnya tengah malam.""Ya, kok gitu sih, Pa. Aku 'kan masih mau di sini,," protes Richie saat Mas Bian menjauhkan dia dari pangkuannya. Anak itu sontak mengerucutkan bibirnya tak terima."Marin, ajak Richie pulang, lain kali jangan bawa-bawa dia ke tempat syuting. Ngerti kamu?"Mas Bian beranjak pergi. Bukan hanya meninggalkanku dan Richie yang kecewa, tapi lebih dari itu para kru yang ada di sana pun semuanya memperhatikan kearah kami. "Ma, Papa marah ya, gara-gara aku datang ke tempatnya kerja?"Richie menekuk wajah sambil mendekat ke arahku."Mungkin papa lagi capek, 'kan kerjanya di taman sambil panas-panasan.""Oh, gitu ya, Ma?""Heem." Aku mengangguk, berusaha menelan kekesalan sambil tersenyum lembut, mengusap puncak kepala putraku dengan penuh kasih sayang."Ya udah, kita nyari es krim aja, gimana?""Ya udah, aku mau deh," jawabnya seperti tak semangat.Aku beranjak dan mengajaknya pergi. Walau bagaimanapun anak itu tidak tahu apa-apa, dan aku tidak mau membuatnya ikut badmood seperti papanya.Berjalan ke arah kiri, ada beberapa stand makanan berjajar rapi, aku mengajak Richie memilih es krim coklat kesukaannya. Untunglah kekesalannya berganti dengan keceriaan, saat dia memilih dua es krim rasa coklat kesukaannya.Selesai membayar aku mengajaknya pergi. Bukan kembali ke mobil untuk pulang ke rumah, tapi mengajak jalan-jalan di sekitar taman yang cukup panas di tengah hari tersebut."Ma, bukannya itu papa? Kok syutingnya belum dilanjut sih, Ma?" Tangan Richie menunjuk ke arah depan.Deg. Anakku benar. Tapi kenapa mereka pergi."Tunggu sama Mbak Ani di sini."Entah dorongan dari mana kakiku terus melangkah meskipun peran jantungku tiba-tiba saja bertaruh-talu.Meninggalkan Richie dengan pengasuhnya, dadaku tak tenang saat aku mengekor dua orang yang tampak melipir ke tempat sepi tersebut.Ya Tuhan, kenapa mereka pergi ke tempat seperti itu dan meninggalkan lokasi?Pertanyaan-pertanyaan itu semakin berkeliaran dalam kepala hingga menghasilkan pikiran negatif. Sementara kakiku menghujam paving blok yang terasa begitu berat saat dipaksa melangkah.Dan … bagi petir siang bolong, bagai jantung yang dihantam pisau belati, bahkan bagai dihempaskan dari tebing yang sangat tinggi, saat tiba-tiba mataku menyaksikan dengan kepalaku sendiri keadaan yang benar-benar membuatku sampai tidak bisa berkata-kata."Marin?!" Mas Bian dan wanita sial4n itu melepaskan pagutannya begitu menyadari kehadiranku. Buru-buru pria itu mendorong wanitanya dan mendekat ke arahku yang mematung dengan mata sudah berkaca-kaca.Kulihat Sheila tersenyum puas melihat ke arahku. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua."Bereskan urusan kalian berdua, Mas," ujar wanita itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Rasanya tanganku panas ingin menempelengnya saja."Marin, ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang."Plakk!!Tamparan keras kulayangkan pada pipinya membuat pria itu berpaling. Tak tahan rasanya melihatnya masih membela diri setelah ketahuan."Beginikah kelakuanmu saat tak ada orang lain, atau jangan-jangan mereka yang ada di lokasi syuting juga tahu kedekatanmu dengan wanita jal4ng itu?!""Bukan begitu, Marina. Aku bisa menjelaskan semuanya," jawabnya cepat tapi tak dapat menyembunyikan raut wajah gelisahnya. "Memangnya apalagi yang perlu kudengar, Mas? Apa?! Dan sejak kapan kamu begitu dekat dengan
Dengan cepat Mas Bian mengambil ponselku dan meremasnya kasar."Kau memata-matai aku lewat Sony?!"Aku berdiri agar bisa menghadapinya, hingga tatapan tajam kami beradu."Aku hanya butuh kepastian dari orang lain, selain suamiku yang terus mengelak meski sudah ketahuan," sarkasku padanya. Biar saja dia tahu kalau aku tak tahan dibohongi terus-terusan.Mas Bian berdecak dengan rahang mengeras."Apa ucapanku kemarin tak cukup untuk meyakinkanmu kalau semuanya tidak seperti yang kau pikirkan?!" ucapnya geram."Kau menyukai dia, 'kan? Kau juga menginginkan dia? Jawab yang jujur, Mas, nggak usah ada yang ditutup-tutupi lagi! Kejadian kemarin cukup membuktikan semuanya! " Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Tapi Mas Bian seperti tak terima ketika kupaksa dia untuk bicara jujur.Sesulit itukah bicara dan mengakui semuanya?"Bicara apa kau ini? Kau sadar Marin, gara-gara cemburu buta ucapanmu jadi ngawur kemana-mana!" kilahnya membuatku muak. Berkali-kali pria yang masih meng
Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik. Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia. Entah.Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama. Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu."Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?" Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis."Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok.""Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu
Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku.Tanpa pikir panjang semuanya kutolak.Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban.Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung."Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi."Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini."Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ib
"Ma, aku mau ke lantai bawah sebentar untuk bertemu dengan seorang teman," ucapku saat menghampiri Mama."Mau ketemu siapa?"Ragu-ragu aku menjawab karena mama pasti akan keberatan mendengarnya."Erick, Ma."Mama yang tengah rebahan bersama dengan Richie yang terlelap di sampingnya, sontak terduduk dan menatapku dengan sorot serius."Erick ada di sini?" Aku mengangguk pelan."Marin, apa tidak sebaiknya kamu menghindari pria itu. Perbincangan suamimu saja masih panas-panasnya di negara kita, Mama takut kalau kamu menemui orang itu, malah akan menambah gosip baru. Kamu tahu 'kan jaman sekarang mata-mata ada di mana-mana?"Aku tersenyum dan menyampirkan tas di pundak. Tentu saja yang mama maksud adalah orang-orang yang ikut rombongan kami liburan. Mereka pasti akan mengadukan semuanya kepada suamiku. Tapi ah, bodo amat. Itu tidak penting sekarang."Mama nggak usah khawatir, kita berada di luar negeri, bukan berada di Bali atau Jakarta. Lagian orang-orang itu hanya akan mengadu pada su
Dua hari kemudian, Papa menelponku lagi lewat ponsel mama. Bedanya kali ini Papa lebih murka dari sebelumnya, yang menyuruhku untuk memikirkan dan merundingkan semuanya. Kali ini papa juga tambah marah karena aku ketahuan bertemu dengan pria yang amat sangat dibencinya."Apalagi kali ini, Pa?! Kalau Papa memintaku untuk merundingkan semuanya, maka maaf, aku nggak bisa, Pa. Tolong mengertilah keadaanku." Bukan tanpa alasan aku bicara demikian. Sebelumnya Pak Anto juga menghubungi kalau pengajuan perceraian ini tidak bisa dilanjut tanpa persetujuan papaku."Ok, Papa terima kalau kamu ingin mengakhiri semuanya dengan Bian karena kamu sakit hati. Tapi, tidak bisakah kamu menahan diri untuk tidak bertemu sementara waktu dengan pria sial4n itu?! Kamu tahu 'kan, kalau gosip suamimu saja masih memanas. Jadi jangan sampai orang-orang mengira kalau kau juga ikut berselingkuh bersama dengan bajing4n itu!" Suara Papa yang menggeram membuatku terdiam sejenak. Kebencian Papa pada Erick meman
Aku melangkah cepat diiringi pengawalan yang ketat. Para pemburu berita yang masih penasaran dan ingin menelisik lebih lanjut itu, terus mengejar bahkan menghalangi laju mobil ketika kami ingin pergi. Richie juga sempat menjerit karena terhimpit beberapa orang.Pintu kaca terus-terusan di ketuk membuatku tak tahan dan membukanya sedikit, mendengarkan orang-orang itu yang mendekatkan mikrofon agar aku kembali bersuara."Terakhir Bu, tolong terakhir jawab. Apa langkah Bu Marina selanjutnya? Apakah akan memaafkan Pak Bian atau malah memilih bercerai? Kami dengar selentingan kabar kalau seorang pengacara menemui papa Anda di kantornya?""Kita lihat itu nanti, ya, terima kasih."Mereka yang kecewa segera menjauh dan memberi jalan.Mobil pun melaju membelah kerumunan dengan kecepatan sedang. Sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak memberi informasi kepada orang asing yang tentunya akan semakin membesar-besarkan masalah. Meski ya, tindakanku juga tidak bisa dibenarkan.Sampai ke rumah
"Aku sudah berada di rumahku. Kenapa tidak diselesaikan di sini saja, sih, Mas?"Heh, aku tahu dia masih belum puas bermain- main dengan wanita itu, dan dia ingin melampiaskan amarahnya padaku di rumah nanti. Aku juga yakin amarahnya akan meledak begitu jauh dari orang tuaku."Tidak bisa di sini Marin, ayo pulang ke rumah kita," ajaknya kukuh. Apa dia tak ingin sekedar meminta maaf dulu gitu."Kenapa dan apa yang mau kau selesaikan, Mas? Aksimu yang keburu ketahuan atau ada yang masalah lain yang ingin kau selesaikan? Kenapa tak disini saja?!" sergahku sebisa mungkin menahan emosi. "Ya nggak bisa gitu dong. Kita nggak leluasa bicara di sini dan masalah kita akan terus-menerus berlarut." "Ok, kamu tenang aja, Mas. Menurutku semuanya bahkan sudah selesai. Secepatnya kau kubebaskan melanjutkan apapun keinginanmu, tanpa akan ada orang yang menghalangi." "Marin, jaga bicaramu, jangan keterlaluan! Jangan terlalu jauh berpikir! Jelas-jelas kau juga salah di sini!" geramnya tertahan.