Aku melangkah cepat diiringi pengawalan yang ketat. Para pemburu berita yang masih penasaran dan ingin menelisik lebih lanjut itu, terus mengejar bahkan menghalangi laju mobil ketika kami ingin pergi. Richie juga sempat menjerit karena terhimpit beberapa orang.Pintu kaca terus-terusan di ketuk membuatku tak tahan dan membukanya sedikit, mendengarkan orang-orang itu yang mendekatkan mikrofon agar aku kembali bersuara."Terakhir Bu, tolong terakhir jawab. Apa langkah Bu Marina selanjutnya? Apakah akan memaafkan Pak Bian atau malah memilih bercerai? Kami dengar selentingan kabar kalau seorang pengacara menemui papa Anda di kantornya?""Kita lihat itu nanti, ya, terima kasih."Mereka yang kecewa segera menjauh dan memberi jalan.Mobil pun melaju membelah kerumunan dengan kecepatan sedang. Sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak memberi informasi kepada orang asing yang tentunya akan semakin membesar-besarkan masalah. Meski ya, tindakanku juga tidak bisa dibenarkan.Sampai ke rumah
"Aku sudah berada di rumahku. Kenapa tidak diselesaikan di sini saja, sih, Mas?"Heh, aku tahu dia masih belum puas bermain- main dengan wanita itu, dan dia ingin melampiaskan amarahnya padaku di rumah nanti. Aku juga yakin amarahnya akan meledak begitu jauh dari orang tuaku."Tidak bisa di sini Marin, ayo pulang ke rumah kita," ajaknya kukuh. Apa dia tak ingin sekedar meminta maaf dulu gitu."Kenapa dan apa yang mau kau selesaikan, Mas? Aksimu yang keburu ketahuan atau ada yang masalah lain yang ingin kau selesaikan? Kenapa tak disini saja?!" sergahku sebisa mungkin menahan emosi. "Ya nggak bisa gitu dong. Kita nggak leluasa bicara di sini dan masalah kita akan terus-menerus berlarut." "Ok, kamu tenang aja, Mas. Menurutku semuanya bahkan sudah selesai. Secepatnya kau kubebaskan melanjutkan apapun keinginanmu, tanpa akan ada orang yang menghalangi." "Marin, jaga bicaramu, jangan keterlaluan! Jangan terlalu jauh berpikir! Jelas-jelas kau juga salah di sini!" geramnya tertahan.
Waktu hampir menginjak dini hari, namun entah kenapa mataku tidak juga mau terpejam. Pikiranku terus mengarah pada Mas Bian yang tak kunjung pulang.Pukul sepuluh tadi malam, dia mengabarkan akan segera tiba di rumah. Tapi, hingga empat jam kemudian, pria itu belum juga menampilkan batang hidungnya.Sebagai seorang istri yang memiliki suami dengan tingkat kepadatan aktivitas tak mengenal waktu, aku memang dituntut untuk mengerti. Tapi jika perkataan tidak sesuai dengan kenyataan, tentu saja aku menjadi gelisah dan kepikiran.'Sebenarnya kamu di mana, Mas?'Namaku Marina. Aku dan Mas Bian menikah 5 tahun yang lalu. Kami sudah dikaruniai seorang jagoan kecil bernama Richie. Hidup kami pun terbilang bahagia dengan ekonomi yang perlahan naik.Suamiku tidak bekerja di kantoran atau pun memiliki usaha. Dia adalah seorang aktor yang namanya tengah dielu-elukan oleh kaum wanita dan kaum ibu-ibu di negeri ini.Setelah belasan kali membintangi drama TV, akhirnya Mas Bian mendapat kesempatan saa
"Ya sudah, aku mau siap-siap dulu buat syuting. Udah gitu, nanti aku mau pergi ke tempat meeting bareng beberapa klien. Hari ini mungkin aku akan pulang terlambat lagi."Mas Bian melirik ke arah jam digital yang ada di atas nakas, dan berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.Priaku itu lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan ponselnya di atas meja.Bip!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Nama 'Shei' tertera di sana. Dengan jelas bisa kulihat pesan apa yang masuk beberapa detik lalu itu.(Ay, datang ke apartemen dulu, ya. Mumpung aku lagi sendirian.)Pesan itu membuat mataku melotot sempurna, apalagi diiringi dengan emot kedip sebelah mata. Seolah kode kalau mereka bebas melakukan apa saja karena tidak akan ada orang yang mengganggu.Apa-apaan ini?Sialan!Setelah semalam Mas Bian menggumamkan nama wanita itu, kenapa sekarang Sheila justru menyuruh suamiku datang ke tempatnya.Benar-benar mencurigakan.Mondar-mandir tidak jelas seperti kebiasaanku saat ada masalah, otakku memikirkan b
Mas Bian dan Sheila sudah pergi, sementara Sony memeriksa ponselnya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil miliknya. Gegas aku menarik bahunya membuat pria itu berpaling padaku. Terlihat wajah Sony yang terkejut begitu melihatku berdiri dengan tatapan emosi padanya."Mbak Marina?""Bukankah kau harus menjelaskan sesuatu padaku tentang hubungan mereka?" tanyaku langsung tanpa basa-basi."Ma-maksud Mbak apa, ya? Dan kenapa Mbak masih ada di sini?" tanyanya pura-pura bingung. Aku mendecih dengan tatapan serius."Sudah berapa lama mereka berhubungan, dan sesering apa mereka pergi berdua?""Mbak sepertinya salah paham. Sheila dan Pak Bian tidak ada hubungan apa-apa. Beneran. Mereka cuma rekan kerja yang kebetulan terlihat dekat, ya tentu saja agar dapat chemistry saat syuting nanti. Mbak juga tahu 'kan, kalau hal itu biasa di antara para pemain," jawabnya langsung memberi penjelasan, seolah aku adalah wanita bodoh yang mudah sekali dibohongi."Heh, begitukah?" Ragu-ragu Sony mengangguk."Ja
Entah mengapa aku begitu puas melihat wajah keduanya. Terlebih Sheila yang berusaha meredam emosi melihatku tampak santai duduk di antara mereka.Wanita itu bahkan tidak melanjutkan kembali makannya dan sesekali melirik ke arah Mas Bian. Tapi kau lihat Sheila, bahkan suamiku tidak berbuat apa-apa untuk melepaskanmu dari situasi tidak menyenangkan ini.Sampai makan siang itu berakhir, tak ada yang bersuara di antara kami. Mas Bian terburu-buru mengajakku pulang setelah secepat mungkin menghabiskan makanannya.Sheila berdiri di pinggir jalan. Aku menggamit tangan suamiku sambil tersenyum padanya. Tak lupa mendekat ke arahnya untuk memberikan kunci mobil."Kamu boleh membawa mobil Sony, nanti aku suruh dia mengambilnya di tempatmu. Dan ya, setelah ini ruang gerakmu akan semakin terbatas untuk mendekati suamiku, Sheila," bisikku membuat wanita itu mendelik dan mundur satu langkah ke belakang. Tak lupa, bibir ini mendarat begitu saja di pipi suamiku, membuat Mas Bian terhenyak.Pria itu
Sampai keesokan paginya, tidak ada yang bersuara di antara kami. Dan tidak seperti biasanya, Mas Bian juga tidak sibuk bermain ponsel saat kami menikmati sarapan bertiga. Kuharap dia merasa bersalah atas kejadian tadi malam, yang sialnya sampai sekarang kejadian itu terasa menghujam jantungku.Jika pikirannya ada di sini dan tidak terganggu dengan wanita itu, sekilas dia seperti seorang suami yang bertanggung jawab dan perhatian, terutama pada Richie. "Marin," panggilnya datar."Ya?" Seakan sadar dari lamunan, aku menjawab cepat. "Mas minta maaf untuk urusan semalam. Tolong jangan diambil hati, ya. Mas benar-benar tak sadar." Mas Bian meriah jari-jariku dan meremasnya pelan. Aku tersenyum tipis menanggapinya."Jauhkan dia dari pikiranmu, Mas. Jangan lupa, peranmu sebagai suami dari wanita itu cukup dalam sinetron saja, jangan dibawa-bawa ke rumah tangga kita. Itu beda, ingat itu baik-baik," tekanku dengan suara lirih. Jangan sampai Richie mendengar percakapan orang dewasa. It
"Marin?!" Mas Bian dan wanita sial4n itu melepaskan pagutannya begitu menyadari kehadiranku. Buru-buru pria itu mendorong wanitanya dan mendekat ke arahku yang mematung dengan mata sudah berkaca-kaca.Kulihat Sheila tersenyum puas melihat ke arahku. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua."Bereskan urusan kalian berdua, Mas," ujar wanita itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Rasanya tanganku panas ingin menempelengnya saja."Marin, ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang."Plakk!!Tamparan keras kulayangkan pada pipinya membuat pria itu berpaling. Tak tahan rasanya melihatnya masih membela diri setelah ketahuan."Beginikah kelakuanmu saat tak ada orang lain, atau jangan-jangan mereka yang ada di lokasi syuting juga tahu kedekatanmu dengan wanita jal4ng itu?!""Bukan begitu, Marina. Aku bisa menjelaskan semuanya," jawabnya cepat tapi tak dapat menyembunyikan raut wajah gelisahnya. "Memangnya apalagi yang perlu kudengar, Mas? Apa?! Dan sejak kapan kamu begitu dekat dengan