Share

Bab 3

Mas Bian dan Sheila sudah pergi, sementara Sony memeriksa ponselnya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil miliknya.

Gegas aku menarik bahunya membuat pria itu berpaling padaku. Terlihat wajah Sony yang terkejut begitu melihatku berdiri dengan tatapan emosi padanya.

"Mbak Marina?"

"Bukankah kau harus menjelaskan sesuatu padaku tentang hubungan mereka?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.

"Ma-maksud Mbak apa, ya? Dan kenapa Mbak masih ada di sini?" tanyanya pura-pura bingung. Aku mendecih dengan tatapan serius.

"Sudah berapa lama mereka berhubungan, dan sesering apa mereka pergi berdua?"

"Mbak sepertinya salah paham. Sheila dan Pak Bian tidak ada hubungan apa-apa. Beneran. Mereka cuma rekan kerja yang kebetulan terlihat dekat, ya tentu saja agar dapat chemistry saat syuting nanti.

Mbak juga tahu 'kan, kalau hal itu biasa di antara para pemain," jawabnya langsung memberi penjelasan, seolah aku adalah wanita bodoh yang mudah sekali dibohongi.

"Heh, begitukah?" Ragu-ragu Sony mengangguk.

"Jangan menyembunyikan apapun dariku, Son. Kebohonganmu itu tidak akan tertutup selamanya. Lagian kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dengan melindungi mereka."

"Kayaknya Mbak terlalu berpikir kejauhan, deh. Mbak harus percaya pada Pak Bian, jangan curiga yang tidak beralasan, Mbak."

"Ok, kalau begitu ke mana mereka pergi sekarang?"

"Itu … memangnya Mbak mau apa?"

"Aku mau mulai sekarang kamu memberitahuku kegiatan pria itu dan apa yang mereka lakukan di luar jam syuting."

Lekas aku menyambar sling bag yang dipegang oleh Sony. Kuambil 2 ponsel satu iPad termasuk buku agenda yang selalu dibawa kemana-mana.

Sontak Sony kelabakan melihat tingkahku yang spontan itu.

"Mbak, tolong jangan begini. Mbak harus percaya kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa!"

"Kalau begitu kau tidak perlu takut, karena aku tidak akan melakukan apa-apa. Hanya saja aku harus menghindarkan dia dari kemungkinan yang bisa terjadi di luar harapanku, bukan?"

"Mbak, kalau Mbak bersikap seperti ini, itu hanya kamu menyulitkan aku. Tolong, percaya saja kalau—"

"Ke mana Mas Bian pergi?" potongku cepat.

Rasanya tak perlu mendengarkan basa-basi dari Sony karena jelas sedang melindungi hubungan gelap mereka.

Sedangkan jika aku langsung mencurigai Mas Bian dan menguntitnya, aku tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kebohongan.

Belum sempat Sony menjawab, ponselku berdering. Nama Mbak Ani terpampang di layar.

Jam pulang sekolah masih satu jam lagi tapi, kenapa wanita itu menghubungiku.

Penasaran, segera kutekan tombol hijau untuk menjawab.

"Ya, Mbak? Ada apa?"

"Itu, Bu. Richie nangis di sekolah. Tadi dia berebut mainan dengan temannya. Dan Richie tetap mau pulang meskipun saya sudah mencoba untuk membujuknya."

Astaga, ada-ada saja.

"Oke Mbak tunggu aja, sebentar lagi Sony ke sana untuk menjemput."

Sony yang melihat wajah seriusku terlihat bingung. Aku melempar kunci mobil padanya meminta bertukar kunci dengan milikku.

"Jemput Richie di sekolah dan bawa pulang ke rumah. Dan ya, kamu belum menjawab ke mana Mas Bian dan wanita itu pergi? Cepat katakan, Son," desakku tidak sabar.

Bukan posesif atau cemburu, aku hanya ingin mencegah kemungkinan yang lebih buruk terjadi.

Bukan tidak mungkin keduanya pergi ke suatu tempat kemudian melakukan tindakan di luar batas, bukan. Apalagi seperti gumaman Mas Bian semalam, kalau dia begitu terobsesi pada bentuk tubuh Sheila.

"Mereka pergi ke tempat syuting, Mbak."

"Jangan berani-berani bohong padaku, Son. Kamu jelas tahu kalau Viona dan yang lainnya sedang berlibur di Kepulauan seribu!"

Sony tertohok mendengar suaraku yang meninggi. Pria itupun pasrah dan mengatakan nama sebuah resto yang menyatu dengan hotel ternama di pinggiran ibukota.

"Tolong jangan katakan informasi itu dariku, Mbak. Aku takut Pak Bian marah dan memecatku." Lirih Sony memohon yang kutanggapi dengan dengusan kesal.

"Kau tenang saja. Aku hanya ingin memastikan apa yang kulihat dan kutakutkan tidak terjadi."

Gegas aku masuk ke mobil Sony agar tidak dicurigai, tak lupa membawa ketiga ponsel miliknya dan kumasukan ke dalam tas, tentu saja alasannya agar Sony tidak melaporkan hal itu kepada Mas Bian.

***

Laju kendaraan membelah jalanan ibukota kemudian berbelok ke bagian pinggir.

Panas terik matahari tidak kupedulikan. Hatiku lebih panas memikirkan apa yang mungkin mereka berdua lakukan tanpa Sony.

Sesekali kupukul setir untuk membuang rasa kesal sekaligus memperingatkan agar orang-orang segera melajukan kendaraannya dan tidak menghalangi jalan.

Membutuhkan waktu sekitar satu jam, hingga akhirnya aku menepi ke tempat yang dituju.

Memikirkan mereka hanya akan makan di lobi saja membuatku kesal, apa kabar jika mereka melakukan lebih dari itu. Check in misalnya.

Oh Tuhan, tolong jaga suamiku agar dijauhkan dari perbuatan haram dan sebagainya.

Pelayan dengan ramah datang mendekat saat aku bertanya tentang keberadaan Mas Bian. Wanita itu tersenyum simpul kemudian menunjuk salah satu ruang VIP.

Tak sabar, aku membuka pintu secepat yang kubisa, lalu tampaklah dua manusia dengan wajah terkejutnya melihatku berdiri di tempatku.

"Ma-Marin?"

Mas Bian begitu terkejut, begitupun wanita yang ada di sampingnya. Buru-buru wanita itu melepaskan rangkulan dari lengan suamiku.

Setelah berusaha menyembunyikan keterkejutannya, Sheila berusaha bersikap senang. Bener-bener wanita itu pandai berakting di depanku.

"Mbak Marina, sedang apa Mbak di sini?"

Aku mendekat ke arahnya dan duduk tempat di samping kanan suamiku.

"Kebetulan aku lewat sini dan tidak tahu kalau kalian tengah berduaan," sindirnya berusaha meredam emosi yang membara.

Sudah puluhan episode yang mereka mainkan di depan layar, baik adegan biasa maupun adegan yang lebih intens. Tapi jika mereka berduaan di luar itu, aku benar-benar tak tahan melihatnya.

"Oh itu, kami ada urusan di sekitar sini, Sayang. Jangan berpikir yang aneh-aneh apalagi curiga pada suami. Itu nggak baik bagi kesehatan mentalmu." Mas Bian yang menjawab.

"Oh, padahal aku tidak mengatakan apa-apa lho. Kenapa Mas malah berpikir seperti itu?"

"Eh, itu—"

"Sudahlah, Mas. Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk banyak-banyak mengingat anak dan istrimu sebelum kamu berbuat terlalu jauh," ujarku serupa sindiran sambil melirik ke arah Sheila yang seperti terkejut mendengar ucapanku.

"Marin—"

"Ah sudahlah, tidak usah dibesar-besarkan. Karena kita sudah berkumpul di sini, bukankah sebaiknya kita makan bertiga?"

"Oh, i-iya. Pesanlah makanan apa saja yang kamu mau. Setelah itu kita pulang."

"Nggak perlu, Mas. Toh di sini juga banyak makanan. Aku makan ini saja."

Aku mengambil makanan dari piring Sheila dan menyuapkannya separuh ke mulut, lalu meletakkan kembali di piringnya.

"Oh, maaf. Aku lupa kalau tak akan ada orang yang suka dengan bekas makanan orang lain."

Mas Bian dan Sheila tidak dapat menyembunyikan raut kekesalan di wajah mereka, ketika melihat aksiku.

Aku kini bahkan seperti orang ketiga diantara keduanya.

Kamu lihat Sheila, ini hanya perumpamaan kecil untuk mengingatkanmu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status