Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik. Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia. Entah.Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama. Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu."Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?" Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis."Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok.""Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu
Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku.Tanpa pikir panjang semuanya kutolak.Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban.Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung."Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi."Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini."Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ib
"Ma, aku mau ke lantai bawah sebentar untuk bertemu dengan seorang teman," ucapku saat menghampiri Mama."Mau ketemu siapa?"Ragu-ragu aku menjawab karena mama pasti akan keberatan mendengarnya."Erick, Ma."Mama yang tengah rebahan bersama dengan Richie yang terlelap di sampingnya, sontak terduduk dan menatapku dengan sorot serius."Erick ada di sini?" Aku mengangguk pelan."Marin, apa tidak sebaiknya kamu menghindari pria itu. Perbincangan suamimu saja masih panas-panasnya di negara kita, Mama takut kalau kamu menemui orang itu, malah akan menambah gosip baru. Kamu tahu 'kan jaman sekarang mata-mata ada di mana-mana?"Aku tersenyum dan menyampirkan tas di pundak. Tentu saja yang mama maksud adalah orang-orang yang ikut rombongan kami liburan. Mereka pasti akan mengadukan semuanya kepada suamiku. Tapi ah, bodo amat. Itu tidak penting sekarang."Mama nggak usah khawatir, kita berada di luar negeri, bukan berada di Bali atau Jakarta. Lagian orang-orang itu hanya akan mengadu pada su
Dua hari kemudian, Papa menelponku lagi lewat ponsel mama. Bedanya kali ini Papa lebih murka dari sebelumnya, yang menyuruhku untuk memikirkan dan merundingkan semuanya. Kali ini papa juga tambah marah karena aku ketahuan bertemu dengan pria yang amat sangat dibencinya."Apalagi kali ini, Pa?! Kalau Papa memintaku untuk merundingkan semuanya, maka maaf, aku nggak bisa, Pa. Tolong mengertilah keadaanku." Bukan tanpa alasan aku bicara demikian. Sebelumnya Pak Anto juga menghubungi kalau pengajuan perceraian ini tidak bisa dilanjut tanpa persetujuan papaku."Ok, Papa terima kalau kamu ingin mengakhiri semuanya dengan Bian karena kamu sakit hati. Tapi, tidak bisakah kamu menahan diri untuk tidak bertemu sementara waktu dengan pria sial4n itu?! Kamu tahu 'kan, kalau gosip suamimu saja masih memanas. Jadi jangan sampai orang-orang mengira kalau kau juga ikut berselingkuh bersama dengan bajing4n itu!" Suara Papa yang menggeram membuatku terdiam sejenak. Kebencian Papa pada Erick meman
Aku melangkah cepat diiringi pengawalan yang ketat. Para pemburu berita yang masih penasaran dan ingin menelisik lebih lanjut itu, terus mengejar bahkan menghalangi laju mobil ketika kami ingin pergi. Richie juga sempat menjerit karena terhimpit beberapa orang.Pintu kaca terus-terusan di ketuk membuatku tak tahan dan membukanya sedikit, mendengarkan orang-orang itu yang mendekatkan mikrofon agar aku kembali bersuara."Terakhir Bu, tolong terakhir jawab. Apa langkah Bu Marina selanjutnya? Apakah akan memaafkan Pak Bian atau malah memilih bercerai? Kami dengar selentingan kabar kalau seorang pengacara menemui papa Anda di kantornya?""Kita lihat itu nanti, ya, terima kasih."Mereka yang kecewa segera menjauh dan memberi jalan.Mobil pun melaju membelah kerumunan dengan kecepatan sedang. Sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak memberi informasi kepada orang asing yang tentunya akan semakin membesar-besarkan masalah. Meski ya, tindakanku juga tidak bisa dibenarkan.Sampai ke rumah
"Aku sudah berada di rumahku. Kenapa tidak diselesaikan di sini saja, sih, Mas?"Heh, aku tahu dia masih belum puas bermain- main dengan wanita itu, dan dia ingin melampiaskan amarahnya padaku di rumah nanti. Aku juga yakin amarahnya akan meledak begitu jauh dari orang tuaku."Tidak bisa di sini Marin, ayo pulang ke rumah kita," ajaknya kukuh. Apa dia tak ingin sekedar meminta maaf dulu gitu."Kenapa dan apa yang mau kau selesaikan, Mas? Aksimu yang keburu ketahuan atau ada yang masalah lain yang ingin kau selesaikan? Kenapa tak disini saja?!" sergahku sebisa mungkin menahan emosi. "Ya nggak bisa gitu dong. Kita nggak leluasa bicara di sini dan masalah kita akan terus-menerus berlarut." "Ok, kamu tenang aja, Mas. Menurutku semuanya bahkan sudah selesai. Secepatnya kau kubebaskan melanjutkan apapun keinginanmu, tanpa akan ada orang yang menghalangi." "Marin, jaga bicaramu, jangan keterlaluan! Jangan terlalu jauh berpikir! Jelas-jelas kau juga salah di sini!" geramnya tertahan.
Waktu hampir menginjak dini hari, namun entah kenapa mataku tidak juga mau terpejam. Pikiranku terus mengarah pada Mas Bian yang tak kunjung pulang.Pukul sepuluh tadi malam, dia mengabarkan akan segera tiba di rumah. Tapi, hingga empat jam kemudian, pria itu belum juga menampilkan batang hidungnya.Sebagai seorang istri yang memiliki suami dengan tingkat kepadatan aktivitas tak mengenal waktu, aku memang dituntut untuk mengerti. Tapi jika perkataan tidak sesuai dengan kenyataan, tentu saja aku menjadi gelisah dan kepikiran.'Sebenarnya kamu di mana, Mas?'Namaku Marina. Aku dan Mas Bian menikah 5 tahun yang lalu. Kami sudah dikaruniai seorang jagoan kecil bernama Richie. Hidup kami pun terbilang bahagia dengan ekonomi yang perlahan naik.Suamiku tidak bekerja di kantoran atau pun memiliki usaha. Dia adalah seorang aktor yang namanya tengah dielu-elukan oleh kaum wanita dan kaum ibu-ibu di negeri ini.Setelah belasan kali membintangi drama TV, akhirnya Mas Bian mendapat kesempatan saa
"Ya sudah, aku mau siap-siap dulu buat syuting. Udah gitu, nanti aku mau pergi ke tempat meeting bareng beberapa klien. Hari ini mungkin aku akan pulang terlambat lagi."Mas Bian melirik ke arah jam digital yang ada di atas nakas, dan berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.Priaku itu lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan ponselnya di atas meja.Bip!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Nama 'Shei' tertera di sana. Dengan jelas bisa kulihat pesan apa yang masuk beberapa detik lalu itu.(Ay, datang ke apartemen dulu, ya. Mumpung aku lagi sendirian.)Pesan itu membuat mataku melotot sempurna, apalagi diiringi dengan emot kedip sebelah mata. Seolah kode kalau mereka bebas melakukan apa saja karena tidak akan ada orang yang mengganggu.Apa-apaan ini?Sialan!Setelah semalam Mas Bian menggumamkan nama wanita itu, kenapa sekarang Sheila justru menyuruh suamiku datang ke tempatnya.Benar-benar mencurigakan.Mondar-mandir tidak jelas seperti kebiasaanku saat ada masalah, otakku memikirkan b