Share

Bab 7

Dengan cepat Mas Bian mengambil ponselku dan meremasnya kasar.

"Kau memata-matai aku lewat Sony?!"

Aku berdiri agar bisa menghadapinya, hingga tatapan tajam kami beradu.

"Aku hanya butuh kepastian dari orang lain, selain suamiku yang terus mengelak meski sudah ketahuan," sarkasku padanya.

Biar saja dia tahu kalau aku tak tahan dibohongi terus-terusan.

Mas Bian berdecak dengan rahang mengeras.

"Apa ucapanku kemarin tak cukup untuk meyakinkanmu kalau semuanya tidak seperti yang kau pikirkan?!" ucapnya geram.

"Kau menyukai dia, 'kan? Kau juga menginginkan dia? Jawab yang jujur, Mas, nggak usah ada yang ditutup-tutupi lagi! Kejadian kemarin cukup membuktikan semuanya! "

Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Tapi Mas Bian seperti tak terima ketika kupaksa dia untuk bicara jujur.

Sesulit itukah bicara dan mengakui semuanya?

"Bicara apa kau ini? Kau sadar Marin, gara-gara cemburu buta ucapanmu jadi ngawur kemana-mana!" kilahnya membuatku muak.

Berkali-kali pria yang masih mengenakan baju tidur itu berkilah meski sudah ketahuan. Dasar!

"Jawab saja, Mas. Jangan munafik! Itu akan lebih mudah untuk kita berdua. Tak perlu kamu menutup-nutupi sesuatu yang sudah jelas."

Kutarik piyama yang dikenakannya kemudian kudorong kasar. Sumpah rasanya muak ketika menghadapi seseorang yang kujadikan sandaran, selain tega berkhianat dia juga sulit untuk bicara jujur.

Mas Bian menepis tanganku kasar kemudian mencengkram bahu. Tatapannya yang tajam seolah ingin memakanku hidup-hidup.

"Ok, aku akan mengakui semuanya didepanmu, Marin. Apa aku salah kalau aku menyukai Sheila?! Apa aku salah jika jatuh cinta padanya! Aku sudah tak tahan lagi, dan aku menginginkanya juga. Dan jujur aku tak bisa menahan perasaanku untuk menyukainya. Apa kau puas sekarang?! Bukankah itu yang ingin kau dengar dari mulutku, hah?"

Mas Bian terus mengguncang bahuku kemudian membantingku ke sofa. Sakit.

Aku tergugu dengan kepala pusing. Aku yang limbung, jatuh mengenai ujung meja. Rasanya seperti ada yang membanting tepat di atas ubun-ubunku.

"Kau yang memintaku untuk jujur. Kau yang memintaku untuk mengatakan semuanya, 'kan?! Lalu kenapa kau merasa sakit, bukankah ini yang kau inginkan?! Kejujuran dari mulut suamimu sendiri?!"

Ya, sudah semakin jelas sekarang. Tapi ternyata mendengarnya langsung lebih menyakitkan daripada sekedar menduga-duga atau bertanya pada orang lain.

Tapi tak apa, bukankah kejujuran itu lebih baik daripada dibohongi terus-terusan tapi membuat rasa sakit yang berulang?

Mas Bian meninggalkanku dan lari ke kamar atas lalu membanting pintu. Tak bisa menahan emosi, kukejar pria itu kemudian mengeluarkan pakaiannya secara brutal dan memasukkannya ke dalam koper secepat yang kubisa.

"Apa yang kau lakukan, Marin? Kau mau mengusirku dari rumahku sendiri?!" Mas Bian menarik baju-bajunya yang kupegang kemudian menghamburkannya di lantai.

"Iya, aku tak bisa hidup satu atap denganmu, Mas. Jika kau menginginkan wanita itu, maka pilih saja dia dan tinggalkan aku, tinggalkan Richie dan rumah ini!!" teriakku nyaring. Tapi sepertinya Mas Bian tak terima.

"Heh, kau pikir sesederhana itu ingin mengusirku pergi?! Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Tempatku adalah di sini!" ujarnya penuh penekanan.

"Oke, kalau begitu aku saja yang pergi!!"

Aku berbalik hendak membuka lemari, tapi Mas Bian menarik tanganku dan membantingku ke atas tempat tidur.

Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, tapi kali ini dalam waktu beberapa menit saja, sudah dua kali dia melakukannya.

"Jangan main-main denganku, Marina! Kau tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Baik kau maupun aku, tidak akan ada yang meninggalkan rumah ini! Titik!!" ancamnya dengan sorot mata menakutkan.

"Kau egois, Mas! Kau sangat menjijikan. Kau menginginkan dia, tapi kau menginginkan aku tetap bertahan di rumah ini?! Tidak, aku tetap mau pergi!!"

Mas Bian naik ke atas perut, mengungkungku dan menekan bahu. Terlihat kilatan matanya yang penuh dengan amarah.

Untuk sesaat aku merinding melihatnya.

Tuhan, jaga aku dan … calon anakku.

"Memangnya kenapa?! Tidak ada yang akan merubah diantara kita kecuali perasaanku yang terbagi! Apa kau tak bisa mencerna kata-kataku dengan baik, Marin?!"

"Menjijikan! Kau benar-benar pria egois yang pernah aku temui. Lepaskan aku!!" jeritku tak tahan lagi.

"Ya, aku memang egois. Tapi kau lebih egois dariku, Marin. Apa kau tidak memikirkan pernikahan kita?! Apa kau tidak memikirkan hati Richie?! Bagaimana akhirnya jika dia hidup dan jauh dari papanya?! Sebaiknya kau menuruti perintahku dan tinggal di rumah. Kau dengar itu?!"

Aku terus memberontak ketika tanganku ditarik ke atas. Matanya memerah dengan nafsu amarah yang menggebu.

Mas Bian mendekatkan bibirnya di pipiku, tapi aku segera berpaling. Membayangkan hal kemarin saja membuatku jijik, bagaimana bisa dia melakukan hal itu di saat amarahnya masih meninggi.

Tanpa daya air mataku jatuh di pipi. Mas Bian berpaling setelah setelah aku terisak. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan berteriak. Suaranya yang keras membuatku lagi-lagi bergidik.

Pria egois itu menginginkan aku tetap tinggal di rumah. Tapi di sisi lain, dia menginginkan wanita itu juga. Heh, apa dia hendak menghancurkan hati dan perasaanku secara bersamaan?!

***

Sudah tiga hari berturut-turut Mas Bian tidak pulang ke rumah. Aku juga tak mencari tahu tentang kegiatannya pada Sony atau manajernya. Biarkan saja dia mengikuti hawa nafsunya. Kita lihat sampai dimana dia bisa bertahan.

Pintu yang dibuka tanpa mengetuknya terlebih dahulu membuatku berpaling. Senyum sumringah mama langsung menyambut kehadiranku.

"Mama, ngapain ada di sini?!"

"Loh kamu ini gimana sih, bukannya Bian udah ngomong, kalau kita pergi liburan pagi ini."

Deg.

Ada apa ini?

Benarkah apa yang mama katakan?

Pemilik surgaku yang tampak berpenampilan modis itu mencium pipi kanan dan kiriku. Aku masih tak merespon dan bingung dengan pernyataannya.

"Liburan? Pagi ini juga?" Mama mengangguk cepat.

"Iya, buruan siap-siap. Nanti telat."

'Liburan?' Sejak kapan kata itu terucap, bahkan sebelumnya tak ada planning ke arah sana, setidaknya sampai 6 bulan ke depan. Mas Bian sangat sibuk dengan syuting kejar tayang dan kami tidak pernah membicarakan hal ini.

"Ya ampun Marin, malah bengong. Ayo siap-siap. Kita cuma punya waktu 2 jam sampai ke bandara."

"Eh, iya, Ma. Tapi aku belum berkemas."

"Ish, kamu ini. Barang-barang kamu udah masuk ke bagasi semua. Kamu tinggal ganti baju, pakai make up dikit, udah berangkat. Lagian Richie kayaknya udah nggak sabar pengen cepat-cepat pergi tuh."

"Ap-apa, Ma? Richie juga …." Ucapan itu hanya menggantung di tenggorokan karena percuma juga bertanya pada Mama yang sepertinya tidak tahu apa-apa.

Tapi kenapa orang rumah juga tidak ada yang memberitahuku?

Mama mendekat, membingkai wajah kemudian tersenyum lembut.

"Marin, Mama sedih melihat kamu yang stres karena Bian sibuk kerja. Kamu juga jadi uring-uringan sama suamimu sendiri karena dia sering pulang pagi. Lalu sekarang saat dia menyuruh kita duluan pergi, kamu masih aja keberatan."

Aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh Mama, karena pasti Mas Bian mengadu hal-hal yang bohong kepada mamaku. Dia bahkan bisa bertindak sejauh ini untuk mengambil hati Mama.

Ya Tuhan, kenapa dengan pria itu? Bukannya menyelesaikan masalah, malah nyuruh kami pergi liburan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status