Share

Bab 4

Entah mengapa aku begitu puas melihat wajah keduanya. Terlebih Sheila yang berusaha meredam emosi melihatku tampak santai duduk di antara mereka.

Wanita itu bahkan tidak melanjutkan kembali makannya dan sesekali melirik ke arah Mas Bian.

Tapi kau lihat Sheila, bahkan suamiku tidak berbuat apa-apa untuk melepaskanmu dari situasi tidak menyenangkan ini.

Sampai makan siang itu berakhir, tak ada yang bersuara di antara kami. Mas Bian terburu-buru mengajakku pulang setelah secepat mungkin menghabiskan makanannya.

Sheila berdiri di pinggir jalan. Aku menggamit tangan suamiku sambil tersenyum padanya. Tak lupa mendekat ke arahnya untuk memberikan kunci mobil.

"Kamu boleh membawa mobil Sony, nanti aku suruh dia mengambilnya di tempatmu. Dan ya, setelah ini ruang gerakmu akan semakin terbatas untuk mendekati suamiku, Sheila," bisikku membuat wanita itu mendelik dan mundur satu langkah ke belakang.

Tak lupa, bibir ini mendarat begitu saja di pipi suamiku, membuat Mas Bian terhenyak.

Pria itu akhirnya mengajakku masuk ke dalam mobil, meninggalkan Sheila dengan tampang kesalnya.

***

Kami dalam perjalanan pulang sekarang. Sheila membawa mobil Sony sementara aku pulang bersama Mas Bian.

Sepanjang jalan pria itu memasang raut wajah dingin namun aku berusaha untuk bersikap santai. Mas Bian seperti kesal karena kebersamaannya dengan Sheila terganggu oleh kedatanganku.

"Seharusnya kamu tidak perlu melakukan hal itu, Marin. Malu-maluin aja. Kayak anak kecil tahu nggat."

"Lho memangnya apa yang aku lakukan, Mas? Kamu aneh-aneh aja deh kalau ngomong," kilahku pura-pura tak mengerti akan maksudnya.

"Ya, itu tadi. Ngapain kamu jauh-jauh ngejar aku sampai ke pinggiran ibukota pakai mobil Sony segala. Udah gitu, ngapain kamu terlihat jealous sama Sheila? Sampai nunjukin kemesraan pula."

Aku merebahkan kepala kesadaran kursi.

"Denger Mas, aku hanya ingin melindungi apa yang seharusnya kulindungi sebelum semuanya terlambat. Itu saja."

"Apa maksud ucapanmu itu? Jangan aneh-aneh deh. Aku dan Sheila itu tidak ada hubungan apa-apa. Kami itu murni hubungan kerja dan—"

"Dan kalian tidak akan pergi berdua saja di luar jam syuting tanpa alasan tertentu, 'kan?" tukasku cepat.

"Sudahlah, terserah apa yang kamu pikirkan!"

Ucapanku mampu membungkam mulut Mas Bian. Pria itu mendesah kemudian melajukan kendaraannya sampai ke rumah.

Richie langsung menyambut dan mengadu banyak hal kepada pria itu. Mereka lalu duduk di sofa dan bercerita tentang kegiatan dan kejadian yang dialaminya di sekolah.

Richie memang sangat dekat dengan papanya. Tak jarang anak itu akan rewel sepanjang malam jika belum bertemu dengan Mas Bian.

Aku tak dapat membayangkan andaikan Mas Bian ada affair dengan wanita itu, pasti akan hancur sekali hati Richie menerima kenyataan kalau hati papanya terbagi untuk wanita lain.

Ada yang menghangat dalam dada melihat kedekatan mereka dan semoga kebersamaan ini akan bertahan selamanya.

Aku tidak akan pernah membiarkan wanita itu mendekati Mas Bian di luar hubungan profesional mereka sebagai pemain dalam satu manajemen yang sama.

Lamunanku tersadarkan saat mendengar dering ponsel milik Mas Bian.

"Bentar sayang, Papa mau angkat telepon dulu, ya."

"Ok, Pa. Jangan lama-lama."

"Iya."

Mas Bian buru-buru menjauh setelah mendekatkan ponsel ke telinga.

Aku yang tengah membuat kopi menghentikan aktivitas dan mengikuti langkahnya ke halaman samping.

Jika itu telepon dari orang biasa, untuk apa dia repot-repot menjauhkan diri dari putranya, seakan-akan apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu hal yang sangat penting lebih dari apapun.

"Iya, Shei. Mas minta maaf atas apa yang terjadi tadi. Lain kali kita ketemu lagi kalau udah break, ok?"

"Iya, nanti atur jadwal yang pas."

….

"Nggak, tolong jangan malam ini. Aku nggak bisa ninggalin Richie."

Mas Bian menjawab sambil sesekali melirik ke arah belakang seperti takut ketahuan. Sudah pasti perempuan itu menghubungi dan merengek pada suamiku.

Dasar, perempuan gatal. Besar juga nyalinya mengadu banyak hal pada Mas Bian.

"Hmm … iya, iya … bye!"

Entah apa yang dikatakan oleh Sheila di ujung sana, tapi ketika priaku menutup sambungan telepon, senyum bahagia itu terukir begitu saja.

***

Mas Bian bicara dengan Sony yang datang malam harinya. Entah apa yang mereka obrolkan tapi sesekali Mas Bian melirik ke belakang.

Mungkin takut aku akan mendengar percakapan mereka. Padahal aku duduk di depan televisi, mengasuh Richie yang tengah menonton film kartun sambil menikmati makanan kesukaannya.

"Marin, ajak Richie tidur duluan, ya. Mas mau meeting sebentar di ruang kerja."

Pria itu berlalu sebelum mendengar jawaban dariku. Sepertinya ada beberapa hal yang Sony adukan padanya.

Tapi tak masalah, biar saja dia tahu semuanya. Termasuk jadwal dan rutinitasnya yang mulai sekarang harus kuketahui. Aku juga akan bicara pada Deni agar tak terlalu memberi mereka kesempatan untuk berduaan.

"Richie, ayo masuk kamar. Biar besok nggak kesiangan sekolahnya," ajakku pada bocah yang tiduran sambil sesekali tertawa itu.

"Ih, Mama, aku 'kan masih nonton film. Bentar lagi, ya?"

"Ya udah setengah jam lagi aja, ya."

Richie mengangguk dengan ekspresi polosnya yang membuatku tidak tega.

Aku pun menemani dia nonton sampai anak itu berkali-kali menguap dan mengajakku untuk pergi ke kamarnya.

***

"Marin, Sayang. Bangunlah!"

Aku mengerjapkan mata dan berusaha terjaga. Rupanya aku ikut tertidur saat menidurkan Richie tadi. Tahu-tahu Mas Bian membangunkan.

"Maaf, Mas. Aku ketiduran."

Mas Bian tak bicara. Dia langsung menggendongku kemudian membawanya ke kamar kami. Hal yang sangat jarang sekali dilakukan olehnya.

Lebih dari itu, priaku segera membuka seluruh pakaiannya hingga semuanya terlihat sempurna. Dia terlihat sudah on dan ingin segera melampiaskan hasratnya.

Aku yang belum melakukan pemanasan seakan dipaksa untuk berhubungan tanpa bisa menolak.

Berulang kali aku harus menahan rasa perih dan sakit akan kebringasan Mas Bian saat menunaikan hasratnya.

"Sheila….!" Mas Bian melenguh sempurna. Namun yang membuat perasaanku hancur adalah nama yang disebut di ujung pelepasannya.

Bugh!!

Buru-buru akan mendorong pria itu ke samping. Mas Bian tampak terhenyak dan terkejut melihat tingkahku yang mendorong secara brutal.

"Apa yang kamu lakukan, Marin? Haruskah kau bersikap seperti ini?"

"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Mas. Haruskah kau menyebut nama wanita sial4n itu saat kamu meniduriku. Jawab!!" bantahku mengatur nafas agar tidak emosi. Tapi rasanya otakku panas mendengar Mas Bian secara tidak sadar menyebut nama Sheila.

"Marin!!"

"Bisa-bisanya ya, kamu menyebut nama wanita lain saat tengah menggauli istrimu sendiri! Apa Mas tidak tahu kalau selain dosa, itu juga membuatku sakit hati, hah?"

Mas Bian mendengus kesal. Dia duduk kemudian menutupi separuh badannya dengan selimut. Dia memijat kepalanya yang seperti berat memikirkan sesuatu.

"Mas minta maaf, Marina. Mas nggak sengaja. Sumpah. Kemarilah!"

Mas Bian menarikku ke pelukannya tapi aku menepisnya kasar.

"Jangan sentuh aku selama hati dan pikiranmu terus memikirkan wanita yang haram bagimu itu, Mas. Aku tidak mau menahan sakit hati, terlebih jika kau tidak punya batasan untuk menahan diri agar tidak terus memikirkan wanita itu!" desisku sambil menjauh dan tidur memunggunginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status