Entah mengapa aku begitu puas melihat wajah keduanya. Terlebih Sheila yang berusaha meredam emosi melihatku tampak santai duduk di antara mereka.
Wanita itu bahkan tidak melanjutkan kembali makannya dan sesekali melirik ke arah Mas Bian.Tapi kau lihat Sheila, bahkan suamiku tidak berbuat apa-apa untuk melepaskanmu dari situasi tidak menyenangkan ini.Sampai makan siang itu berakhir, tak ada yang bersuara di antara kami. Mas Bian terburu-buru mengajakku pulang setelah secepat mungkin menghabiskan makanannya.Sheila berdiri di pinggir jalan. Aku menggamit tangan suamiku sambil tersenyum padanya. Tak lupa mendekat ke arahnya untuk memberikan kunci mobil."Kamu boleh membawa mobil Sony, nanti aku suruh dia mengambilnya di tempatmu. Dan ya, setelah ini ruang gerakmu akan semakin terbatas untuk mendekati suamiku, Sheila," bisikku membuat wanita itu mendelik dan mundur satu langkah ke belakang. Tak lupa, bibir ini mendarat begitu saja di pipi suamiku, membuat Mas Bian terhenyak.Pria itu akhirnya mengajakku masuk ke dalam mobil, meninggalkan Sheila dengan tampang kesalnya.***Kami dalam perjalanan pulang sekarang. Sheila membawa mobil Sony sementara aku pulang bersama Mas Bian.Sepanjang jalan pria itu memasang raut wajah dingin namun aku berusaha untuk bersikap santai. Mas Bian seperti kesal karena kebersamaannya dengan Sheila terganggu oleh kedatanganku."Seharusnya kamu tidak perlu melakukan hal itu, Marin. Malu-maluin aja. Kayak anak kecil tahu nggat.""Lho memangnya apa yang aku lakukan, Mas? Kamu aneh-aneh aja deh kalau ngomong," kilahku pura-pura tak mengerti akan maksudnya."Ya, itu tadi. Ngapain kamu jauh-jauh ngejar aku sampai ke pinggiran ibukota pakai mobil Sony segala. Udah gitu, ngapain kamu terlihat jealous sama Sheila? Sampai nunjukin kemesraan pula."Aku merebahkan kepala kesadaran kursi."Denger Mas, aku hanya ingin melindungi apa yang seharusnya kulindungi sebelum semuanya terlambat. Itu saja.""Apa maksud ucapanmu itu? Jangan aneh-aneh deh. Aku dan Sheila itu tidak ada hubungan apa-apa. Kami itu murni hubungan kerja dan—""Dan kalian tidak akan pergi berdua saja di luar jam syuting tanpa alasan tertentu, 'kan?" tukasku cepat."Sudahlah, terserah apa yang kamu pikirkan!"Ucapanku mampu membungkam mulut Mas Bian. Pria itu mendesah kemudian melajukan kendaraannya sampai ke rumah.Richie langsung menyambut dan mengadu banyak hal kepada pria itu. Mereka lalu duduk di sofa dan bercerita tentang kegiatan dan kejadian yang dialaminya di sekolah. Richie memang sangat dekat dengan papanya. Tak jarang anak itu akan rewel sepanjang malam jika belum bertemu dengan Mas Bian. Aku tak dapat membayangkan andaikan Mas Bian ada affair dengan wanita itu, pasti akan hancur sekali hati Richie menerima kenyataan kalau hati papanya terbagi untuk wanita lain.Ada yang menghangat dalam dada melihat kedekatan mereka dan semoga kebersamaan ini akan bertahan selamanya. Aku tidak akan pernah membiarkan wanita itu mendekati Mas Bian di luar hubungan profesional mereka sebagai pemain dalam satu manajemen yang sama.Lamunanku tersadarkan saat mendengar dering ponsel milik Mas Bian."Bentar sayang, Papa mau angkat telepon dulu, ya.""Ok, Pa. Jangan lama-lama.""Iya."Mas Bian buru-buru menjauh setelah mendekatkan ponsel ke telinga.Aku yang tengah membuat kopi menghentikan aktivitas dan mengikuti langkahnya ke halaman samping.Jika itu telepon dari orang biasa, untuk apa dia repot-repot menjauhkan diri dari putranya, seakan-akan apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu hal yang sangat penting lebih dari apapun.…"Iya, Shei. Mas minta maaf atas apa yang terjadi tadi. Lain kali kita ketemu lagi kalau udah break, ok?"…"Iya, nanti atur jadwal yang pas."…."Nggak, tolong jangan malam ini. Aku nggak bisa ninggalin Richie."Mas Bian menjawab sambil sesekali melirik ke arah belakang seperti takut ketahuan. Sudah pasti perempuan itu menghubungi dan merengek pada suamiku.Dasar, perempuan gatal. Besar juga nyalinya mengadu banyak hal pada Mas Bian. "Hmm … iya, iya … bye!"Entah apa yang dikatakan oleh Sheila di ujung sana, tapi ketika priaku menutup sambungan telepon, senyum bahagia itu terukir begitu saja.***Mas Bian bicara dengan Sony yang datang malam harinya. Entah apa yang mereka obrolkan tapi sesekali Mas Bian melirik ke belakang. Mungkin takut aku akan mendengar percakapan mereka. Padahal aku duduk di depan televisi, mengasuh Richie yang tengah menonton film kartun sambil menikmati makanan kesukaannya."Marin, ajak Richie tidur duluan, ya. Mas mau meeting sebentar di ruang kerja."Pria itu berlalu sebelum mendengar jawaban dariku. Sepertinya ada beberapa hal yang Sony adukan padanya. Tapi tak masalah, biar saja dia tahu semuanya. Termasuk jadwal dan rutinitasnya yang mulai sekarang harus kuketahui. Aku juga akan bicara pada Deni agar tak terlalu memberi mereka kesempatan untuk berduaan."Richie, ayo masuk kamar. Biar besok nggak kesiangan sekolahnya," ajakku pada bocah yang tiduran sambil sesekali tertawa itu."Ih, Mama, aku 'kan masih nonton film. Bentar lagi, ya?""Ya udah setengah jam lagi aja, ya." Richie mengangguk dengan ekspresi polosnya yang membuatku tidak tega. Aku pun menemani dia nonton sampai anak itu berkali-kali menguap dan mengajakku untuk pergi ke kamarnya.***"Marin, Sayang. Bangunlah!"Aku mengerjapkan mata dan berusaha terjaga. Rupanya aku ikut tertidur saat menidurkan Richie tadi. Tahu-tahu Mas Bian membangunkan."Maaf, Mas. Aku ketiduran."Mas Bian tak bicara. Dia langsung menggendongku kemudian membawanya ke kamar kami. Hal yang sangat jarang sekali dilakukan olehnya.Lebih dari itu, priaku segera membuka seluruh pakaiannya hingga semuanya terlihat sempurna. Dia terlihat sudah on dan ingin segera melampiaskan hasratnya.Aku yang belum melakukan pemanasan seakan dipaksa untuk berhubungan tanpa bisa menolak. Berulang kali aku harus menahan rasa perih dan sakit akan kebringasan Mas Bian saat menunaikan hasratnya."Sheila….!" Mas Bian melenguh sempurna. Namun yang membuat perasaanku hancur adalah nama yang disebut di ujung pelepasannya.Bugh!!Buru-buru akan mendorong pria itu ke samping. Mas Bian tampak terhenyak dan terkejut melihat tingkahku yang mendorong secara brutal."Apa yang kamu lakukan, Marin? Haruskah kau bersikap seperti ini?""Seharusnya aku yang bertanya padamu, Mas. Haruskah kau menyebut nama wanita sial4n itu saat kamu meniduriku. Jawab!!" bantahku mengatur nafas agar tidak emosi. Tapi rasanya otakku panas mendengar Mas Bian secara tidak sadar menyebut nama Sheila."Marin!!" "Bisa-bisanya ya, kamu menyebut nama wanita lain saat tengah menggauli istrimu sendiri! Apa Mas tidak tahu kalau selain dosa, itu juga membuatku sakit hati, hah?"Mas Bian mendengus kesal. Dia duduk kemudian menutupi separuh badannya dengan selimut. Dia memijat kepalanya yang seperti berat memikirkan sesuatu."Mas minta maaf, Marina. Mas nggak sengaja. Sumpah. Kemarilah!"Mas Bian menarikku ke pelukannya tapi aku menepisnya kasar."Jangan sentuh aku selama hati dan pikiranmu terus memikirkan wanita yang haram bagimu itu, Mas. Aku tidak mau menahan sakit hati, terlebih jika kau tidak punya batasan untuk menahan diri agar tidak terus memikirkan wanita itu!" desisku sambil menjauh dan tidur memunggunginya.Sampai keesokan paginya, tidak ada yang bersuara di antara kami. Dan tidak seperti biasanya, Mas Bian juga tidak sibuk bermain ponsel saat kami menikmati sarapan bertiga. Kuharap dia merasa bersalah atas kejadian tadi malam, yang sialnya sampai sekarang kejadian itu terasa menghujam jantungku.Jika pikirannya ada di sini dan tidak terganggu dengan wanita itu, sekilas dia seperti seorang suami yang bertanggung jawab dan perhatian, terutama pada Richie. "Marin," panggilnya datar."Ya?" Seakan sadar dari lamunan, aku menjawab cepat. "Mas minta maaf untuk urusan semalam. Tolong jangan diambil hati, ya. Mas benar-benar tak sadar." Mas Bian meriah jari-jariku dan meremasnya pelan. Aku tersenyum tipis menanggapinya."Jauhkan dia dari pikiranmu, Mas. Jangan lupa, peranmu sebagai suami dari wanita itu cukup dalam sinetron saja, jangan dibawa-bawa ke rumah tangga kita. Itu beda, ingat itu baik-baik," tekanku dengan suara lirih. Jangan sampai Richie mendengar percakapan orang dewasa. It
"Marin?!" Mas Bian dan wanita sial4n itu melepaskan pagutannya begitu menyadari kehadiranku. Buru-buru pria itu mendorong wanitanya dan mendekat ke arahku yang mematung dengan mata sudah berkaca-kaca.Kulihat Sheila tersenyum puas melihat ke arahku. Sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami berdua."Bereskan urusan kalian berdua, Mas," ujar wanita itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Rasanya tanganku panas ingin menempelengnya saja."Marin, ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang."Plakk!!Tamparan keras kulayangkan pada pipinya membuat pria itu berpaling. Tak tahan rasanya melihatnya masih membela diri setelah ketahuan."Beginikah kelakuanmu saat tak ada orang lain, atau jangan-jangan mereka yang ada di lokasi syuting juga tahu kedekatanmu dengan wanita jal4ng itu?!""Bukan begitu, Marina. Aku bisa menjelaskan semuanya," jawabnya cepat tapi tak dapat menyembunyikan raut wajah gelisahnya. "Memangnya apalagi yang perlu kudengar, Mas? Apa?! Dan sejak kapan kamu begitu dekat dengan
Dengan cepat Mas Bian mengambil ponselku dan meremasnya kasar."Kau memata-matai aku lewat Sony?!"Aku berdiri agar bisa menghadapinya, hingga tatapan tajam kami beradu."Aku hanya butuh kepastian dari orang lain, selain suamiku yang terus mengelak meski sudah ketahuan," sarkasku padanya. Biar saja dia tahu kalau aku tak tahan dibohongi terus-terusan.Mas Bian berdecak dengan rahang mengeras."Apa ucapanku kemarin tak cukup untuk meyakinkanmu kalau semuanya tidak seperti yang kau pikirkan?!" ucapnya geram."Kau menyukai dia, 'kan? Kau juga menginginkan dia? Jawab yang jujur, Mas, nggak usah ada yang ditutup-tutupi lagi! Kejadian kemarin cukup membuktikan semuanya! " Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga. Tapi Mas Bian seperti tak terima ketika kupaksa dia untuk bicara jujur.Sesulit itukah bicara dan mengakui semuanya?"Bicara apa kau ini? Kau sadar Marin, gara-gara cemburu buta ucapanmu jadi ngawur kemana-mana!" kilahnya membuatku muak. Berkali-kali pria yang masih meng
Burung besi yang membawaku ke luar negeri tak membuat perasaanku lebih baik. Dua belas jam perjalanan kuhabiskan dengan merenung dalam diam. Memikirkan maksud dan tindakan Mas Bian melakukan hal ini padaku, yang pasti alasannya tanpa sepengetahuan Mama. Begitu polosnya Mama hingga tak menyadari sudah dibohongi.Apakah dia ingin menjauhkan aku agar tak mengganggu hubungannya dengan wanita itu? Atau memberi ruang agar aku berpikir jernih dan memaafkan dia. Entah.Satu hal yang pasti, ini bukan bentuk rasa bersalahnya terhadapku. Dan Apapun itu, dia berhasil mengelabui Mama. Mama dan Richie lebih banyak berceloteh, bahkan setelah sampai ke hotel. Keceriaan keduanya membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Menyimpan masalahku dengan pria itu."Marin, sejak tadi kamu diem aja. Kenapa, kamu sakit?" Mama yang masuk ke dalam kamar menyentuh bahu. Aku terkesiap sambil memasang senyum tipis."Eh, iya, Ma. Marin hanya lelah aja kok.""Mau Mama bantu untuk membereskan barang-barangmu
Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku.Tanpa pikir panjang semuanya kutolak.Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban.Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung."Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi."Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini."Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ib
"Ma, aku mau ke lantai bawah sebentar untuk bertemu dengan seorang teman," ucapku saat menghampiri Mama."Mau ketemu siapa?"Ragu-ragu aku menjawab karena mama pasti akan keberatan mendengarnya."Erick, Ma."Mama yang tengah rebahan bersama dengan Richie yang terlelap di sampingnya, sontak terduduk dan menatapku dengan sorot serius."Erick ada di sini?" Aku mengangguk pelan."Marin, apa tidak sebaiknya kamu menghindari pria itu. Perbincangan suamimu saja masih panas-panasnya di negara kita, Mama takut kalau kamu menemui orang itu, malah akan menambah gosip baru. Kamu tahu 'kan jaman sekarang mata-mata ada di mana-mana?"Aku tersenyum dan menyampirkan tas di pundak. Tentu saja yang mama maksud adalah orang-orang yang ikut rombongan kami liburan. Mereka pasti akan mengadukan semuanya kepada suamiku. Tapi ah, bodo amat. Itu tidak penting sekarang."Mama nggak usah khawatir, kita berada di luar negeri, bukan berada di Bali atau Jakarta. Lagian orang-orang itu hanya akan mengadu pada su
Dua hari kemudian, Papa menelponku lagi lewat ponsel mama. Bedanya kali ini Papa lebih murka dari sebelumnya, yang menyuruhku untuk memikirkan dan merundingkan semuanya. Kali ini papa juga tambah marah karena aku ketahuan bertemu dengan pria yang amat sangat dibencinya."Apalagi kali ini, Pa?! Kalau Papa memintaku untuk merundingkan semuanya, maka maaf, aku nggak bisa, Pa. Tolong mengertilah keadaanku." Bukan tanpa alasan aku bicara demikian. Sebelumnya Pak Anto juga menghubungi kalau pengajuan perceraian ini tidak bisa dilanjut tanpa persetujuan papaku."Ok, Papa terima kalau kamu ingin mengakhiri semuanya dengan Bian karena kamu sakit hati. Tapi, tidak bisakah kamu menahan diri untuk tidak bertemu sementara waktu dengan pria sial4n itu?! Kamu tahu 'kan, kalau gosip suamimu saja masih memanas. Jadi jangan sampai orang-orang mengira kalau kau juga ikut berselingkuh bersama dengan bajing4n itu!" Suara Papa yang menggeram membuatku terdiam sejenak. Kebencian Papa pada Erick meman
Aku melangkah cepat diiringi pengawalan yang ketat. Para pemburu berita yang masih penasaran dan ingin menelisik lebih lanjut itu, terus mengejar bahkan menghalangi laju mobil ketika kami ingin pergi. Richie juga sempat menjerit karena terhimpit beberapa orang.Pintu kaca terus-terusan di ketuk membuatku tak tahan dan membukanya sedikit, mendengarkan orang-orang itu yang mendekatkan mikrofon agar aku kembali bersuara."Terakhir Bu, tolong terakhir jawab. Apa langkah Bu Marina selanjutnya? Apakah akan memaafkan Pak Bian atau malah memilih bercerai? Kami dengar selentingan kabar kalau seorang pengacara menemui papa Anda di kantornya?""Kita lihat itu nanti, ya, terima kasih."Mereka yang kecewa segera menjauh dan memberi jalan.Mobil pun melaju membelah kerumunan dengan kecepatan sedang. Sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak memberi informasi kepada orang asing yang tentunya akan semakin membesar-besarkan masalah. Meski ya, tindakanku juga tidak bisa dibenarkan.Sampai ke rumah