"Jangan khawatir, papa. Kami akan sering berkunjung bersama anak-anak. Tidak ada lagi yang akan mengganggu kami." Angeline kemudian menunduk melihat Rafael, "Say good bye sama grandpa." "Good bye, grandpa," ucap Rafael yang tidak mengerti kenapa kakeknya berada dalam lubang di dinding. Angeline kemudian menggerakkan tangan Olivia dan berbisik, "Good bye, grandpa." Nathan merangkul Angeline, "Saatnya kembali." Mike menoleh, "Ya, benar. Kita sudah cukup lama di sini. Cherry pasti sudah bosan menunggu sendirian di hotel. Hanya sangat disayangkan kejadian kemarin membuat Vera shock sampai dia memutuskan untuk pergi sebelum menjemput abu papa." "Itu haknya. Lagipula dia belum menjadi istri papa, 'kan?" Angeline menunduk. "Setidaknya dia bisa bertahan satu hari lagi untuk menunjukkan itikad baik." Mike mencibir. Angeline tidak berkomentar karena tidak ingin berpihak. Terdengar bunyi dering handphone. Mike meminta maaf dan menepi untuk menerima panggilan t
Malam gemerlap di Macau. Layaknya sebuah kota yang disebut Las Vegas-nya Asia, gedung-gedung yang ada tampil bercahaya bak kunang-kunang. Sayang Angeline tidak ingin menikmati keindahan dunia malam Macau karena baru saja kehilangan seorang ayah. Nathan yang penuh perhatian menghitung sudah berapa kali Angeline menghela nafas sejak tadi sore. Dia memanggil room service untuk membereskan piring-piring makan malam mereka. Tidak lama berselang meja pun bersih dari segala peralatan makan. Kini pasangan itu menemani kedua anak mereka bermain sampai waktunya tidur malam. Ketika suasana kembali hening tanpa celoteh anak kecil dan bayi, Nathan memandangi istrinya yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Dia beringsut merapat ke sebelah Angeline. "Hey, Baby Girl. You can cry now," ucap Nathan lembut. Angeline tertegun, "But, why?" "Bukankah pelaku kecelakaan Gabriel sudah mendapat ganjaran? Kamu tidak perlu menahannya lagi." "Iya yah?" Wanita
Tidak sering sepasang mata yang biasanya menyorot dingin itu menatap lembut. Ya, memang tidak semua wanita beruntung bisa melihat sikap yang berbeda dari Jonathan. Namun, wanita ini tidak tenang ditatap sedemikian rupa. Sengaja sekali Samantha menepuk rusuk kiri Jonathan. "Ugh, aku akan pura-pura tidak tahu kalau kamu sengaja melakukannya." Jonathan meringis kesakitan. "Oh, sorry. Kena cederamu ya?" Samantha mengulum senyum. "Sammy, kalau aku tidak cedera kamu tidak akan bisa berjalan besok pagi." Lelaki itu menyeringai. Samantha terkesiap, "Uhm ... sepertinya semua luka lecetmu sudah kubersihkan. Aku simpan ini dulu." "Kenapa terburu-buru?" Secepat elang tangan Jonathan menyambar lengan wanita itu, menahannya untuk tetap duduk di tepi tempat tidur. "Kata dokter jangan banyak bergerak, nanti tulang retak sulit sembuh," keluh Samantha. "Aku tidak akan bergerak, Sammy. Kamulah yang akan bergerak." Mata si wanita membulat, "Ya sudah, aku ke kamar mandi
"Hei, pelan sedikit, Sam. Jangan lupa aku ini pasien." Jonathan menggenggam tangan kekasihnya kuat-kuat agar memperlambat langkah. Samantha menoleh dengan tatapan mengejek, "Pasien apanya? Sudah lupa semalam kamu melakukan apa dan berapa lama?" "Kamu yang menyuruhku minum obat pereda nyeri," sahut Jonathan tidak mau kalah. "Oh, begitu ya? Awas kamu nanti malam," cetus Samantha keki. Lelaki itu tersenyum geli. Dengan satu tarikan kuat tubuh Samantha berada dalam pelukannya. Tatapan mata mereka bertemu, membuat wanita itu terdiam oleh sorotnya yang lembut. "Kamu mengancamku?" ucap Jonathan. Bibir Samantha terbuka dan mengucap lirih, "Tidak." Sudut-sudut bibir si lelaki terangkat membentuk senyuman, "Kamu kuberi ijin untuk melakukannya, Sammy. Hanya kamu." Saat Samantha mengira mereka akan berciuman di tengah jalan, Jonathan melepasnya. Dia sedikit kecewa. "Kirain mau lanjut," gerutunya. "Apa?" Jonathan menunduk agar dapat mendengar lebih jelas
Angeline terlompat kaget, tangannya mendekap mulut agar tidak bersuara. Nathan yang duduk di sebelah sang istri cepat melompat ke arah bayangan manusia yang muncul dari pintu belakang rumah. Bayangan yang berperawakan hampir sama dengan Nathan tersebut menghindari sergapan. Angeline menyalakan lampu menerangi seisi rumah. "Brengsek!! Mau apa kau masuk seperti pencuri??" Nathan mendorong bayangan yang ternyata adalah Jonathan dengan kesal. "Hei, telingamu yang tuli. Kami sudah membunyikan bel dan mengetuk pintu berkali-kali, tapi suara film yang kau tonton terlalu keras," balas Jonathan. "Manusia mana yang bertamu larut malam seperti ini??" Nathan melirik ke arah Samantha yang mengintip dari balik pintu, "Membawa wanita sampai larut malam?? Kau benar-benar ...." "Salahkan cuaca buruk yang membuat penerbangan kami tertunda lama. Kalau tidak kami sudah tiba di sini tadi sore," sahut Jonathan. Angeline berdeham, "Kalian tidak punya tempat bermalam?" Jonathan te
"Dan kenapa kau dengan berkata seperti itu?" tanya Nathan serius. "Aku tidak mau mengulangi kesalahan masa lalu." Nathan tahu maksud Jonathan, yaitu kematian istrinya yang mengenaskan di tangan Tuan Besar Mei. "Selalu ada musuh yang bersembunyi dalam kegelapan menungguku lengah dan menganggap dunia sudah damai. Mereka pikir aku tidak akan tahu." Lelaki itu tersenyum. "Kalau kau tahu langsung saja ambil tindakan. Kenapa harus menunggu?" "Untuk itulah aku perlu orang yang bisa kupercaya. Aku dapat bertindak lebih tenang jika Sam ada bersama kalian." Nathan menatap serius, "Kau kira ini tempat penitipan anak? Sepertinya khusus untukmu aku harus men-charge biaya penitipan dan lain-lain." Jonathan menyeringai. Dia tahu meskipun suka mengejek, tapi Nathan dapat diandalkan, "Of course. Just say the number." "Sialan. Kau tidak akan sanggup membayarnya." "Atau begini saja, kalau kau sedang kesulitan aku akan melakukan hal yang sama terhadap Angeline."
Menjelang siang sebuah mobil SUV mewah melaju membawa Angeline, Samantha, dan Olivia menuju sekolah Rafael. "Aku senang Jonathan menitipkanmu di rumah. Ternyata sesekali aku butuh menghabiskan waktu dengan sesama wanita." Angeline tersenyum lebar. "Ah, ya. Bagus." Samantha tidak tahu harus senang atau sedih terhadap kenyataan tersebut. "Jangan sedih. Dia tidak akan melupakanmu. Mungkin ada banyak hal yang harus dia hadapi." Angeline memahami kegalauan wanita di sebelahnya. "Hmm ... mungkin." Samantha berusaha mengesampingkan kelesuan hatinya karena sedang memangku Olivia. Bayi dan anak kecil biasanya peka terhadap suasana hati orang lain. Mobil berhenti di depan sekolah. Angeline mengintip keluar jendela. Tampaknya anak-anak kelas sekolah dasar belum bubar. "Aku bisa minta Nathan menghubunginya kalau kamu mau," usul Angeline. "Tidak usah. Baru satu minggu kok. Mungkin dia memang sedang disibukkan oleh banyak hal," kata Samantha cepat-cepat. "Are you
"Nathan, siapa penculiknya??" Sedari siang Angeline membuntuti sang suami yang sepertinya merahasiakan sesuatu. "Hal itu tidak perlu dipikirkan, Baby Girl. Pikirkan saja aku." Seulas senyum manis menghiasi wajah tampan Nathan. Ekspresi tanpa dosa tersebut tidak membuat rasa penasaran Angeline mereda. Dia malah semakin ingin tahu kenapa Nathan santai saja kala terjadi penculikan di bawah hidungnya. Atau lelaki itu bergerak diam-diam karena tidak ingin membuat sekeluarga khawatir? Karena sebal Angeline mengulurkan tangan untuk mencubit Nathan. Sayang, kali ini gerakannya berhasil dihentikan. "No, stop doing it, Baby Girl," pinta Nathan. Gregetan, Angeline menggunakan tangan yang bebas untuk meneruskan usahanya mencubit lelaki itu. Namun, lagi-lagi berhasil dihentikan. "Istriku sedang bersemangat rupanya?" Nathan menyeringai. Dia memiliki gagasan lain di dalam kepala. "Apa??" Angeline berusaha menarik kedua tangannya yang berada dalam genggaman Nathan, tap