"Ini meeting terpagi yang pernah terjadi. Biasanya mereka akan mengadakannya menjelang jam makan siang di restoran atau hotel berbintang." Nathan memperhatikan Angeline yang membantunya mengancingkan manset. "Mungkin untuk perubahan suasana?" Selesai dengan manset, Angeline mengitari Nathan untuk melihat apakah kemejanya rapi. "Ya, tentu saja. Kurang mewah apa lagi suasana meeting di tepi laut? Jika mereka mengumumkan akan ada sesi berenang bersama, kita pulang," sinis Nathan. Angeline tertawa, "Kenapa? Akan ada pemandangan indah, bukan? Wanita-wanita berbikini?" Nathan menatap tidak percaya, "Astaga, Angel, satu-satunya wanita berbikini yang ingin kulihat adalah kamu." "Dalam mimpi." Angeline mengulum senyum. "Kurasa siang nanti kita bisa meninggalkan meeting dan pergi ke pulau." "Apa? Jangan! Kamu tidak boleh memberi kesan buruk, terutama terhadap orang-orang pemerintahan yang hadir," cetus Angeline. "Kita pergi saat jam makan siang. Tidak ada yan
"Apa?? Nathan tidak ada?? Ke mana dia??" Sonya terlihat emosi. "Kemungkinan ke luar kota, Bu. Kalau Pak Nathan kembali saya akan beri tahu ada yang mencari. Nama Ibu siapa?" Cindy menjawab dengan profesional. Wajah Sonya begitu keruh seperti kucing tercebur ke selokan. Dia tidak percaya sekretaris ini tidak tahu keberadaan Nathan! "Katakan ke mana dia pergi dan aku akan memberi tips besar," kata Sonya. "Saya tidak dapat memberitahukan keberadaan Pak Nathan pada orang tak dikenal, Bu." Cindy menahan senyum. "Aku bukan orang tak dikenal! Aku calon tunangan Nathan! Brengsek! Kalau tidak mau bicara kuseret kamu ke—" Dering telepon memotong perkataan Sonya. Tanpa peduli Cindy menerima panggilan tersebut. "Ya, halo?" "Usir wanita gila itu. Suruh security menyeretnya pergi," titah Nathan yang mengamati semua dari monitor CCTV. "Baik, Pak." "Siapa itu? Nathan??" sambar Sonya. Cindy terkejut. Dia tidak menyangka wanita berpenampilan anggun ini ak
Angeline hanya terbengong saat motor Nathan melaju melewati gedung apartemennya. Dia menepuk-nepuk punggung Nathan tapi diabaikan. Ya sudahlah, pasrah saja terhadap penculikan mendadak ini. Ternyata mereka langsung ke kantor. Untung Angeline berpakaian rapi. Motor sport Nathan langsung melaju ke tempat parkir khususnya di basement. Dengan wajah serius lelaki itu menggandeng Angeline masuk ke lift eksklusif. "Kok seperti melarikan diri dari debt collector?" cetus Angeline. Nathan menoleh, "Kenapa bilang begitu?" "Habisnya serba terburu-buru. Aku kan jadi curiga." Angeline mengerucutkan bibir. Nathan tersenyum geli. Wanitanya memang peka. Melihat Nathan tidak menanggapi, pikiran Angeline berjalan sendiri. Apa mungkin lelaki itu kecewa karena dia belum juga dapat memutuskan langkah berikutnya? Apakah ketakutannya mulai membuat Nathan bosan? Bagaimanapun juga dia adalah lelaki yang terbiasa berhubungan dengan wanita, akan ada saatnya di mana Nathan tidak tahan
Seumur hidupnya yang telah mencapai lima puluh lima tahun ini belum pernah sekali pun jari-jari tangan Jeremy tremor karena melihat sesuatu yang mengejutkan. Dengan telunjuk bergetar lelaki paruh baya itu menggeser satu per satu foto-foto yang dikirim ke handphonenya. "Sialan! Perempuan bodoh! Huh!" Jeremy memaki handphone malang itu. Kenapa Jeremy begitu marah? Karena tiap foto yang dilihat menampilkan sepasang manusia bernama Alardo dan Sonya yang berwajah bahagia dan minim pakaian. Ekspresi wanita itu mengatakan bahwa dia sudah melupakan tujuan utamanya mengincar Nathan. "Brengsek! Begitu mudahnya kau tergoda lelaki lain. Cih!" Jeremy membanting handphonenya di meja. Urat di pelipisnya berkedut karena emosi. Hari masih pagi, tapi suasana hati Jeremy sudah porak-poranda oleh kenyataan. Rencana yang dianggap bagus tidak dapat dipakai lagi. Jeremy bersandar di kursi kebesarannya dengan mata terpejam. Dia menduga-duga Nathan memiliki andil dalam perkara ini. "An
Angeline mengernyit saat Nathan mengompres pipinya yang bengkak dengan kantong es. Setelah penyelamatan yang dramatis Nathan membawa Angeline ke penthouse. Dia tidak mau ambil resiko terjadi hal serupa. "Siapa sih mereka?" tanya Angeline. "Akan kuselidiki." "Untung dompet dan handphone tidak apa-apa." Angeline mengambil alih kantong es dari tangan Nathan. Setelah ketegangan berlalu barulah sekujur tubuhnya terasa pegal-pegal. "Kamu sudah makan? Belum? Kupesankan makanan, setelah itu istirahat." Terlihat jelas sisa-sisa emosi di wajah Nathan. "Belum ... Lapar ...." Angeline menatap sedih. Nathan tersenyum tipis. Tangannya mengacak-acak rambut si wanita, "Tunggu sebentar." Tidak lama berselang makanan mereka tiba. Nathan turun ke lantai empat puluh untuk mengambilnya dari security. Aroma lezat membuat cacing-cacing perut Angeline melakukan pemberontakan. Wanita itu malu sekali karena perutnya berbunyi sangat keras. Untung Nathan tidak menggodanya. Sam
Seharian Nathan berada di penthouse menemani Angeline, padahal wanita itu sudah bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Bengkak di wajahnya sudah lenyap, yang tinggal hanyalah otot-otot tubuh yang nyeri. Namun, bukan Nathan namanya kalau mudah mengalah. Dia bekerja dengan laptop di counter agar dapat melihat ke segala arah tanpa penghalang. Alhasil Angeline lebih banyak bersembunyi dalam kamar Nathan. Tunggu, sekarang kamar ini diserahkan padanya, berarti bukan kamar Nathan lagi, tapi kamar Angeline. Tadi pagi-pagi sekali Nathan telah menyuruh orang mengangkut semua pakaian Angeline dari apartemen. Semua dimuat dalam tiga koper besar. Nathan membantu memilah dan menyingkirkan pakaian yang tidak berkenan. Sekarang sambil mengomel panjang lebar Angeline menggantung pakaian yang tersisa di lemari. "Brengsek!" Terdengar suara Nathan memaki. Angeline menajamkan telinga. Apa yang terjadi? Apakah ada transaksi yang tidak berhasil? Atau jangan-jangan ada vendor yang mendadak
Semua orang terpaku, saling menatap tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Nathan sudah mendorong Rico masuk ke ruangan sebelum adik tirinya melarikan diri. Tangannya juga tidak melepas tangan Angeline agar pacarnya tidak melarikan diri. "Wah, tidak biasanya kalian bertiga berkumpul bersama. Boleh kami bergabung?" Nathan tersenyum jahat. Lily melirik Jeremy, matanya menyorotkan keberatan yang teramat sangat. "Oh, tentu saja, silakan. Kita semua satu keluarga, bukan?" Jeremy turut tersenyum. Dalam hati dia memaki-maki putra sulungnya sebagai anak yang kurang ajar dan tidak bisa melihat orang lain senang. "Silakan duduk, Nathan dan ... siapa nama pacarmu? Andini?" Lily ikut bicara. Jelas sekali dia tidak suka pasangan muda yang seenaknya menerobos masuk ke ruangan mereka. Nathan melontarkan tatapan setajam belati. Nada bicaranya begitu dingin hingga membuat pendengarnya menggigil, "Orang luar tidak perlu ikut bicara." Lily tersentak. Tangannya meraih lengan Jer
Pagi-pagi sekali Angeline sudah bangun dan menyibukkan diri di ruang olahraga. Suara pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendera samsak, membuat Nathan yang tidur di sofa terbangun. Tubuh yang pegal membuatnya berpikir tidur di sofa adalah gagasan buruk. Mungkin dia bisa membujuk Angeline agar dibiarkan tidur di tempat tidur? Tanpa suara Nathan melangkah ke ruang olahraga. Dilihatnya Angeline bergerak lincah memukul dan menghindari ayunan samsak. Dia mengagumi lekuk tubuhnya yang terbentuk bagus karena latihan fisik. Pemandangan indah ditambah membanjirnya jumlah hormon di pagi hari membuat Nathan bergegas ke kamar mandi sebelum naluri mengambil alih. Angeline menoleh heran karena merasa mendengar suara langkah kaki, "Siapa tuh? Ah, pakai nanya lagi ... Memangnya ada berapa orang yang tinggal di sini ...?" Setelah tendangan terakhir yang dilakukan sekuat tenaga Angeline menyudahi aktivitasnya. Dia ke dapur mengambil segelas air dan meneguknya sampai habis. Tepat saat it