Seumur hidupnya yang telah mencapai lima puluh lima tahun ini belum pernah sekali pun jari-jari tangan Jeremy tremor karena melihat sesuatu yang mengejutkan. Dengan telunjuk bergetar lelaki paruh baya itu menggeser satu per satu foto-foto yang dikirim ke handphonenya. "Sialan! Perempuan bodoh! Huh!" Jeremy memaki handphone malang itu. Kenapa Jeremy begitu marah? Karena tiap foto yang dilihat menampilkan sepasang manusia bernama Alardo dan Sonya yang berwajah bahagia dan minim pakaian. Ekspresi wanita itu mengatakan bahwa dia sudah melupakan tujuan utamanya mengincar Nathan. "Brengsek! Begitu mudahnya kau tergoda lelaki lain. Cih!" Jeremy membanting handphonenya di meja. Urat di pelipisnya berkedut karena emosi. Hari masih pagi, tapi suasana hati Jeremy sudah porak-poranda oleh kenyataan. Rencana yang dianggap bagus tidak dapat dipakai lagi. Jeremy bersandar di kursi kebesarannya dengan mata terpejam. Dia menduga-duga Nathan memiliki andil dalam perkara ini. "An
Angeline mengernyit saat Nathan mengompres pipinya yang bengkak dengan kantong es. Setelah penyelamatan yang dramatis Nathan membawa Angeline ke penthouse. Dia tidak mau ambil resiko terjadi hal serupa. "Siapa sih mereka?" tanya Angeline. "Akan kuselidiki." "Untung dompet dan handphone tidak apa-apa." Angeline mengambil alih kantong es dari tangan Nathan. Setelah ketegangan berlalu barulah sekujur tubuhnya terasa pegal-pegal. "Kamu sudah makan? Belum? Kupesankan makanan, setelah itu istirahat." Terlihat jelas sisa-sisa emosi di wajah Nathan. "Belum ... Lapar ...." Angeline menatap sedih. Nathan tersenyum tipis. Tangannya mengacak-acak rambut si wanita, "Tunggu sebentar." Tidak lama berselang makanan mereka tiba. Nathan turun ke lantai empat puluh untuk mengambilnya dari security. Aroma lezat membuat cacing-cacing perut Angeline melakukan pemberontakan. Wanita itu malu sekali karena perutnya berbunyi sangat keras. Untung Nathan tidak menggodanya. Sam
Seharian Nathan berada di penthouse menemani Angeline, padahal wanita itu sudah bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Bengkak di wajahnya sudah lenyap, yang tinggal hanyalah otot-otot tubuh yang nyeri. Namun, bukan Nathan namanya kalau mudah mengalah. Dia bekerja dengan laptop di counter agar dapat melihat ke segala arah tanpa penghalang. Alhasil Angeline lebih banyak bersembunyi dalam kamar Nathan. Tunggu, sekarang kamar ini diserahkan padanya, berarti bukan kamar Nathan lagi, tapi kamar Angeline. Tadi pagi-pagi sekali Nathan telah menyuruh orang mengangkut semua pakaian Angeline dari apartemen. Semua dimuat dalam tiga koper besar. Nathan membantu memilah dan menyingkirkan pakaian yang tidak berkenan. Sekarang sambil mengomel panjang lebar Angeline menggantung pakaian yang tersisa di lemari. "Brengsek!" Terdengar suara Nathan memaki. Angeline menajamkan telinga. Apa yang terjadi? Apakah ada transaksi yang tidak berhasil? Atau jangan-jangan ada vendor yang mendadak
Semua orang terpaku, saling menatap tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Nathan sudah mendorong Rico masuk ke ruangan sebelum adik tirinya melarikan diri. Tangannya juga tidak melepas tangan Angeline agar pacarnya tidak melarikan diri. "Wah, tidak biasanya kalian bertiga berkumpul bersama. Boleh kami bergabung?" Nathan tersenyum jahat. Lily melirik Jeremy, matanya menyorotkan keberatan yang teramat sangat. "Oh, tentu saja, silakan. Kita semua satu keluarga, bukan?" Jeremy turut tersenyum. Dalam hati dia memaki-maki putra sulungnya sebagai anak yang kurang ajar dan tidak bisa melihat orang lain senang. "Silakan duduk, Nathan dan ... siapa nama pacarmu? Andini?" Lily ikut bicara. Jelas sekali dia tidak suka pasangan muda yang seenaknya menerobos masuk ke ruangan mereka. Nathan melontarkan tatapan setajam belati. Nada bicaranya begitu dingin hingga membuat pendengarnya menggigil, "Orang luar tidak perlu ikut bicara." Lily tersentak. Tangannya meraih lengan Jer
Pagi-pagi sekali Angeline sudah bangun dan menyibukkan diri di ruang olahraga. Suara pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendera samsak, membuat Nathan yang tidur di sofa terbangun. Tubuh yang pegal membuatnya berpikir tidur di sofa adalah gagasan buruk. Mungkin dia bisa membujuk Angeline agar dibiarkan tidur di tempat tidur? Tanpa suara Nathan melangkah ke ruang olahraga. Dilihatnya Angeline bergerak lincah memukul dan menghindari ayunan samsak. Dia mengagumi lekuk tubuhnya yang terbentuk bagus karena latihan fisik. Pemandangan indah ditambah membanjirnya jumlah hormon di pagi hari membuat Nathan bergegas ke kamar mandi sebelum naluri mengambil alih. Angeline menoleh heran karena merasa mendengar suara langkah kaki, "Siapa tuh? Ah, pakai nanya lagi ... Memangnya ada berapa orang yang tinggal di sini ...?" Setelah tendangan terakhir yang dilakukan sekuat tenaga Angeline menyudahi aktivitasnya. Dia ke dapur mengambil segelas air dan meneguknya sampai habis. Tepat saat it
"Sorry Cin, aku nggak bisa belikan roti manis itu lagi. Aku pindah tempat tinggal." Angeline meringis. "Oh, nggak apa-apa. Pindah ke mana? Kontrakan yang lebih terjangkau atau lebih dekat?" tanya Cindy. "Emm ... Iya, dekat sih." Angeline menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dekat, dekat banget? Jangan-jangan kamu pindah ke atas?" goda Cindy. "Enngg ... nggak, kok?" Mata Cindy membulat, "Benaran??" "Nggak." Cindy tertawa kecil, "Dari mukamu terlihat jelas. Oke, aku nggak akan bocorin ke siapa-siapa. Hati-hati, jangan MBA, married by accident." "Nggak seperti itu." Angeline mendekap wajah. "Terus gimana?" goda Cindy. "Kami nggak tidur bersama," lirihnya. Mata Cindy membulat, "Oh ya?? Kok bisa? Pak Nathan kan ... emm ... kamu mengerti lah ya." "Aku sudah menolak sejak awal dan dia menyanggupi untuk nggak melakukannya sebelum menikah." "Wow, aku nggak nyangka. Kupikir kalian sudah ... Wah, bos benar-benar sayang sama kamu. Hebat An
Angeline melalui acara puncak launching seperti robot. Hatinya terasa kebas karena melihat Cassie tidak juga pergi. Wanita itu bahkan senantiasa melempar senyum menggoda ke arah Nathan. Kalau bukan jengkel entah apa namanya? "Nath, aku ke toilet sebentar ...," bisik Angeline. "Oke. Jangan lama-lama, nanti aku menyusul." "Tidak boleh ...!" Nathan sempat-sempatnya mengecup pipi Angeline sebelum wanita itu beranjak pergi. Akibatnya semua mata memandang kagum, ini benar-benar pacar Bos Besar! Lelah dan kesal. Itulah dua perasaan dominan dalam diri Angeline. Dengan kedua tangan bertumpu di wastafel Angeline menatap wajahnya di cermin. Sebagai wanita dia saja mengakui kalau Cassie sangat cantik. Oh ya, juga seksi. Angeline menatap bagian depan tubuhnya. Tidak kecil sih, tapi yang pasti tidak sebesar milik wanita berambut merah itu. "Dasar brengsek ... Perusak suasana," gerutu Angeline. Seperti mimpi buruk jadi kenyataan pintu toilet terbuka dan Cassie masuk k
"Aaaaaaahhhh! Aku butuh cuti!!" seru Angeline sambil menepuk meja. Nathan menoleh heran, "Cuti?" "Ini sudah berapa hari lembur melulu. Aku penat! Otakku jenuh! Butuh cuti!" Angeline merosot di kursinya. Lelaki itu geleng-geleng kepala dan kembali mengetik sesuatu di laptop. Melihat pacarnya mengabaikan, Angeline merengut. Dia semakin merosot di kursi sampai akhirnya lenyap dari pandangan. Nathan melirik sekilas. "Angel, behave," goda Nathan. Sepasang mata Angeline muncul di tepi meja. Persis buaya yang sedang mengintai mangsa dari dalam air. Tingkah ajaib Angeline membuat Nathan tidak tahan untuk tidak melihat, "What are you doing, Baby Girl?" "Berikan aku cuti," tukas wanita itu. "Memangnya kamu mau ke mana? Cuti pun kita akan tetap bertemu, kan?" Nathan tersenyum tipis. Angeline kembali duduk manis di kursi, "Entahlah. Jalan-jalan, mungkin? Yang pasti tidak di kantor untuk lembur." "Hmm ... Belum satu minggu sejak launching brand baru dan