Sabtu pagi dokter memutuskan bahwa Angeline sudah boleh pulang. Flek yang terjadi tidak membahayakan kandungan, sudah berkurang banyak setelah mengkonsumsi obat penguat kandungan dan istirahat total selama dua malam. Betapa bahagianya Angeline dan Nathan mengetahui krisis telah berlalu. "Oh, by the way apa yang terjadi dengan dua orang yang mencoba menculikku? Mereka masih ...." Angeline bertanya dengan hati-hati. "Jangan khawatir, mereka masih hidup. Aku tidak sekejam itu, Baby Girl. Aku sudah bukan ... maksudku, hidup harus berubah," ujar Nathan yang sedari mereka meninggalkan rumah sakit tidak mau membiarkan Angeline turun dari pangkuannya. "Syukurlah. Memangnya kamu apakan sih?" "Hanya memberi sedikit pelajaran." "Ukuran sedikitmu seperti apa?" Nathan mengecup kening si wanita dan berkata, "You don't want to know." Angeline pun tidak bertanya lebih banyak lagi. Memang benar, Nathan tidak berbuat lebih dari mematahkan tangan atau kaki. Bahkan Ros
Kebosanan maksimal membuat Angeline mencari channel tanpa tujuan. Matanya menatap layar televisi LED empat puluh inci yang dipasang Nathan di dinding kamar sejak bulan lalu. Sesekali dia melirik ke lelaki yang duduk memangku laptop di sebelahnya. "Sedang apa, Nath?" tanya Angeline. "Mencari rekomendasi perumahan yang bagus, aman dan tidak terlalu jauh dari sini untuk ayah mertuaku," jawab Nathan. "Oh, akhirnya papa mau juga?" Angeline bersandar sepenuhnya pada Nathan agar dapat melihat layar laptop. "Tidak menyangka, kan? Aku masih ahli membujuk orang. Jika dia akan sering berkunjung memang lebih baik memiliki properti sendiri, daripada menyewa apartemen selama beberapa minggu." Nathan mengecup dahi Angeline. "Setuju. Aku juga bisa berkunjung kalau sedang bosan," ujar Angeline. "Kita berdua," koreksi Nathan. Angeline tertawa, "Oke, kita berdua." "Butuh waktu satu bulan untuk membuat papamu mau membeli properti di Jakarta. Mungkin akan butuh waktu se
Tengah malam di penthouse ... "Nathan!! Nath, bangun!!" "Ugh ... what? Ada apa?" Nathan memicingkan matanya yang silau terkena cahaya lampu. "Aku pecah ketuban!!" Wajah Angeline menggambarkan kepanikan luar biasa. Dia cemas dengan keadaan bayi dalam kandungan. Lelaki yang mengantuk itu seketika menjadi segar bugar, "Shit! Mendadak??" "Kita harus segera ke rumah sakit!" Setelah berpakaian seadanya dan menyambar tas perlengkapan persalinan yang untungnya sudah dipersiapkan sejak minggu lalu, Nathan membopong Angeline turun ke basement. Dalam perjalanan Angeline menelepon Gabriel yang—lagi-lagi untungnya—sedang berada di Jakarta. Tiba di rumah sakit Angeline segera dibawa ke bangsal persalinan. Pemeriksaan menyeluruh dilakukan oleh para perawat berpengalaman. Nathan mendampingi sepanjang pemeriksaan dan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan perawat. "Maaf, Pak, ada ayahnya Ibu Angeline baru datang dan mau masuk melihat keadaan. Tapi tidak boleh ada d
"Nath, tolong gendong Rafa sebentar. Aku mau ke kamar mandi." Angeline menyerahkan bayinya kepada sang suami yang sedang memperhatikan laptop. "Kemari." Nathan segera mengambil Rafael dari tangan Angeline. Wanita itu pun segera berlari ke kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alam yang dia tahan sejak lima menit lalu. Dengan Rafael di lengannya, Nathan berjalan perlahan ke jendela. Sepasang mata bulat bayi berusia tiga bulan itu menatap ayahnya penuh rasa ingin tahu. Tangan kecilnya menggapai dan menyentuh wajah Nathan. "Cepat besar ... Papa sudah bosan sparring dengan mamamu," gumam Nathan. Seolah memahami perkataan Nathan si bayi mengeluarkan suara tawa yang menggemaskan. "Ugh, lega sekali." Angeline keluar dari kamar mandi. Nathan menoleh sekilas kemudian kembali memperhatikan bayi dalam gendongan. Angeline menghampiri kedua lelaki yang dicintainya. "Aku tidak keberatan kalau kamu mau gendong dia lebih lama." Angeline tersenyum. Dia bergelayut
Tengah malam ketika semua makhluk di muka bumi sudah terlelap ... Kegelisahan menyergap Angeline. Kedua tangannya mencengkeram sprei, pikirannya dipenuhi berbagai hal negatif. Kepalanya tertunduk menatap kedua ujung kaki yang menggantung dari tepi tempat tidur. Dia memandangi bayi mungil yang tidur nyenyak di boks bayi tanpa perasaan sedikit pun. "Maafkan Mama, Nak ...," bisiknya teramat pelan sampai nyaris tak terdengar. Setitik air mata jatuh di wajah Angeline, disusul titik-titik berikutnya. Rasa lelah yang teramat sangat berpadu dengan ketidakberdayaan membawa wanita itu pada perasaan gagal menjadi ibu yang baik. Angeline mendekap mulut agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengusik Nathan maupun Rafael. Perasaan ini biarlah dia sendiri yang menanggung. Jika Nathan tahu ... Ah, jangan sampai Nathan tahu. Lelaki itu sudah memiliki banyak beban di pundaknya. Mendengar suara gumaman Nathan, Angeline cepat-cepat mengusap air mata. Hati-hati sekali dia menyusu
"Mereka pasti telah menerima undangan." "Ya, Tuan Besar. Menurut pelacakan, undangan sudah sampai di tangan Nathaniel Wayne." Seorang lelaki tua berambut putih keperakan terkekeh, "Sayang sekali anak haram itu harus disingkirkan. Kalau tidak karena hubungan mereka, kita dapat menarik pemuda itu ke pihak kita. Dia bukan orang sembarangan." "Ya, Tuan Besar. Riwayat hidupnya sangat menarik," ucap si bawahan setia yang bernama Gerard. Tuan Besar Mei melirik bawahannya, "Di mana Gabriel sekarang?" "Beliau di Jakarta, Tuan." "Jakarta? Aku jadi ingin tahu apa yang menarik di kota itu." Tuan Besar Mei tersenyum. Otaknya menyusun beberapa rencana. Bawahan yang setia hanya berdiri diam. Sesuai kebiasaan, Tuan Besar pasti akan menitahkan sesuatu yang harus dikerjakan seketika ini juga. "Pestaku masih satu bulan lagi. Kurasa cukup waktu untuk bermain ke Jakarta, bukan begitu? Ada baiknya melihat langsung orang dan situasi." "Ya, Tuan Besar," sahut Gerard.
Sekelompok orang berjalan keluar dari gerbang kedatangan internasional di bandara. Sekitar selusin lelaki bertubuh kekar mengelilingi seorang lelaki tua berambut putih keperakan. Kelompok itu menarik perhatian semua orang terutama karena mereka memasang raut wajah seperti maju ke medan perang. "Inikah Jakarta? Panas sekali," cetus Tuan Besar Mei. Tangannya mengetukkan tongkat besi berkepala naga ke lantai. "Ya, Tuan. Karena kota ini terletak dekat garis khatulistiwa maka meskipun masih pagi iklimnya lebih panas dibanding Macau," kata Gerard dengan ketenangan seorang guru sekolah. "Hmm ... dan keponakan bodohku memilih tinggal di sini? Tidak masuk akal." Tuan Besar Mei terkekeh. Gerard tidak menyahut karena itu adalah sebuah ejekan terhadap Gabriel yang tidak perlu ditanggapi. Sebagai bawahan dia tidak layak ikut campur dalam pertikaian internal keluarga Mei. Baru saja rombongan Tuan Besar Mei mendekat ke mobil penjemput, kelompok lain berjalan ke arah mereka da
Omelan Angeline terngiang di kepala Nathan. Dalam hati dia mengeluh, kenapa wanita itu harus menyumpahi 'adik kecil'-nya? Kenapa tidak hal lain yang lebih tidak vital? Seperti kehilangan rambut misalnya? Sesekali diliriknya Angeline yang sedang bermain dengan Rafael di teras. Wanita itu sengaja memunggunginya. "Jangan lupakan aku, Baby Girl," ucap Nathan dengan raut wajah sedih. Angeline melirik galak, "Siapa kamu?" "Baru beberapa menit dan kamu sudah melupakanku? Sepertinya aku harus lebih sering mengingatkanmu dengan—" "Nathan! Omonganmu bisa direkam oleh alam bawah sadar Rafa loh!" protes Angeline sambil menutup telinga si bayi. Lelaki itu tersenyum geli, "Tidak mungkin. Aku belum pernah dengar hal seperti itu." "Aku sebal sama kamu. Puasa satu bulan deh." Angeline melengos. "No way, Baby Girl. Kamu mau menyiksaku?" "Kamu bisa puasa tiga bulan selama aku hamil muda, 'kan? Anggap saja sama." Nathan berkeluh-kesah. Pikirannya melimpahkan kesala