Suara tawa dan rengekan Rafael adalah satu-satunya hal yang mewarnai keheningan di ruang tengah rumah Gabriel. Meskipun hatinya tengah diwarnai kegelisahan, sebisa mungkin Angeline tetap meladeni si bayi bermain. Baginya kegembiraan Rafael adalah prioritas yang tidak dapat diganggu gugat. "Tak terhindarkan. Cepat atau lambat, pada suatu hari kalian pasti akan bertemu dengannya." Gabriel menyesap teh herbal yang disajikan oleh juru masak. "Aku tahu. Tadi pagi lelaki tua itu meneleponku," ujar Nathan. Gabriel menatap lawan bicaranya, "Dia bergerak cepat." "Apakah tujuannya murni menginginkan Angeline? Aku merasa dia memiliki maksud tersembunyi." Diam sejenak sebelum Gabriel membalas, "Nathan, kamu lebih paham cara kerja orang-orang dunia hitam. Menurutmu apa yang dia incar?" Nathan mengernyit, "Aku." Gabriel tersenyum, "Dan apa kelemahanmu?" Nathan memandangi Angeline yang duduk di sofa. "Dia melakukan hal yang sama terhadapku dan cukup berhasil.
"Nathan, sudah ya?" rajuk Angeline. "Belum, Sayang." Nathan tersenyum jahat. "Ugh ... aku tidak kuat lagi. Berhenti dong. Please?" Wanita itu memohon. "Tidak. Kamu masih bisa bicara, berarti masih bisa bertahan. Sedikit lagi, Baby Girl." "Pinggangku bisa patah nih," rengek Angeline. Sebutir keringat mengalir di pelipis. "Tahan, sedikit lagi." Angeline mengerang keras saat Nathan melepasnya. Segera saja wanita itu menjatuhkan diri ke lantai. Tubuhnya basah oleh keringat karena latihan fisik yang melelahkan bersama Nathan. "Gila. Tanganku mati rasa!" Angeline mengepalkan kedua tangannya. Lemas sekali karena dipaksa bergelantungan di pull-up bar selama lima menit. Rafael yang duduk aman di stroller tertawa melihat interaksi ayah dan ibunya. "Latihan tadi bagus untuk memperkuat tangan. Besok kita ulangi—" "Tidak mau! Aku tidak perlu tangan yang kuat untuk ... eh, ... lupakan saja." Angeline menunduk memandangi telapak tangannya yang memerah, sek
Suara tawa Rafael memenuhi ruangan Presiden Direktur. Seorang wanita paruh baya sedang bercanda dengan bayi kecil itu, terkadang menggelitiknya sampai tertawa terpingkal-pingkal. Seluruh interaksi yang terjadi berada dalam pengamatan Nathan dan Angeline. "Bagaimana?" tanya Nathan. "Dia bagus. Rafa juga kelihatan nyaman dengannya." Angeline mengerucutkan bibir. Dia sedikit cemburu melihat putranya tertawa dalam pelukan orang lain. Nathan menangkap ekspresi aneh tersebut dan berkata, "Kita pertimbangkan dulu. Aku akan suruh dia pulang." Angeline mengangguk setuju. Beberapa waktu kemudian ruangan kembali sepi. Rafael telah kembali berada dalam gendongan Angeline. Bayi itu menyusu dengan mata terpejam, tampaknya lelah karena terlalu banyak tertawa. Angeline bersenandung lembut yang membuat Rafael semakin lelap. Sementara itu Nathan sedang melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dua calon asisten rumah tangga yang baru saja diwawancara. Kelihatannya tidak ada
"Anak Mama mau berenang? Enak ya, airnya hangat." Angeline menatap Rafael yang sedang dia mandikan dengan penuh cinta. Bayi itu menjawab dengan celoteh riang. Kedua kakinya menendang-nendang air sampai terpercik kemana-mana. Angeline tertawa. Dia tidak peduli bajunya basah oleh ulah Rafael. "Kulihat kamu yang lebih menikmati main air," celetuk Nathan yang baru melangkah keluar dari shower. Titik-titik air menetes dari rambutnya. "Nathan! Pakai handuk!" Angeline melotot. Lelaki itu terkekeh, "Tidak ada orang lain di sini, Baby Girl. Kamu masih bisa malu-malu?" "Memangnya Rafa bukan orang?" Angeline melirik sembunyi-sembunyi. Ya, memang, terkadang dia masih malu-malu jika melihat tubuh polos suaminya. "Airnya masih hangat? Jangan terlalu lama, nanti masuk angin." Nathan mencelupkan tangan ke dalam air mandi Rafael. Masih hangat. "Iya, Papa. Kamu pakai baju gih sana. Nanti Bu Yanti datang loh." "Kamu berharap dia masuk ke kamar?" "Tidak!" "Kala
"Kakak! Rasanya sudah lama tidak bertemu," seru Mike yang langsung memeluk dan mencium pipi Angeline. Angeline tertawa, "Padahal baru dua minggu lalu kamu kemari. Mendadak amnesia?" "Oh, Kakak tega. Masa adik yang manis ini dibilang amnesia?" rajuk Mike. Nathan berdeham. Mike cepat-cepat melepas pelukannya dan beralih pada si kakak ipar yang menyeramkan, "Kakak Ipar. Apa kabarmu?" "Hei, tidak usah berlebihan." Nathan mencegah Mike yang hendak memeluknya juga. "Kakak Ipar masih dingin seperti biasa. Mana keponakanku? Rafael, sini Paman gendong." Mike mengulurkan tangan pada Rafael yang ada di tangan Nathan. Bisa ditebak tangannya ditepis. "Cuci dulu tanganmu," ketus Nathan. "Baiklah." Dengan kepala tertunduk Mike mencuci tangan di wastafel. Angeline memukul lengan Nathan, "Kamu galak banget sih?" "Masih dalam taraf wajar." Nathan tersenyum. Gabriel yang sedari tadi sibuk dengan pikiran sendiri menghampiri pasangan yang sedang berdebat itu
Karena Gabriel dan Mike berada di mobil yang berbeda, mereka tidak melihat keadaan Angeline yang goyah karena emosi. Hanya Nathan yang menyaksikan kedua tangan wanita itu gemetar. Dia memeluk erat istrinya untuk menenangkan. "Kenapa hal buruk tidak juga berakhir? Bukankah seharusnya kita bisa menikmati hari-hari bahagia bertiga?" Angeline melontarkan pertanyaan yang menuntut. "Tidak usah cemas, Baby Girl. Tidak akan kubiarkan orang-orang itu mengganggu kebahagiaan kita. Aku pernah menghadapi yang lebih buruk." Nathan mengecup kening Angeline. Mereka berdua memperhatikan Rafael yang asyik menatap pemandangan di luar jendela. Diam-diam Angeline iri pada bayi kecil ini, begitu bahagia tanpa beban pikiran apa pun. "Nathan ... aku lelah." Angeline menyandarkan kepala di bahu kokoh Nathan dan menghela nafas panjang. "Aku selalu ada untukmu dan Rafael." Sepanjang perjalanan mereka berdua tidak bicara lagi, hanya saling meresapi kehangatan pasangannya. Dengan m
"Maaf ya Bu, tapi suami keberatan kalau ada orang luar yang masuk kemari. Soalnya ini bisa dibilang area pribadi kami. Kalau Bu Yanti 'kan kami sudah kenal lebih baik." Angeline tersenyum dengan harapan semoga wanita paruh baya itu mengerti. "Oh, tidak apa-apa, Nyonya. Saya maklum kok. Anak Ibu cuma penasaran, soalnya seumur-umur belum pernah masuk ke apartemen mewah," sahut Bu Yanti. Angeline mengangguk, "Aku mengerti, Bu." "Ngomong-ngomong hari ini Nyonya makan siang di luar?" tanya Bu Yanti kemudian. "Mungkin. Kenapa?" Angeline menangkap tangan Rafael yang menarik rambutnya. Dia sedang malas menyanggul rambut dan sebagai akibatnya rambut tersebut menjadi sasaran penarikan si bayi. "Saya mau ijin pulang cepat, mau temani anak saya ke rental komputer untuk print surat lamaran kerja. Soalnya selama dia tidak kerja saya yang pegang keuangan." "Oh, iya, boleh Bu. Nanti aku kasih tahu suami juga biar dia tidak kaget Bu Yanti hilang mendadak." "Baik. Terima
Angeline menatap curiga pada lelaki yang duduk di hadapannya. Penampilan yang cukup mengesankan. Kancing kemeja yang dipakai di dalam jaket kulit terbuka hingga dada, memperlihatkan tato yang mengintip dari tubuh lelaki itu. Rambutnya diikat ekor kuda. Kontras dengan penampilannya, Jonathan bersikap ramah terhadap semua orang, termasuk dua pengawal pribadi. Namun, Angeline tahu, semakin lawan bersikap baik, semakin dia berbahaya. "Ceritakan tentang dirimu, Angel. Kapan dan bagaimana kamu bertemu Gabriel? Apakah dia langsung mengenalimu sebagai putrinya?" tanya Jonathan. "Tanya sendiri padanya. Bukankah kalian saudara sepupu?" cetus Angeline. Jonathan mengangkat alis, "Salahkah aku mencari topik obrolan?" Angeline mengerucutkan bibir, "Kalau mau ngobrol lebih baik bicarakan apa rencanamu terhadap kami." Senyum yang selalu tampak di wajah Jonathan melebar. Dia tidak salah mengagumi wanita pemberani ini. Sudah lama dia tidak menemukan wanita yang berani melawan ba