Meskipun berada di tengah kesibukan pengambilan kembali aset perusahaan dan pembersihan pengikut yang tidak setia, Gabriel menyempatkan diri untuk melihat keadaan Angeline akibat cerita Mike yang kelewat bersemangat. Dia merasa putrinya akan mengalami kelelahan dengan tidak ada lagi asisten rumah tangga. Kini semua orang duduk santai di sofa ruang tamu penthouse, membuat tempat itu semakin ramai. Mike bercanda dengan Rafael sementara yang lainnya mengobrol. Gabriel membawa Gloria, wanita yang bekerja sebagai juru masak di rumahnya. Wanita itu sudah berusia enam puluh dengan wajah yang serius. Rambut kelabunya selalu diikat erat dalam sanggul ketat agar tidak mengganggu pergerakan. "Gloria bisa membantumu, Sayang. Seperti yang kamu tahu dia pandai memasak, juga punya banyak anak dan cucu sehingga keahliannya merawat bayi tidak diragukan lagi," tutur Gabriel. "Papa, kamu seperti marketing yayasan penyedia babysitter," goda Angeline. Mike mendekap mulut menahan tawa.
Suara kecipak air berpadu dengan suara tawa ceria terdengar dari bagian belakang sebuah rumah besar yang terlihat asri karena banyak tanaman hias dan rerumputan hijau di sudut-sudut tertentu. Bagi orang yang pernah berkunjung ke rumah tersebut tahu ada basement bagi dua mobil mewah dan dua motor sport. Seorang anak kecil berusia kurang lebih dua tahun yang baru saja diangkat ke pinggir kolam berlari ke arah deretan kursi malas di bawah kanopi. "Papa!" seru anak itu seraya melompat ke perut ayahnya. "Ugh, anak Papa berat sekali! Kamu sudah tambah besar!" Dengan hanya memakai celana pendek, tato yang menghiasi dada dan lengan kiri Nathan terlihat jelas. "Hei, mana? Katanya mau ikut berenang? Dasar curang!" Angeline—dengan pakaian renang two pieces berwarna hitam—menghampiri Nathan. "Oh, iya kah? Aku lupa." Nathan menyeringai. Matanya mengagumi sosok cantik Angeline yang terlihat seksi dengan rambut basah. Angeline melempar handuk ke pangkuan lelaki itu dan me
Semuanya sudah selesai makan siang dan Gabriel kembali ke rumahnya sendiri untuk mengurus masalah pekerjaan, sedangkan Nathan dan Jonathan duduk di ruang tamu. Kedua lelaki itu terlihat mengobrol dengan santai, padahal ... "Jasmine berkata dia ingin mencarimu." "Apa?" Nathan mengernyit. "Dia berkata seperti itu pada hari aku menyelesaikan urusanku. Mungkin selama ini dia sedang membayangkan menjalani hidup bahagia bersamamu." Nathan menekan pelipis, "Akan kutangani dia jika benar-benar muncul di sini." "Penggemarmu memang tidak ada yang normal. Bagaimana Angeline menyikapinya?" Jonathan melayangkan pandangan ke ruang makan, tempat Angeline dan Mike bergantian menyuapi Rafael makan. "Dia percaya padaku," ketus Nathan. "Sial. Beruntung sekali kau bisa mengenal wanita sepertinya. Terkadang aku berpikir, sayang sekali bukan aku yang terlebih dahulu menemukan Angeline." "Cari wanita lain yang masih lajang, Brengsek. Jangan sentuh, bahkan jangan berani me
"Untuk apa kau di sini?" ketus Nathan. "Aku berjaga seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan, Kakak Ipar." Mike tersenyum lebar. Jelas sekali dia sudah mempersiapkan segala sesuatu agar dapat menonton dengan nyaman. Bahkan tidak lupa membawa sekantong makanan kecil. "Huh, terserah! Tapi jangan dekat-dekat!" Nathan melilit tangannya dengan sabuk tipis. "Tahu akan ada penonton aku berpakaian lebih baik," cetus Jonathan dengan senyum khasnya. Dia juga melakukan hal sama seperti Nathan. Mike meringis, "Kalau bukan karena kakak menyuruhku, aku tidak akan kemari." Nathan menoleh, "Angel tahu?" "Aduh Kakak Ipar, tadi siang kalian berdua mengobrol dengan suara normal. Tentu saja kami mendengarnya. Kakak tidak tega mencegah saja," ujar Mike. "Dia juga tidak sampai hati menonton. Wanita yang baik," ucap Jonathan. "Diam kau!" "Hei, sekarang berbicara pun tidak boleh?" "Berlaku khusus untukmu!" Mike menatap dua lelaki di hadapannya bergantian se
"Aku heran kenapa kalian ikut," ketus Nathan yang sedang menyetir. Dia tidak henti-hentinya melihat kaca spion untuk mengawasi dua penumpang yang duduk belakang. "Kakak Ipar, aku berguna untuk membantu menjaga Rafa." Demikian pembelaan Mike. Jonathan hanya tersenyum—yang dalam pandangan Nathan terlihat mengesalkan. "Seharusnya kita ajak papa sekalian biar makin seru." Angeline menekan pelipis. Untung Rafael yang duduk di pangkuannya asyik memperhatikan jalan jadi tidak menambah keramaian. "Ya, kenapa tidak? Aku bisa mengobrol lebih santai dengannya daripada harus melihat wajah Nathan yang tidak enak dipandang," cetus Jonathan. Nathan menatap dari kaca spion, "Satu kata lagi kuturunkan kau di sini." "Tidak masalah. Aku selalu bisa menemukan jalan kembali ke rumahmu." "Persis anjing pelacak," ejek Nathan. Dering handphone membuyarkan percakapan yang telah mengarah kepada perdebatan. Sedikit susah payah Angeline mengeluarkan handphone dari tas selempan
Ombak kecil menyapu pantai dengan lembut. Jonathan memperhatikan Nathan dan Rafael yang bermain air. Sorot matanya mengandung kerinduan sekaligus rasa sakit yang dalam. Jerit tawa Rafael membangkitkan kenangannya akan masa lalu. Aneh memang, dahulu dia berpikir dengan membalas dendam hatinya akan merasa damai. Ternyata tidak. Duka itu tidak serta-merta lenyap. Perlahan matanya terpejam. Aroma laut dan suara-suara anak kecil menghidupkan kenangan akan istri dan anaknya yang telah tiada. Bagi orang sepertinya yang meniti jalan kegelapan memang tidak mudah membiarkan siapa pun mendekat. Namun, saat hatinya telah terbuka bagi seseorang, akan sangat sulit untuk melupakan. "Mau kembali atau tinggal?" tanya Nathan. Jonathan membuka mata, "Kalian kembalilah. Aku akan tinggal sebentar." "Bye, Uncle." Rafael melambaikan tangan. Jonathan membalas lambaian anak kecil itu. Kemudian tanpa berkata apa pun Nathan membawa Rafael kembali ke cafe. Anak kecil itu tidak lagi ra
Lama Angeline duduk diam setelah Nathan menceritakan semua tentang masa lalunya yang kelam. Rumah besar ini ramai oleh tawa dan celoteh Rafael yang bermain dengan Gloria, tapi semua itu seolah berada di dimensi lain pendengaran Angeline. Nathan pun duduk tak bersuara di sebelah istrinya sambil berusaha menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. "Sudah malam. Aku tidurkan Rafa dulu." Angeline beranjak dari sofa. Nathan menangkap tangan si wanita dan berucap, "Baby Girl, beri tahu aku apa yang kamu pikirkan." Angeline menatap asing, "Setelah menidurkan Rafa." Tidak dapat mencegah lagi, Nathan melepas Angeline. Pandangannya mengikuti sosok wanita itu berjalan ke arah Rafael dan Gloria. Seperti dugaan Nathan, mengungkapkan masa lalu tidaklah sulit. Hal yang tersulit adalah menghadapi reaksi Angeline. Lelaki itu pun bersandar pasrah di sofa, berpikir seandainya dia bisa mengubur masa lalu itu selamanya. Namun, di satu sisi dia menyadari, relasi antara dirinya da
Emosi menguasai Jasmine sehingga jari-jarinya gemetar saat mencari nomor handphone Nathan. Dia menekan tombol hijau dan dengan penuh harap menanti kekasihnya menjawab panggilan tersebut. Keresahan mewarnai wajah Jasmine karena nada tunggu berakhir tanpa hasil. Tidak menyerah, wanita itu kembali menelepon. Satu kali, dua kali, sampai belasan kali. Suara high heels beradu dengan lantai marmer menjadi musik pengiring kegelisahannya. Jasmine berjalan mondar-mandir di lobby gedung Wayne Group, memutuskan untuk menunggu sampai Nathan kembali dari meeting. Kehadirannya menjadi daya tarik bagi lawan jenis terutama karena pakaian yang seksi. Jasmine mengabaikan semua tatapan itu. Hatinya setia kepada sang kekasih. "Come on ... where are you, Nathan ...?" desis Jasmine ketika nada tunggu berikutnya berakhir. Hampir menjelang siang ketika wanita itu melihat sosok yang didambakan berjalan masuk dari pintu utama. Matanya menyorotkan kekaguman melihat semua orang bersikap hormat ter