"Untung tidak masalah bagi Oliv untuk berpergian dengan pesawat. Tidak perlu menunggu sampai dua atau tiga bulan ke depan." Angeline memandangi Olivia yang sedang minum ASI dari botol menjelang pendaratan. "Betul sekali. Rafael juga senang bisa naik pesawat. Ya, 'kan?" Nathan mengacak-acak rambut putranya. "Hmph! Papa! Tidak mau!" protes Rafael. "Papa jahil ih," timpal Angeline. "Sorry, Papa rapikan lagi rambutnya." Sambil terkekeh Nathan menyisiri rambut Rafael sebisanya. Anak kecil itu merengut semaksimal mungkin. Dia memang paling keki kalau Nathan menjahilinya. Gloria yang duduk tepat di belakang keluarga kecil ini tidak banyak berkomentar. Dia memanfaatkan waktu untuk istirahat. "Kulihat kalian bukan seperti papa dan anak, tapi seperti dua bersaudara yang sedang bertengkar," celetuk Angeline. Nathan tertawa, "Yah, mungkin ini efek samping sebagai anak tunggal." Angeline menoleh, "Rico tetap tidak masuk hitungan ya?" "Dia hanya adik tiri."
Akhir minggu tiba. Semua orang datang ke restoran hotel bintang lima milik Golden Yue Group untuk makan malam bersama. "Well, sepertinya ini hari membawa pasangan masing-masing," ujar Nathan. Angeline mengerucutkan bibir melihat Gabriel datang bersama seorang wanita yang terlihat jauh lebih muda, bahkan mungkin hanya berusia beberapa tahun di atas Nathan. Cantik dan penampilannya cuek sih, tapi kenapa harus memilih yang sangat muda? "Aku tidak perlu kamu untuk memperkeruh keadaan, Boy," balas Gabriel. "Hai semuanya. Perkenalkan, aku Veronica. Panggil saja Vera." Wanita berambut pendek sebahu itu menyapa semua orang dengan keramahan yang tidak dibuat-buat. "Hai, Vera. Duduklah di sini." Ruby melambai. Vera pun duduk di sebelah Ruby, sementara Gabriel duduk di sebelahnya. "Pantas saja Papa mengundang kami ke hotel. Rupanya mau memperkenalkan seseorang." Angeline tersenyum manis. Kemanisan yang menyembunyikan sindiran. Nathan mengenali kesinisan tersel
Ternyata Angeline terjaga sepanjang malam. Otaknya terus memikirkan pacar baru Gabriel, mengkhawatirkan apakah wanita itu benar-benar tulus atau tidak. Memandangi wajah Nathan yang terlelap dia berpikir, mungkin ada baiknya minta si suami menyelidiki latar belakang Vera. Namun, pada akhirnya, setelah bergulat selama beberapa waktu dengan pikirannya sendiri, Angeline memutuskan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. Gabriel bukan orang bodoh. Dia pasti telah terlebih dulu melakukan penyelidikan. Angeline menghela nafas. Dia memarahi otaknya yang terus bekerja. Dalam usahanya untuk bisa tidur, dia menyusup masuk ke dalam lengan Nathan. Pergerakan tersebut malah membuat si lelaki terbangun. "Hey, Baby Girl ... masih terjaga?" gumam Nathan. "Aku tidak bisa tidur," lirih Angeline. Nathan mengusap punggung istrinya dan bertanya, "Kenapa? Memikirkan papamu?" "Uhm ... iya." Lelaki itu terkekeh, "Dia beruntung punya putri sepertimu. Semoga di masa depan Oliv juga
Rintik hujan menyambut tibanya keluarga kecil Nathan di Jakarta. Tanpa menunda lagi mereka segera pulang ke rumah. Olivia—seperti bayi-bayi pada umumnya—tidur nyenyak setelah menyusu, sedangkan Rafael bergerak-gerak gelisah karena terlalu lama duduk diam di pesawat. "Melihat Rafa aktif seperti ini kurasa sudah waktunya kulatih beladiri," cetus Nathan. Angeline memandangi Rafael yang sedang bermain drum imajiner, "Ide bagus. Dia bisa menyalurkan energi berlebih." Nathan mencondongkan tubuh ke arah sang istri yang duduk di sebelahnya, "Kamu juga perlu berlatih, Baby Girl." "Aku? Aduh, Nath. Badanku rasanya tidak kuat lagi. Sudah setahun lebih tidak latihan fisik, bisa-bisa aku pingsan," keluh Angeline. "Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Bagaimana kalau kita sparring malam ini?" "Aku lelah. Butuh istirahat," rajuk Angeline. "Kalau begitu besok pagi." "Pagi-pagi bukannya kita olahraga di tempat tidur?" bisik Angeline. Nathan nyaris tertawa, "Setel
"Aku cuma cuti kok, bukan resign." Cindy tersenyum geli melihat raut wajah sedih Angeline. "Benar ya? Jangan resign. Kantor ini sepi tanpa kamu," ucap Angeline. "Tenang saja. Begitu program hamil ini sukses, aku pasti kembali." "Sip. Kalau perlu apa bilang saja. Jangan sungkan. Kita sudah berteman sekian lama, kamu sudah seperti saudara sendiri." "Iya, Angel sayang. Ya sudah, aku turun dulu. Mas-ku pasti sudah nunggu di bawah. See you." Cindy memeluk sahabatnya. "Oke. See you soon." Angeline mengantar Cindy sampai depan lift kemudian kembali ke ruangan Nathan. Lelaki itu sedang berada di ruang meeting, berbicara dengan kandidat sekretaris pengganti Cindy. Celoteh Olivia menyambut kedatangan Angeline. Bayi yang sudah berusia tujuh bulan itu duduk di pangkuan Gloria. Kedua tangan kecilnya menggapai-gapai ke arah sang ibu. "Mmmhh ... Anak Mama gemas sekali." Angeline menggendong dan menciumi kedua pipi Olivia yang bulat. Bayi kecil itu tertawa geli
Cherry melontarkan senyum manis ke arah Nathan yang baru tiba di kantor. Jantungnya berdegup kencang melihat penampilan sang Presiden Direktur yang tanpa cela. Bekas luka di alis kiri tidak mengurangi ketampanan lelaki itu, malah menambah kesan seksi. "Selamat pagi, Pak," sapa Cherry. Beberapa office boy ikut masuk ke dalam ruangan Presiden Direktur. Tidak lama kemudian orang-orang itu membawa keluar meja Nathan, mengangkutnya turun lewat lift barang. Jantung Cherry berdegup semakin kencang. "Anu, Bu, dipanggil Pak Nathan," kata salah seorang office boy. "Saya?" Wajah Cherry memucat. "Iya, Bu." Wanita itu menggigit bibir. Gelisah. Apakah ada hubungannya dengan kegilaan kemarin siang? "Ya, Pak?" Cherry menghampiri Nathan yang duduk di sofa. "Kamu tahu kenapa saya membuang meja itu?" tanya Nathan dingin. "Tidak, Pak." Nathan menatap tajam, "Perlu saya perlihatkan rekaman CCTV?" Kedua tangan Cherry saling meremas. Sikap tegas Nathan membuat
Angeline mengamati wajah Nathan yang terlihat suram, "Nath, kamu baik-baik saja?" "Hmm? Aku baik. Kenapa, Baby Girl?" Lelaki itu tersenyum tipis. "Wajahmu seperti baru kehilangan uang ratusan milyar." Angeline duduk di sebelah sang suami. "Aku baik-baik saja selama ada kamu." Nathan menarik wanita itu duduk di pangkuan dan menciumnya. Tangan besar si lelaki meremas lembut tubuh Angeline. "Mmmh ... pelan-pelan, Nath ... nanti Oliv terbangun," lirih Angeline ketika lelaki itu mendorongnya rebah dan terus menciuminya. "Dia tidak pernah terbangun larut malam lagi, 'kan?" Nathan tersenyum. "Uhm ... tidak sih." "Kalau begitu kita aman." Angeline bergidik saat Nathan menjelajahi tubuhnya dengan ahli. Lelaki itu sudah hafal setiap sudut—yang tampak maupun tersembunyi—seperti telapak tangannya sendiri. Sebentar saja pakaian mereka sudah tercecer di lantai. Angeline menikmati sentuhan-sentuhan lembut dan kasar di titik sensitif tubuhnya. Nathan menikmati eksp
"Apa? Dia bilang begitu?" Angeline ternganga. Nathan menghela nafas, "Aku tidak menyangka dia seagresif Cassie." "Sialan ... Lain kali biar aku yang hadapi dia! Besok pagi kita ke kantor bersama!" sergah Angeline dengan emosi membara. "Kamu mau menemaniku atau berkelahi?" Nathan tersenyum geli. "Tergantung situasi!" "Aku masih bisa mengatasinya, Baby Girl. Jangan berkelahi dengan anak kecil." "Dia bukan anak kecil, Nath! Dia itu wanita dewasa yang sudah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Angeline masih berapi-api. "Kamu tahu? Sekali-sekali melihatmu cemburu ternyata cukup menyenangkan." "Ah, kamu mah, aku lagi serius nih," gerutu Angeline. "Thank you, Baby Girl. I know you love me that much." Nathan mengecup kening istrinya. "Nathaaan, bukan seharusnya 'I love you so much'?" "Apa bedanya?" "Dari jumlah kata saja berbeda." Lelaki itu tertawa, "Oke, kuralat. I love you so much, Baby Girl." Angeline pun tersenyum, "I lo