"A--a--aku?" Gadis berkulit eksotis itu tergagap sambil menunjuk dadanya sendiri.
"Iya, kenapa? Kamu pasti senang, kan, ada orang yang mau melamarmu?" kata Citra dengan sinis.
Bukan hanya Citra yang menatap sinis padanya, Pak Arman dan istrinya juga sehingga membuat gadis itu ketakutan. Tampak keringat mulai membasahi pelipisnya.
"Ta--ta--tapi aku__" Vira tergapap dan mukanya pucat.
Aku dapat melihat dengan jelas kalau keluarga ini tatapan keluarga ini tidak bersahabat.
" Udah nggak ada tapi-tapian, kamu harus menerima lamaran Elang karena aku sudah terlanjur berjanji pada ayahnya sedangkan Citra tidak mau," kata Pak Arman dengan nada tinggi.
"Paman, kalau aku menikah dengannya, lalu bagaimana dengan rencanaku untuk kuliah? Paman dan Bibi sudah berjanji akan membiayai kuliahku setelah Citra lulus, kan? Apa Paman lupa?" kata Vira.
Gadis itu menatap lelaki di hadapannya dengan wajah berbinar.
"Sudahlah, Vir. Buat apa kuliah segala? Masih mending ada orang yang mau nikahin kamu. Kalau bukan karena terpaksa, mana ada lelaki yang dengan suka rela menikah dengan gadis dekil yang setiap hari harus bersama dengan bebek? Deket aja males." Citra menutup hidung lalu mengibaskan tangan di depan wajahnya seolah jijik dengan Vira.
Gadis itu menunduk dan meremas jari tangannya. Bulir bening mulai membasahi pipinya.
Hatiku tersentuh, tanganku gatal, dan seolah ingin menghapus air mata itu sekarang juga, tetapi aku sadar kalau itu tidak akan mungkin.
"Sudah, nggak usah pakai nangis segala. Bersyukurlah masih ada orang yang mau nikahin dan menafkahi kamu sehingga tidak perlu numpang hidup seperti benalu lagi pada kami. Masih kurang lama kah kamu merepotkan kami?" kata wanita yang merupakan ibunya Citra tidak kalah sinis.
Aku mengelus dada. Gadis bernama Vira itu pasti sangat menderita hidup di tengah-tengah keluarga yang selalu menghinanya seperti ini. Di sini tidak ada yang membelanya sama sekali dan ia tidak bisa berkutik.
"Tunggu, dari tadi kalian terus mengintimidasi Vira, tetapi tidak bertanya pada Elang. Apakah dia mau jika ia menikah dengan Vira sedangkan yang ia tuju adalah Citra," kata ibu yang dari tadi hanya menyimak obrolan, lebih tepatnya hinaan yang bertubi-tubi pada gadis itu.
Wanita yang sangat kucintai itu terlihat kesal melihat perlakuan keluarga calon besan yang kemungkinan batal ini. Iya, aku juga tidak sudi punya keluarga sombong seperti mereka.
Citra tertawa. "Orang miskin nggak usah terlalu memilih. Elang memang jodohnya dengan Inem bukan Citra, paham!"
"Inem? Siapa lagi itu?" Aku, ayah, dan ibu berseru hampir bersamaan.
Mereka tertawa terbahak-bahak melihat Vira yang gemetar karena ketakutan.
"Inem itu, ya, Vira. Dia pantas dipanggil Inem karena setiap hari bekerja membereskan rumah layaknya pembantu. Aku lebih nyaman aja panggil Inem dari pada Vira. Nama Vira terlalu bagus untuknya," jawab Citra.
Sementara itu Vira yang dipanggil Inem semakin sesenggukan. Berulang kali ia mengusap air mata yang terus membanjiri pipinya.
"Bagaimana, Lang? Apakah kamu tidak keberatan kalau akhirnya harus nikah dengan Vira bukan Citra?" Ayah menepuk tanganku.
Aku menatap tajam ayah dan akhirnya mengangguk mantap.
"Harus mau, dong. Kalian memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Si miskin dan si benalu alias orang yang hidupnya hanya numpang pada orang lain," kata Citra yang langsung disambut gelak tawa dari orang tuanya. Tawa mereka bertiga begitu menggelegar di ruangan yang lumayan luas ini.
Gadis itu terisak dan mulai mengangkat wajahnya. Wajahnya sembab dan hidungnya memerah. Berulang kali ia mengusap ingus yang keluar dari dua lubang itu. Duh, kasihan sekali dia.
"Bagaimana mungkin kalian menganggapku benalu. Apakah kalian lupa kalau sudah menjual rumah almarhum orang tuaku dan uangnya kalian gunakan untuk modal usaha, tetapi bangkrut waktu itu?" kata Vira seraya menggeleng.
Aku kaget mendengar penuturan gadis itu. Jadi, selama ini secara tidak langsung keluarga Citra sudah memakan harta anak yatim? Apakah mereka tidak tahu kalau kita dilarang memakan harta anak yatim karena tidak berkah dan bisa membuat hidup kita sengsara?
"Tutup mulutmu, Vir. Tidak pantas kamu bicara pada orang yang sudah merawat kamu sejak kecil. Kalau dihitung-hitung, hasil penjualan rumah itu tidak cukup untuk menutup pengeluaran yang sudah membiayai hidupmu selama ini?" kata Pak Arman dengan muka merah padan menahan amarah. Giginya gemeletuk, matanya melotot, serta tangannya mengepal seolah siap melayang ke muka Vira.
Astaghfirullah, perhitungan sekali mereka pada ponakan sendiri.
"Bagaimana? Apakah kamu mau menikah dengan Vira-keponakanku ini? Wajahnya memang tidak secantik Citra, tetapi ia sudah pandai mengelap ingusnya sendiri," kata Pak Arman sambil merangkul sang ponakan. Ucapannya disambut gelak tawa dari ibu dan anak itu.
Aku mengangguk mantap. Kalau tadi aku ingin menikahi Vira karena ingin membalas kesombongan keluarga ini, tetapi sekarang juga ingin menolong gadis yang sepertinya menderita itu. Iya, aku harus menolong gadis itu agar pergi dari rumah yang sudah seperti neraka untuknya ini.
Aku menatap tajam gadis itu dan mengangguk. Kulihat gadis itu tersenyum di sela tangisnya dan aku tahu kalau itu adalah senyum yang dipaksakan. Semoga setelah menikah denganku nanti, ia bisa terus tersenyum.
Entah seperti apa rasanya setiap hari harus berhadapan dengan keluarga sombong itu.
"Aku mau menikah dengan Vira dan aku ingin pernikahannya dipercepat saja," ucapku kemudian.
Citra mengusap wajahnya. "Fiuh, akhirnya Vira pergi juga dari rumah ini. Eh, tetapi kalau kamu jadi nikahin Vira, dia akan diajak tinggal di rumah kalian, kan? Jangan bilang kalau kalian yang malah ikut numpang di rumah kami."
Tanganku terasa gatal ingin melayang dan mendarat di mulut wanita bermulut lemas itu.
Aku mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, setelah menikah, Vira akan kami boyong untuk tinggal bersama kami. Bukankah seorang suami wajib menyediakan tempat tinggal untuk istrinya?"
"Bagus lah kalau begitu. Itu artinya bebanku akan berkurang satu," jawab Pak Arman.
Vira memang bukan siapa-siapa aku untuk saat ini, tetapi saat ia terus-terusan dihina oleh keluarganya sendiri itu, aku ikut merasa sakit hati.
PoV CitraKupandang foto lelaki bernama Elang Purnama yang akan datang besok untuk melamarku. Lumayan tampan alias tidak jelek-jelek amat. Serasi lah jika bersanding denganku yang cantik ini. Kata bapak, zsdia ini anak orang kaya sehingga tanpa ragu kuterima saja lamarannya. Bukannya aku nggak laku sehingga mau dijodohkan dengan laki-laki anak sahabat bapak itu meski zaman sekarang perjodohan sudah jarang terjadi. Namun, aku sudah capek melanglang buana mencari pasangan yang pada akhirnya berakhir jadi mantan. Iya, aku pernah punya hubungan dengan banyak cowok, apalagi aku termasuk gadis cantik dan populer saat di kampus, tetapi sejauh ini tidak ada yang sreg, hanya untuk main-main saja. Parahnya, aku baru saja diselingkuhi oleh pacarku sendiri. Nyesek banget rasanya, gadis cantik seperti diriku diselingkuhi. "Betapa cantiknya diriku ini." Aku berbicara sendiri saat melihat bayangan di cermin. Aku ingin menunjukkan pada lelaki yang sudah membuatku menangis itu kalau aku bisa mendap
Elang dan ayahnya berpamitan keluar sebentar sepertinya mereka berdua ingin membicarakan sesuatu yang sangat rahasia yang tidak ingin kami semua tahu.Namun, aku enggak peduli. Yang penting aku sudah merelakan Vira menggantikan aku untuk menjadi istrinya. Tidak lama kemudian mereka berdua masuk dan duduk kembali dan sang ayah berkata, "Elang tidak keberatan menerima Vira."Bapak tersenyum dan berkata, "deal, ya lamaran Elang untuk Vira kami terima. Utangku lunas, ya, Pur, karena aku sudah menepati janjiku untuk mempersatukan anak-anak kita. Yah, meski bukan anak kandungku, tetapi sama saja lah."Lelaki yang tadi dipanggil Pur oleh bapak itu terlihat menepuk tangan Elang yang duduk di sampingnya. "Iya, Man. Sekarang kita tinggal memikirkan kapan pernikahan ini akan dilangsungkan," kata lelaki yang menurutku masih lumayan tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. "Oh, iya tentu saja. Lebih cepat lebih baik dan kalian nggak usah khawatir, untuk mahar juga nggak akan minta y
Kami bertiga berpandangan mendengar ucapan calon mertuanya Vira yang ingin mengadakan pesta secara besar-besaran. Tidak lama meledaklah tawa kami hingga suaranya menggema di ruangan ini. Air mata ibuku sampai berderai. Mungkin ia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini yaitu heran dengan ayahnya Elang yang tingkat kehaluannya tidak tanggung-tanggung itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan pesta mewah? Apakah mereka pikir tidak butuh biaya? "Anda sehat?" tanyaku setelah puas tertawa hingga perutku sakit. "Kenapa?" lelaki berkumis itu malah balik tanya. Sepertinya ia tidak sadar kalau ucapannya cukup menggelitik. "Tadi bilang ingin mengadakan pesta besar-besaran pada pernikahan Vira dan Elang, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata tawa."Iya. Memangnya kenapa? Salah?" Pak Purnama mengendikkan bahu. Berulang kali Elang mencubit tangan ayahnya itu, tetapi tidak digubris. Mulutnya masih saja mencerocos. "Elang adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Kamu tahu sendiri, kan
Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan. Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban? "Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga ng
PoV ElangAku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran. Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi. Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu. "Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?""M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku. Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan
Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku."Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa.""Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. "Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. "Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. Lelaki itu mengambil
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita cantik yang dibilang ibu sebagai MUA itu menggandeng tangan Vira dan meminta untuk menunjukkan di mana kamarnya. Awalnya Vira ragu, aku memberinya isyarat dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. "Nurut aja, ya Vir."Wanita itu tidak datang seorang diri melainkan bersama asistennya yang membawa sebuah tas besar berisi pakaian untuk Vira dan aku nanti."Lang, kamu juga perlu make up agar enggak jomplang nanti sama Vira." Ibu tersenyum. Aku mengikuti Vira masuk ke kamarnya dan sungguh batinku menjerit melihat ini. Rumah keluarga citra ini lumayan bagus dan besar, tetapi kamar Vira tidaklah layak disebut sebagai kamar. Ruangan ini tidak memiliki ranjang. Vira tidur di bawah beralaskan kasur yang sudah usang. Geram aku melihatnya. Mataku memanas melihat kondisi kamarnya. Entah kenapa rasa sakit menyusup di sanubari. Namun aku juga tidak habis pikir Kenapa Vira betah tinggal di rumah seperti ini, apalagi penghuninya juga menyebalkan semua. Kenapa ia tidak berusaha pergi saja.