Amara menyetir menuju rumah sakit dengan perasaan cemas yang menggelembung di dadanya. Namun dia harus berjuang untuk berkonsentrasi pada jalanan yang membentang di depannya. Jika tidak, bisa-bisa Amara akan celaka.
Gadis itu seakan bermimpi saat memasuki gedung rumah sakit. Tadi Sophie sudah memberi tahu ruangan tempat Brisha dirawat. Setelah mengetahui pasti arah yang harus diambilnya usai bertanya pada satpam rumah sakit, Amara pun melangkah tanpa ragu.
Aroma khas rumah sakit langsung menyerbu hidungnya, membuat sebuah kenangan familier yang menyakitkan kembali menyergap Amara. Sophie berdiri seraya melambai dari kejauhan. Amara mempercepat langkahnya, tidak sabar ingin tahu kabar terkini sahabatnya.
“Apa yang terjadi, Soph? Kamu udah ngeliat kondisi Brisha? Tadi kamu bilang kalau Brisha dipukuli sama Andaru, kan? Gimana bisa?” cerocos Amara tak sabar.
Sophie menarik tangannya, mengajak Amara duduk di kursi yang menempel ke dinding. B
Keduanya terdiam selama beberapa saat. Amara sempat kehilangan kata-kata sejenak. Namun dia bisa menguasai diri dengan cepat. “Aku pengin ngeliat kondisi Brisha. Apakah parah?”“Aku sendiri belum ngeliat. Tadi sih udah disuruh masuk sama mamanya Brisha tapi kutolak. Kubilang, aku mau nunggu kamu.” Suara Amara yang penuh kecemasan itu menyita perhatian Sophie. “Tapi kuharap semoga aja kondisinya nggak parah. Tadi sih mamanya bilang kalau banyak memar di lengan Brisha. Selain itu, bibirnya juga pecah.”“Hah?” Amara merinding. Dia teringat saat Cello memukulinya. Amara meraba bibirnya sendiri dengan rasa ngilu yang mendominasi. Membayangkan Brisha “dihadiahi” bogem mentah oleh Andaru yang baru dua kali ditemui gadis itu, membuat Amara sangat kesal. Sekaligus mengingatkan Amara pada apa yang pernah dialaminya.Ketika akhirnya mereka memasuki ruang perawatan, Amara dan Sophie saling bertukar pandang dengan k
Amara merasakan darahnya seolah membeku. Mungkin saat ini, dia sama pucatnya dengan Brisha. Andai bisa memilih, gadis itu tak ingin mendengar detail tentang apa yang sudah dilakukan Andaru pada sahabatnya. Namun, itu mustahil karena Amara ingin tahu apa yang terjadi sehingga Brisha berakhir di ranjang rumah sakit.“Waktu kamu berhasil ninggalin mobilnya, Andaru sempat ngejar, nggak?” Sophie bersuara lagi. Sementara Amara memilih menjadi pendengar karena dia tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun. Tenggorokannya terasa penuh.“Aku nggak tahu karena langsung kabur ke rumah dan nggak sempat ngeliat ke belakang lagi. Aku pun nggak beneran tau apa yang terjadi sama Andaru. Papa sih udah melapor ke polisi.”Amara ingin menangis mendengar cerita Brisha. Namun dia lebih terpukul dengan nada menderita di suara sahabatnya. Suara helaan napas berat Sophie menusuk telinganya. Mereka bertiga baru saja melewati usia remaja. Akan tetapi, ternyata merek
Amara tidak bisa menahan diri lagi. “Ya, kamu memang bodoh, Sha! Aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa ngebiarin cowok jahat kayak gitu menyakitimu. Bukan cuma sekali tapi sampai berkali-kali. Dia juga ngatur hidupmu dan kamu cuma nurut aja. Kalau dia memang cinta sama kamu, Andaru itu nggak mungkin memukulmu, Sha! Kenapa kamu diam aja, sih? Kamu bahkan mau-maunya dilarang temenan sama kami berdua,” cetusnya pahit.Sophie jauh lebih toleran. Dia berusaha menenangkan Amara, mencegah gadis itu memuntahkan lebih banyak lagi kata-kata yang akan menyakiti Brisha. Untungnya kali ini Amara tidak sekeras kepala biasa dan bersedia mengatupkan bibirnya. Meski jelas terlihat kalau dia belum merasa puas.Ya, dia memang gemas pada Brisha. Apalagi setelah tahu apa saja yang dilakukan Andaru pada sahabatnya ini. Cowok manipulator seharusnya sudah dijauhi begitu mulai terlihat tanda-tanda bahwa dia ingin mengatur hidupmu lebih dari yang seharusnya. Itu yang diyakini
Amara berusaha keras menampilkan kesan tenang dan tak terganggu. Dia sebenarnya tak ingin diingatkan lagi pada masa lalu. Namun, tak mungkin juga saat ini dia mengomeli Brisha. Masing-masing dari mereka sedang menghadapi masalahnya sendiri. “Nggak apa-apa, Sha. Kami udah lumayan lama putus, sejak malam tahun baru.”“Ha? Sudah selama itu?” Pupil mata Brisha melebar. Alisnya pun terangkat.Amara mengangguk dengan tenggorokan yang kembali terasa penuh. “Udah ah, aku nggak mau ngebahas soal itu lagi. Kamu harus sembuh dulu, itu jauh lebih penting. Jangan mikirin masalah lain yang sama sekali nggak penting.”Namun tampaknya Brisha tidak mau mendengar permintaan Amara. “Aku nggak apa-apa, kok! Sebenarnya, aku udah nggak ngerasain sakit kecuali bibirku.” Brisha bergerak pelan untuk duduk di ranjang. Dia memberi instruksi pada Sophie untuk mengubah kemiringan kepala ranjang dengan menggunakan sebuah remote contro
Keheningan yang mengerikan mendominasi ruangan itu. Amara bisa melihat bagaimana wajah kedua temannya berubah sepucat mayat setelah mendengar kata-katanya. Gadis itu memaki pelan, menyesali kecerobohannya. Dia mengutuk diri sendiri karena tidak mampu menjaga lidah dan menahan diri. Bukankah di masa lalu Amara pernah bersumpah untuk menyimpan rahasia itu dari dunia? Cukup keluarganya saja yang tahu pasti masalah itu. Berikut keluarga Cello, tentunya. Itulah sebabnya dulu mereka memaksakan pernikahan untuk Amara dan Cello.“Rahasia apalagi yang kamu sembunyikan?” tanya Brisha marah. “Kenapa kamu nggak pernah ngasih tau kami? Hamil karena diperkosa itu sama sekali bukan masalah sepele, Mara!”Amara bersandar dengan kedua tangan terlipat di dada, bersikap defensif. “Lihat siapa yang barusan ngomong!. Yakin kalau kamu adalah orang yang tepat untuk ngucapin kalimat itu sama aku? Siapa yang sampai setengah jam lalu masih nyembunyiin rahasia
Amara akhirnya menegakkan tubuh. Sophie buru-buru mengangsurkan sekotak tisu padanya. Gadis itu mengeringkan pipi dan hidungnya yang berair. Rasa pedih karena mengingat jalan hidupnya yang berliku, membuat dada Amara terasa sakit. Hidupnya yang datar-datar saja sejak kecil, tak dinyana mengalami hal pahit nan dramatis saat memasuki usia dua puluhan.“Sejak itu, aku selalu trauma sama yang namanya rumah sakit. Aroma khas di tempat ini bikin aku mau nggak mau mengingat lagi apa yang terjadi saat itu. Tadi pun aku berkeringat dingin pas masuk lobi rumah sakit. Saat aku keguguran itu, sakitnya ... luar biasa. Aku sempat mengira kalau saat itu bakalan mati.”Hening. Selama beberapa saat, tak ada yang membuka mulut. Brisha berinisiatif menyodorkan air mineral yang ada di meja dalam kondisi masih bersegel. Amara menerima botol air tersebut dan meminum setengah dari isinya.“Aku nggak tau kalau kamu sampai mengalami semua itu. Kalau aku jadi kamu, mung
Amara tidak tahu bagaimana cara membela diri di depan Ji Hwan. Dia sudah mengerahkan energi yang cukup besar untuk berbantahan dengan Sophie dan Brisha yang bahu-membahu menentanganya. Ketika kini sang mantan tiba-tiba muncul di depan matanya, Amara nyaris tidak punya sisa tenaga lagi. Apalagi setelah mendengar kata-kata dan ekspresi Ji Hwan saat melisankan kalimatnya. Amara benar-benar dipenuhi rasa tak nyaman.“Ji Hwan, sini! Jangan cuma berdiri di depan pintu. Itu nggak sopan, tau!” Brisha melambaikan tangan kirinya dengan penuh semangat. Seolah bukan dia yang menjadi korban pemukulan cowoknya yang gila dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit. “Kamu dan Amara harus ngobrol berdua untuk mecahin masalah kalian. Aku tau kalau....”“Nggak ada yang perlu diobrolin! Keputusan soal itu udah final, kok!” tukas Amara. Gadis itu bertahan pada kekeraskepalaannya.Sophie menarik tangan Amara, memaksanya bangkit dari kursi. Gadi
Seiring punggung lebar Ji Hwan yang menjauh, Amara juga tahu jika dia sudah membuang kesempatan terakhirnya dengan begitu gemilang. Setelah ini, tak akan peluang kedua. Ji Hwan akan menghilang dari hidup Amara untuk selamanya. Mengapa perasaannya begitu tersiksa hanya karena membayangkan hal itu?“Apa Ji Hwan tadi sempat dengar tentang kehamilanku?” Amara masuk ke ruangan tempat Brisha dirawat dengan panik setelah Ji Hwan pergi. Dia harus mengetuk pintu lumayan kencang sebelum Sophie akhirnya membuka kunci dan membiarkan gadis itu masuk.Brisha yang sudah kembali berbaring, menggeleng pelan. “Kamu takut kalau Ji Hwan tahu soal itu? Memangnya kenapa?”“Entahlah,” jawab Amara jujur. “Aku nggak yakin.”Sophie menatap Amara dengan alis bertaut. Gadis itu melirik arlojinya sebelum bersuara. “Kalian udah kelar ngomong? Secepat itu? Nggak nyampe lima menit, lho! Apa masalah kalian udah beres? Ka