Share

CINTA MONYET

Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun berteriak-teriak memanggil bundanya.  Di tangannya ada surat pengumuman.

“Bunda aku diterima kuliah di salah satu kampus di Singapura.  Bukan hanya itu saja.  Aku lulus tes untuk mendapatkan beasiswa.”

“Wah selamat ya Nak.” Bunda Tabita memeluk anak remaja yang berdiri di depannya.  Anak laki-laki yang menawarkan jasa payung padanya kini sudah tumbuh tinggi dan sangat pintar.  “Dari awal bunda yakin kalau kamu pasti lulus.  Cepat ke ruangan ayah kamu.  Pasti dia juga senang mendengarnya.”

Zefanya berubah total dari kehidupannya yang dulu.  Sangat pintar dan tampan.  Tidak ada lagi kesan gelandangan karena kulit dan tubuhnya terawat dengan baik.  Zefanya mengetuk pintu dan dia masuk ke sebuah ruangan.

“Ayah aku lulus.” Anak remaja itu memberikan kertas di tangannya pada pria paruh baya yang duduk di kursinya. 

“Selamat ya nak.” Charles bangkit dari kursi lalu memberi pelukan serta tepukan di punggung Zefanya.  “Kapan kamu akan berangkat?”

“Bulan depan ayah.”

“Baiklah.  Manfaatkan waktumu di sini.  Ajari adik-adikmu supaya mereka bisa mengikuti jejakmu.”

“Baik ayah.”

***

Sopir menjemput Abira yang baru saja keluar dari gedung sekolah.  Gadis itu selalu pulang tepat waktu karena harus makan siang di rumah.  Sementara dari kejauhan adiknya melambaikan tangan karena harus mengisi acara radio sekolah siang ini.

“Zi, ada surat nih untukmu.” Salah satu temannya memberikan surat yang dibungkus dengan amplop biru yang lucu.

“Jaman sekarang masih pakai kirim surat.  Memangnya ini jaman purba apa?” Ziona tertawa sambil membuka perekatnya.

MENATAPMU DALAM RINDU

Matahari pagi muncul dengan sinarnya

Kuteringat akan hatiku yang merindukanmu

Harapan ingin selalu melihat senyummu

Senyum yang memberi teduh di hatiKu

Menatapmu dalam rinduku

Namun tak kuasa menyentuhmu

Jauh darimu membuat hatiku tak menentu

Dekat denganmu membuatku ragu

Tersenyumlah selalu

Karena senyummu obat pelepas rinduku

Tersenyumlah selalu

Karena senyummu adalah jawaban doaku

                                                Semuel

“Semuel?” Ziona berusaha mengingat siapa Semuel.  Tak ada satu pun teman sekelasnya yang bernama Semuel.  Sebuah pesan masuk ke ponselnya padahal dia belum menemukan jawaban tentang siapa pengirim surat itu.

“Maaf kalau aku lancang mengambil nomor ponselmu dari data peserta basket.  Aku Semuel anak kelas 12.  Aku juga yang mengirim puisi itu untukmu.  Bisakah kita bertemu setelah pulang sekolah?”

“Boleh.  Tetapi aku mau ngisi acara radio dulu.  Kamu nggak keberatan kalau harus menunggu?”

“Aku tidak akan pulang karena aku selalu mendengar suaramu di radio sekolah. Aku tunggu kamu di lapangan basket ya.” Balasan terakhir dari laki-laki itu membuat Ziona tersenyum.

“Semuel.” Ziona menyebutkan nama itu dan berusaha mengingat.  Namun dia masih gagal menerawang siapakah sosok pengirim puisi romantis itu.

***

Charles  dan istrinya sedang duduk bersandar di ranjang.  Mereka sedang mencari solusi untuk keberangkatan anak asuh mereka yakni Zefanya.  Sudah 6 bulan terakhir panti asuhan mengalami kesulitan dana.  Memang Indonesia sedang mengalami masa sulit.  Banyak pengusaha yang bangkrut dan harus menjual saham dengan harga yang rendah.

“Zefanya butuh tempat tinggal dan biaya hidup di sana.  Pemberi beasiswa hanya akan membiayai kebutuhan kuliahnya saja.” Jelas Charles ketika membaca email yang dia terima dari pihak pemberi beasiswa.

“Kamu punya teman kan di Singapore? Bagaimana kalau Zefa bekerja sambil kuliah saja?”

“Tidak semudah itu sayang.  Singapore bukan Indonesia.  Di sana pelajar tidak boleh bekerja.”

“Tanyakan saja dulu.  Siapa tahu dia bisa bantu.”

“Baiklah.  Tetapi dia harus punya uang pegangan setidaknya untuk bertahan selama beberapa bulan.”

Tabita turun dari ranjang dan membuka lemari.  Di dalamnya ada kotak berisi beberapa perhiasannya.

“Kita jual saja berlian ini.  Pendidikan Zefa jauh lebih penting.” Charles menghampiri istrinya. 

“Jangan dijual sayang! Kita gadaikan saja.  Aku akan cari uang supaya perhiasan kamu bisa ditebus kembali.” Charles tidak tega karena itu adalah berlian pemberian mertuanya.  “Aku janji akan menebusnya.” Pria itu memeluk istrinya seraya mencium puncak kepala wanita yang sudah menjadi pendamping hidupnya selama puluhan tahun.

***

Setelah menyelesaikan siaran, Ziona keluar dan tidak sabar menemui laki-laki yang mengirimkan puisi untuknya.  Sangat romantis.  Itulah yang ada di benaknya.  Dia sudah tiba di lapangan basket.  Dag dig dug terdengar dari suara jantungnya yang bertalu-talu.  Matanya menjelajah mencari sosok yang ingin dia temui. Tidak ada orang sama sekali.

“Mungkin aku kelamaan.” Gumam Ziona dengan bahasa tubuh yang tidak bersemangat.

“Hmmm! Suara deheman dari belakangnya.  Ziona membalikkan dan melihat laki-laki tinggi di depannya.  Bukan hanya tinggi tetapi laki-laki itu sangat tampan.  Kulitnya putih bersih, rambutnya blonde, dan matanya berwarna perak.  Sepertinya dia bukan asli Indonesia.

“Kamu nggak kelamaan.  Aku tadi pergi beli minuman takut kamu kehausan habis siaran.” Di tangannya ada dua botol minuman.

“Kamu yang namanya Semuel?”

“Iya.  Aku satu kelas dengan kakakmu.  Nggak sengaja aku melihatmu ketika kakak kamu pingsan di taman sekolah.  Dari situ aku mulai penasaran dan cari tahu tentang kamu.  Bahkan aku mendekati Abi hanya untuk tahu tentang kamu.”

“Pingsan?” Abira yang terlalu sering pingsan membuat Ziona lupa kapan kakaknya itu pingsan di taman.

“Iya.  3 bulan lalu Abi pingsan di taman dan kamu langsung berlari dari perpustakaan.  Bahkan kamu menarik tanganku supaya aku membantu membawa Abi ke UKS.”

“Ha?” Ziona bingung karena dia tidak mengingat apapun. 

“Mungkin kamu panik jadi nggak ingat sama aku. Tapi sejak saat itu kamu selalu menemani hari-hariku.  Tapi aku nggak berani karena kata Abi kamu nggak mau pacaran karena harus fokus sama sekolah.”

“Hehehe. Iya sih.” Ziona menggaruk kepalanya karena malu.  Tetapi dia punya alasan untuk itu.  Cinta monyet sangat wajar dialami anak remaja seperti dirinya.  Tetapi mengingat larangan papinya, Ziona memilih taat saja daripada dia harus dibandingkan lagi dengan kakaknya atau menyalahkan dirinya yang menghabiskan waktu untuk pacaran.

“Justru itu yang membuat aku suka sama kamu.  Tidak ada salahnya kan kalau kita berteman dekat.  Aku janji akan memintamu jadi pacar setelah kita lulus sekolah.”

“Memangnya ada yang kayak gitu?” Dengan polosnya dia bertanya.  Dia belum pernah berpacaran sementara kakaknya sudah berapa kali gonta ganti pacar.

“Semua itu tergantung kita.  Anggab saja pertemanan kita sebagai langkah awal untuk kita saling mengenal.  Gimana?” Semuel menatap bola mata Ziona dengan lensa matanya yang berwarna perak.

“Tapi papi melarangku pacaran.”

“Kita bukan pacaran.  Kita teman.  Nanti pacarannya kalau sudah lulus.”

“Okei.” Ziona setuju.  Tidak ada salahnya juga menikmati masa remaja.  Itulah yang muncul di pikirannya.

“Sebagai perayaannya kamu minum dulu ini.” Membuka tutup botol lalu memberikan minuman itu pada Ziona.  “Apa kamu masih punya waktu luang?” tanya Semuel setelah Ziona berhenti meneguk air dari botol kemasan itu.

Ziona melihat jam di layar ponselnya.  “Harusnya ada ekskul.  Tapi gurunya nggak datang.”

“Great!” Semuel bersorak kegirangan. “Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya? Kamu nggak akan langsung pulang kan?”

“Ya nggaklah.  Aku pasti memanfaatkan waktu kosong seperti ini.  Kapan lagi aku bisa lepas dari setiap peraturan bokap.”

“Kalau gitu aku traktir kamu makan baso di kantin.” Semuel menarik pergelangan tangan Ziona dan itu menjadi perhatian kedua mata gadis itu untuk melihat pegangannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status