"Dengarkan penjelasan Pakde Rin, jangan emosi dulu. Bukan Bayu yang merencanakan ini. Tapi Pakde, Pakde yang merencanakan. Maaf, kalau harus melibatkan Bayu." Pakde Umar meminta maaf kepadaku. "Pakde, susah payah aku membangun agar hubunganku dengan Yu Yati harmonis. Kenapa sekarang malah begini. Yu Yati tambah membenciku Pakde." Ku berkata sambil menagis. Di dunia ini, kurasa nggak ada yang mau bermusuhan dengan saudara. "Yang, dengerin Mas. Untuk apa berkorban meraih cinta satu orang, bila ada sepuluh orang lebih yang mencintaimu tanpa menuntut apapun darimu. Kami disini sayang kamu, Rini." Mas Bayu memelukku. "Sudahlah, jangan bersedih. Biarkan hal ini mengajarkan Yu Yati sesuatu yang berharga, yaitu menjaga mulut dan ucapannya, agar tak asal bicara." Mas Bayu terus berusaha menenangkan ku. Sementara aku masih menangis, aku benci diriku! Kenapa nggak bisa berlaku tega sama orang yang jelas sudah merampas kebahagiaan ku. Aku malah terjebak dalam perasaan bersalah atas masuknya
Bungkusan apa, ya? Aku penasaran. Apa yang hendak Yu Santi bicarakan lagi? Bukanya masalah Yu Yati sudah gamblang? Aku menanti penjelasan Yu Yati. "Rin, tolong terimalah uang ini," Yu Santi kelihatan serius. Wajah teduh yang selalu ku rindukan saat dulu aku di sakiti oleh saudara tiri yang lain. Yu Santi penolongku. "Uang apa ini, Yu?" Jujur aku tak mengerti. "Uang ini, sebagai mahar, atau tebusan atas semua tanah yang seharusnya bukan jatah Yayu. Tanah hasil rampasan saudaraku terhadapmu, yang kini menjadi bagian Yayu." Suara Yu Santi terdengar bergetar. "Jumlahnya tentu saja lebih sedikit dari tanah yang di berikan oleh emak kepada Yayu. Namun, Yayu berusaha untuk menebus semua tanah ini dengan uang yang tak seberapa jumlahnya. Andaipun kamu nggak terima uang ini, dan meminta hakmu kembali ... Yayu ikhlas memberikan tanah yang tersisa itu kepadamu." Yu Santi nampak sedih sekali. Aku terkejut dengan ucapan Yu Santi barusan. Apa ini? Mengapa sikap Yu Santi begini? Kedatangan ku ke
Mau kuapakan uang ini? Untuk berdonasi di panti asuhan, dan anak yatim, aku dan Mas Bayu sudah menyiapkannya, bahkan di beberapa yayasan panti asuhan aku dan Mas Bayu menjadi donatur tetap disana. Sudahlah, nanti saja ku diskusikan kembali sama Mas Bayu. Yang penting sekarang uang tebusan ini sudah ku trima, semoga tak ada lagi musibah ataupun karma yang menimpa keluarga Yu Santi. "Rini, Bayu, kapan kalian pulang ke kota?" Pakde Umar angkat bicara mengalihkan topik kami. Aku dan Yu Santi bangkit, kembali duduk di bangku masing-masing. "Em, kami masih pengen liburan disini, Pakde. Jika Pakde Umar dan keluarga tidak keberatan, kami ingin lebih lama disini. Kasihan Rini, pasti dia masih Rindu. Takutnya nanti pas pulang ke kota, Rini sedih lagi. Biar istri ku ini puas dulu melepas rindunya," terang Mas Bayu dengan ekspresi wajah yang meyakinkan. Ku lihat binar bahagia di mata Bude Siti, dan yang lainnya. "Tentu kami senang kalian berlama-lama disini. Bude masih rindu sama Rini. Mala
"Iya, Pakde, kenapa?" tanyaku lembut. "Rini, pakde ingin mengembalikan amanah yang dulu ayahmu berikan pada pakde. Sawah seperempat hektar yang ayahmu berikan sebelum ia menutup mata. Dulu, setelah kau kami bawa kerumah ini, saat kakimu patah, ayahmu mengamanahkan sawah itu untuk pakde garap yang hasilnya untuk biaya sekolahmu. Kini kamu sudah menikah. Jadi pakde kembalikan sawah itu." Pakde Umar berbicara santai penuh wibawa. Ku tatap lekat wajah Pakde Umar yang tak lagi muda, "Kenapa harus dikembalikan, Pakde?" lirihku. "Pakde garap saja, ya!" pintaku selembut mungkin. Aku tak ingin melukai Pakde, laki-laki pengganti ayahku. Ku sadar, berjuta-juta uang yang ku punya, tak akan mampu membayar semua kasih sayang Pakde dan Bude terhadapku usai kepergian ayah. "Amanah itu telah selesai, Nduk. Kini saatnya pakde kembalikan kepada yang lebih berhak." Senyuman khas pakde yang meneduhkan itu terlukis indah di wajah tuanya. "Tidak, Pakde. Amanah itu belum selesai, Rini masih ingin menjad
Pagi ini, aku terbangun setelah sayup-sayup suara sholawat dari pengeras masjid di kampung ini. Karena masih berhadas aku libur sholat. Semalam usai menyantap buah tangan Eis, ditambah rasa lelah yang bergelayut di badan, aku akhirnya memilih istirahat. Di bawah tempat tidurku, sesosok laki-laki sedang khusyuk bertahiyatul akhir. Dia lelakiku, sosok yang lembut, perhatian, penyayang yang membuatku selalu nyaman. Mataku tertuju selalu kepada lalakiku ini. "Hei, sudah bangun," sapa Mas Bayu menoleh kepadaku. Mas Bayu bangkit. Pertanyaan semalam muncul lagi dikepala ini. "Mas, aku mau tanya, jawab jujur, ya," ungkapku manja. Mas Bayu duduk diatas ranjang bersamaku. "Ada apa? Pagi-pagi kok udah ngajak wawancara," godanya padaku. Iya lah, aku mau introgasi kamu. Secara foto semalam aneh banget. "Mas, lagi bisnis apaan sih sama Bejo? Serius mau bisnis sama preman?" Mataku menatap penuh tanya pada Mas Bayu. Mas Bayu malah senyum. Ih, bukan senyuman yang ku butuhkan. Tapi jawaban. Seb
Sepertinya Johan jadi topik pagi ini. Duh, aku kok ngerasa takut, ya. Secara orang itu jahat, kejam, dan super tega. Dulu, banyak luka di badan ini akibat ulah Johan. Dia yang seharusnya bisa menjadi pelindung ku karena dia kakak laki-laki tiriku, malah dengan bengis menyiksaku hingga puncaknya kaki kiri ini patah. Hal itu terjadi setelah pernikahan Yu Santi. Saat itu ayah berangkat mengirim beras ke luar kota Johan menyiksaku gara-gara aku mecahin gelas, beruntung Yu Santi datang berkunjung akhirnya aku dibawa paksa oleh Yu Santi kerumahnya. Setelah itu, baru Pakde dan Bude membawaku kerumah mereka. Seminggu dirumah Pakde, ayah datang membawakan oleh-oleh kue keju kesukaanku. Aku dipangku ayah. Itulah saat-saat terakhir aku bersama ayah. Kalau ingat semuanya, hatiku sedih bukan main. Kala itu usiaku 7 tahun. Memory itu selalu ku ingat. "Bude, jadi kepasar 'kan?" Aku muncul dari ruang tengah seolah tak mendengar apa yang mereka bicarakan. "Jadi, dong. Mau ikut?" Bude menatapku. Ak
"Teriak lah sesukamu, tak akan ada yang menolong kalian!" Diki menyeringai. Segera ku tendang keras bagian sensitif milik Diki, dia jatuh tersungkur kebelakang meringis kesakitan. Aku puas bisa menendang Diki. "Si*l*n!" umpatnya geram. Sebilah pisau dikeluarkan dari balik bajunya. "Ku bunuh kau!" Teriak Diki. "Rini, ayo lari!" Bude berteriak. Posisi kami berada di kompleks pasar yang agak sepi, jadi tak begitu banyak orang disini. Aku berlari menghindari Diki. Namu, Diki berhasil meraih tasku. "Serahkan tas ini kalau kau mau hidup!" Diki mengancam ku. Bude sudah lebih dulu berlari. Aku mempertahankan tas ini, karena didalamnya ada kalung untuk Bude. Aku nggak mau menyerahkan tas ini begitu saja. Kulawan Diki sebisaku. Aku tak gentar dengan pisau ditangannya itu. "Serahkan tas ini!" Bentak Diki lagi. Dengan sigap ku sikut Diki tepat mengenai ulu hatinya yang hendak menyekapku. Rasain kamu! Tanpa ku duga, dia menghujamkan pisau kearahku, segera aku berkelit secepat kilat. Beru
"Mas, ayo pulang," lirihku. Lama-lama di klinik membuatku agak mual, bau menyengat obat-obatan di ruangan ini sangat menggangu penciumanku. Mas Bayu malah duduk di kursi yang tersedia. Mukanya itu loh cemberut, ih. "Panggilin Bude, dong! Aku mau kasih kalung ini, habis itu kita pulang, ya" pintaku manja. "Kamu itu belum di bolehin pulang sama dokter, masih observasi. Kamu pikir luka di lengan itu sepele? Enggak, Sayang! Lukamu itu cukup serius, pendarahan nya juga lumayan, udah disini dulu tunggu dokter kasih ijin." Mas Bayu membuang muka sambil bersedekap dada. Ngambek beneran nih kayaknya My swety. Oke aku memang salah udah ngeyel. "Mas, bilang aja sama dokternya aku nggak papa. Lagian aku udah sadar 'kan." "Pokoknya nanti. Titik!" Ih, Mas Bayu mulai deh. Aduh, sakitnya lumayan nih tangan. Mana darahnya nembus perban lagi. Kulihat tangan yang diperban ini sambil meringis merinding melihat darah. "Tuh liat, rembesan darahnya masih ada 'kan? Bentar Mas panggil suster dulu." Ma