Deg Telinga yang dengar suara Mas Bayu, tapi kok sakitnya tuh disini, didalam dada ini, badanku lemas seketika. Mas Bayu nggak pernah menyentak ku. Ku tatap sendu Mas Bayu. Air mataku jatuh tanpa aba-aba. Sentakan Mas Bayu menggores hati, lebih sakit daripada luka di lengan ini. "Rini, maaf, Sayang. Mas nggak bermaksud membentakmu." Mas Bayu langsung mendekatiku saat melihat air mata ini. "Maaf, Sayang." Mas Bayu memelukku, tapi ku tolak secara halus. Air mata ini luruh. Ku buang muka ini. "Aku tau, aku salah Mas,"lirihku. "Permisi, saya cek pasien dulu, ya!" Seorang dokter laki-laki masih muda menghampiri ku. "Lho, kenapa nangis Mbak?" Dokter itu bertanya saat melihatku nangis. "Sakit, Dok," jawabku singkat. Sakit, hati ini sakit Dokter, dibentak suamiku sendiri. Air mata ini luruh. Mas Bayu menyeka air mataku. Ih, sok perhatian 'kan. Tadi marah, sekarang perhatian. "Ya, namanya luka baru, Mbak, apalagi ini cukup serius, perbannya saya buka dulu, mau saya cek lukanya." Dokte
"Saya masih bisa jalan sendiri kok, Sus. Nggak usah pake kursi roda nggak papa 'kan?" Ku ulas senyuman kepada suster, walau badan ini rasanya mulai lemes. Tapi, tetep aja nolak pakai kursi roda. Aku turun dari brankar UGD, di bantu Eis dan Bude, waduh kok agak kliyengan ya? "Bentar, kok kliyengan begini!" ucapku sambil terpejam. "Makanya, saya bawain kursi roda, Mbak. Biar Mbak nya nggak perlu jalan." Tangan Eis sepertinya memegangi tubuhku. Kenapa rasanya kaya muter-muter begini. Tubuh ini seperti limbung. "Permisi biar Bayu aja, yang bantuin Rini." Ku dengar Mas Bayu bersuara. Seketika ku rasakan ada yang memegangi tubuh ini lebih sigap. Kepalaku pusing banget. Mendadak lemes pula. "Lemes, Mas," lirihku. "Sus, kata istri saya, dia lemes." Mas Bayu laporan. "Mbak Rini lemes, duduk dulu, biar saya cek tensi darah nya." Mataku masih terpejam menahan rasa pusing, lemas, bercampur sakit. Duh, nggak enak, swer deh. "Duduk dulu, Yang." Mas Bayu perlahan mengarahkan aku duduk. "
Sore ini, aku diperbolehkan pulang dari klinik, setelah rawat inap dari kemarin siang. Aku seperti anak kecil yang apa-apa harus dibantu. Jujur, rasanya kurang nyaman. Tapi, gimana lagi, tangan kananku sakit. Seperti sekarang, usai mandi aku di bantu Mas Bayu memakai baju. "Mas, aku nggak enak loh sama Bude dan Pakde, ngerepotin begini. Maafin aku juga udah nggak nurut kemarin," lirihku usai Mas Bayu memakaikan aku baju kemeja. "Itu bukti bahwa kami semua sayang sama kamu. Mas udah maafin kamu. Udah jangan dipikirin. Sekarang ayo keluar makan dulu, pakde Umar tadi manggang ikan gabus buat kamu," ucap Mas Bayu sambil memakaikan hijab padaku. "Mulai sekarang, kita harus lebih hati-hati, menurut Bejo, Diki melarikan diri usai mencelakai kamu. Dan tadi siang, anak buah Bejo bilang, Johan mulai terlihat di sekitar pasar." Mas Bayu wajahnya serius.Mas Bayu berjongkok dihadapan ku yang duduk diranjang. "Sayang, berjanjilah jangan membuat kami semua khawatir lagi. Lihatlah semua yang ada
"Mas, Eis, Mas!" Aku hampir menangis. "Johan itu kejam, Mas. Aku takut Eis kenapa-kenapa," lirihku. "Sssst!" Tenanglah, Mas janji, Eis pasti pulang. Sekarang kamu makan dulu dibelakang sama Bude, ya. Jangan bilang masalah ini sama Bude dan Pakde, nanti mereka khawatir. Mas akan bereskan masalah ini." Mas Bayu memelukku. Ia menghapus air mata ini. Eis, aku kepikiran Eis, semoga dia baik-baik saja. Aku keluar kamar menuju dapur. "Bude, titip Rini, ya, Bayu ada urusan sebentar," ucap Mas Bayu menyembunyikan semuanya. "Oh, iya, biar Rini Bude suapin," ucap Bude terseyum. Mas Bayu lalu mencari Dimas kemudian pergi. Aku hanya bisa berdo'a Eis baik-baik saja. Bude menyuapi ku dengan penuh perhatian. Tapi, aku nggak selera. Pikiranku terus tertuju pada Eis. _________ Hari sudah malam, sampai ba'da Isya' suamiku belum pulang juga. Hatiku khawatir. "Rin, kemana sebenarnya Bayu? Kok belum pulang? Eis juga belum pulang," ucap Bude mendekatiku yang sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu.
"Saat ini, kita hanya bisa menunggu Johan berbuat onar hingga polisi mengendus kejahatannya. Maaf, Mas sudah terikat janji dengan Johan untuk tidak mempolisikan kasus kedua adiknya lagi." Mas Bayu tertunduk. Aku tak percaya dengan semua ini. Kenapa Mas Bayu bisa begini. Dengan di bebaskannya Yati, bisa tambah besar kepala dia. Apalagi sekarang kedua kakaknya itu berkumpul. Akan tambah songong pasti. "Demi keselamatan ku, Bayu melakukan semua itu, Rin. Bayu di jebak Johan sama Diki." Eis ikut bicara. "Benar-benar biang onar dua kakak beradik itu!" Pakde wajahnya geram. "Mulai sekarang, jika akan pergi keluar rumah, semua anggota keluarga harus siap dikawal, saya dan Bejo beserta anak buah Bejo siap mengawal semuanya sesuai perintah Pak Bayu," ucap Dimas. Aku kesal, kenapa sih, masalah dalam hidupku ini sumber biang keroknya dia lagi dia lagi. Kenapa nggak membusuk di penjara saja si Johan itu. Tapi, aku yakin Mas Bayu sudah mengambil jalan terbaik. "Mulai sekarang, kita harus was
Pagi datang menyapa, aku menunggu bubur Isma, setelah beberapa hari dia tak berjualan, ku harap hari ini dia berjualan. Kejadian semalam, masih segar dalam ingatan, tentang teror ancaman itu. Apalagi sekarang Yu Yati telah bebas dari penjara tanpa syarat, pasti makin songong dia. "Rin, kamu pagi-pagi kok sudah nglamun," tegur Pakde Umar kepadaku yang duduk di teras L. "Rini nungguin Isma, Pakde. Rini pengen makan bubur Isma, Pakde. Makanya Rini tunggu disini. Tapi kok belum lewat juga, apa dia nggak dagang?" tanyaku pada Pakde. "Mungkin, ini belum datang. Tunggu didalam saja, disini dingin." Pakde menyuruh ku masuk. Aku nurut sama ucapan Pakde, berjalan gontai menuju dapur, aku duduk malas di kursi ini. Roti tawar, selai, dan seduhan teh di teko terhidang di meja ini. "Rin, kenapa mukanya kucel begitu?" Eis datang menyapa. "Pengen bubur Isma, tapi kok nggak lewat juga," ucapku sedih. "Datengin aja kerumahnya, mau ku anterin?" tawar Eis. "Eh, Rini nggak boleh keluar rumah jauh
"Ti, katakan, apa maksudmu kesini?" Bude langsung saja bertanya. Yu Yati berjalan mendekati bude, ia juga melihat-lihat seisi dapur. "Aku kesini, mau cari telor bebek. Si Yanti ngidam pengen telor bebek rebus. Alhamdulillah anakku bisa hamil, nggak kaya si itu, tu!" Mata Yu Yati kulihat melirik kearahku. "Si miskin, cacat dan mandul," cibir Yu Yati lagi. Hatiku panas sekali mendengar ocehan murah dari mulut kotor itu, begitu bagganya dia akan kehamilan Yanti yang terjadi akibat pergaulan bebas, sangat miris. Suara speaker Isma semakin mendekat. Aku memilih bangkit dan menarik tangan Eis. "Ayo keluar aja, beli bubur. Enak sarapan bubur ketimbang sarapan ocehan mulut dia," bisikku pada Eis. "Eh, si cacat mau kemana?" teriak Yu Yati. Ku abaikan teriakan itu. Perlahan melangkah keluar menuju teras rumah L untuk beli bubur. "Mbak, Rini! Ya Allah, Mbak Rini nggak papa?" Isma langsung menghampiriku ia melihatku sedih. "Aku nggak papa, Isma, cuma ini tanganku lukanya lumayan, kemarin se
"Kok bisa kualat? Emang si Rini ngapain kamu, Ti?" tanya seorang tetangga. "Ya, gara-gara jeblosin aku kepenjara, sekarang si Rini miskin ini, kena batunya," Yu Yati dengan sombong membeberkan kabar tak benar itu. Mata ibu-ibu tetangga pelanggan bubur Isma menatapku aneh. Lalu setelah mereka selesai membeli bubur, mereka pulang. Tinggal aku, Eis dan Yu Yati saja. "Isma, mana buburku? Kok belum di bungkus?" bentak Yu Yati pada Isma, persis seperti preman memalak pedagang. "Bayar dulu utang Yayu, baru Isma mau bungkusin buburnya." Isma ku lihat punya keberanian. "Nggak nyangka deh, cuma bubur seharga lima ribu aja di hutang," cibirku pada Yu Yati. "Padahal Isma itu jualan untuk menafkahi dirinya yang di telantarkan suami, eh, masih aja dihutang, ya ampun, nggak tau diri emang, ya," imbuhku lagi. Biarin aja, biar Yu Yati mikir kelakuannya itu salah. "Heh, jaga mulutmu dasar cacat!" hardik Yu Yati. "Nggak salah nyuruh aku jaga mulut? Mulut situ aja nggak dijaga kok," balasku sant