Pagi datang menyapa, aku menunggu bubur Isma, setelah beberapa hari dia tak berjualan, ku harap hari ini dia berjualan. Kejadian semalam, masih segar dalam ingatan, tentang teror ancaman itu. Apalagi sekarang Yu Yati telah bebas dari penjara tanpa syarat, pasti makin songong dia. "Rin, kamu pagi-pagi kok sudah nglamun," tegur Pakde Umar kepadaku yang duduk di teras L. "Rini nungguin Isma, Pakde. Rini pengen makan bubur Isma, Pakde. Makanya Rini tunggu disini. Tapi kok belum lewat juga, apa dia nggak dagang?" tanyaku pada Pakde. "Mungkin, ini belum datang. Tunggu didalam saja, disini dingin." Pakde menyuruh ku masuk. Aku nurut sama ucapan Pakde, berjalan gontai menuju dapur, aku duduk malas di kursi ini. Roti tawar, selai, dan seduhan teh di teko terhidang di meja ini. "Rin, kenapa mukanya kucel begitu?" Eis datang menyapa. "Pengen bubur Isma, tapi kok nggak lewat juga," ucapku sedih. "Datengin aja kerumahnya, mau ku anterin?" tawar Eis. "Eh, Rini nggak boleh keluar rumah jauh
"Ti, katakan, apa maksudmu kesini?" Bude langsung saja bertanya. Yu Yati berjalan mendekati bude, ia juga melihat-lihat seisi dapur. "Aku kesini, mau cari telor bebek. Si Yanti ngidam pengen telor bebek rebus. Alhamdulillah anakku bisa hamil, nggak kaya si itu, tu!" Mata Yu Yati kulihat melirik kearahku. "Si miskin, cacat dan mandul," cibir Yu Yati lagi. Hatiku panas sekali mendengar ocehan murah dari mulut kotor itu, begitu bagganya dia akan kehamilan Yanti yang terjadi akibat pergaulan bebas, sangat miris. Suara speaker Isma semakin mendekat. Aku memilih bangkit dan menarik tangan Eis. "Ayo keluar aja, beli bubur. Enak sarapan bubur ketimbang sarapan ocehan mulut dia," bisikku pada Eis. "Eh, si cacat mau kemana?" teriak Yu Yati. Ku abaikan teriakan itu. Perlahan melangkah keluar menuju teras rumah L untuk beli bubur. "Mbak, Rini! Ya Allah, Mbak Rini nggak papa?" Isma langsung menghampiriku ia melihatku sedih. "Aku nggak papa, Isma, cuma ini tanganku lukanya lumayan, kemarin se
"Kok bisa kualat? Emang si Rini ngapain kamu, Ti?" tanya seorang tetangga. "Ya, gara-gara jeblosin aku kepenjara, sekarang si Rini miskin ini, kena batunya," Yu Yati dengan sombong membeberkan kabar tak benar itu. Mata ibu-ibu tetangga pelanggan bubur Isma menatapku aneh. Lalu setelah mereka selesai membeli bubur, mereka pulang. Tinggal aku, Eis dan Yu Yati saja. "Isma, mana buburku? Kok belum di bungkus?" bentak Yu Yati pada Isma, persis seperti preman memalak pedagang. "Bayar dulu utang Yayu, baru Isma mau bungkusin buburnya." Isma ku lihat punya keberanian. "Nggak nyangka deh, cuma bubur seharga lima ribu aja di hutang," cibirku pada Yu Yati. "Padahal Isma itu jualan untuk menafkahi dirinya yang di telantarkan suami, eh, masih aja dihutang, ya ampun, nggak tau diri emang, ya," imbuhku lagi. Biarin aja, biar Yu Yati mikir kelakuannya itu salah. "Heh, jaga mulutmu dasar cacat!" hardik Yu Yati. "Nggak salah nyuruh aku jaga mulut? Mulut situ aja nggak dijaga kok," balasku sant
Setelah sarapan, aku memainkan ponsel, kebetulan hari ini Eis libur kerja, usai tragedi penculikan itu, Eis diminta rehat kerja dulu oleh bosnya. Tak ada yang aneh dari status yang ada di ponsel ku. Beberapa pesan dari kolega bisnis masuk menanyakan kabarku. Yah, memang selama hampir seminggu disini, aku nggak update di sosial media. Pukul 09.00 suamiku pulang membawa jendela kaca beserta bingkainya. Oh, rupanya Mas Bayu hendak mengganti kaca jendela rumah Pakde yang rusak. Baguslah, jendelanya jadi nggak bolong lagi. "Mas, hari ini waktunya buka perban luka ku, Mas," ucapku pada Mas Bayu setelah ia selesai memasang jendela rumah ini. "Panggil saja bidan Ayu kesini, biar dibuka perbannya sama dia," usul Pakde Umar sambil istirahat duduk diteras. Bude menghidangkan singkong goreng dan kopi untuk Mas Bayu, Pakde Umar dan Dimas. "Kenapa, Rin? Kok bude dengar mau manggil bidan Ayu segala?" Bude angkat bicara. "Ini Bude, sekarang 'kan waktunya perban ini dibuka, ganti perban baru. K
"Jangan banyak gerak dulu, luka luarnya kering, tapi kayaknya dalemnya belum, masih suka nyeri 'kan?" Ayu bertanya kepadaku. "Iya sih, kadang sakit, kadang enggak." Aku memasang kembali penyangga ini, dibantu Mas Bayu. "Masih untung nggak bengkak, jadi sakitnya nggak terlalu. Ya sudah, saya permisi dulu, mau pulang, tadi si Aris sama neneknya nggak tak pamiti takut nyariin," pamit Ayu. "Maaf, Bu bidan, biaya ganti perban berapa?" tanya Bude spontan. "Ah, nggak usah Bude, saya ikhlas nolong Ayu, udah ya, permisi, lekas sembuh Rin," ucap Ayu. Ayu beranjak pergi, Mas Bayu ku bisiki untuk mengantarkan Ayu pulang. "Kasih aja uang jajan ke anaknya, Mas. Ayu mana mau nerima bayaran dari kita," bisikku pada Mas Bayu. Mas Bayu mengangguk. __________KEESOKAN HARINYA Pagi ini aku bangun kesiangan, semalam gara-gara tanganku sakit, tidurku agak terganggu. Ah, Mas Bayu kok nggak bangunin aku sih? Pasti dia lagi sarapan sekarang. Aku segera keluar kamar, tanganku agak pegal rasanya pengen
"Bude, dimana sih? Sepi amat!" teriak suara itu. Orang yang bersuara itu, kini sudah masuk ke dapur, Eis bangkit sambil tangannya memegang paha ayam. Eis berjalan kedapur. "Heh, dasar nggak punya sopan! Nyelonong masuk rumah orang, mau maling kamu!" Hardikan Eis terdengar sampai ruang tengah. "Berisik Lo! Mana Bude, aku nggak ada urusan sama kamu. Pasti dia diruang tengah 'kan?" Itu suara sangat familiar ditelinga selama beberapa hari ini. Prok prok prok "Wah, wah, wah, lagi makan enak rupanya! Pake bikin nasi kuning segala, acara apaan nih?" Yu Yati datang-datang berdiri dan berkacak pinggang. Aku dan yang lain menatap aneh pada Yu Yati. "Rini ulang tahun, Ti. Sini ikut sarapan sekalian," ajak Bude ramah. Bude bangkit menyambut Yu Yati. Begitulah Bude ramah kepada siapa saja."Apa? Si cacat ulang taun? Selamat deh! Semoga cepet mati. UPS! Keceplosan! Sengaja!" cibir Yu Yati wajahnya menyeringai puas. "Kamu!" Mas Bayu spontan emosi. "Mas, udah, jangan diladenin. Terusin sara
Kami melanjutkan sarapan sampai habis. Selesai sarapan, semuanya diberesi oleh Bude dan Eis. "Yang, aku mau pergi, agak lama, liat sawah, Pakde Umar ikut sama aku. Kamu, baik-baik dirumah. Kalo ada apa-apa telpon aku, ya!" ucap Mas Bayu padaku. Dia duduk disampingku usai mencuci tangan di belakang. "Liat sawah, emang ... Mas minat beli sawah disini?" Aku mengernyitkan kening, alisku bertaut. Heran saja sama Mas Bayu. "Ya, coba-coba, buat investasi juga, kayaknya seru aja kalau punya sawah disini. Gimana kamu setuju?" Mas Bayu menolehku alisnya naik turun. Aku tersenyum lalu mengangguk pertanda setuju. "Oke! Eh, minum obatnya dulu, semalam kayaknya kok kurang nyaman tidurnya, kenapa?" Mas Bayu bangkit mengambil obatku yang ada di lemari TV. Aku menghela nafas panjang, "semalem tanganku sakit nyut-nyutan, pegel, pokoknya nggak nyaman deh," terangku pada Mas Bayu. "Ya udah, habis minum obat, istirahat aja," Mas Bayu menyiapkan obatku. Lantas segera ku minum. Mas Bayu berlalu kebe
"Duh, Bude, kayaknya kalo bude nggak kesana bakalan kacau! Soalnya, nggak ada yang beres disana, semua nggak bisa diandalkan seperti Bude. Kalau ada Bude 'kan enak, bisa ngarahin, ini masak segini, ini begini," ucap Yu Santi. Menatap Bude memohon. "Bude kasihan Rini kalau ditinggal. Kalo diajak, takutnya malah di recokin sama Yati, dia 'kan nggak suka sama Rini." Bude duduk didekatku. "Kalau bude mau kesana, nggak papa kok, Rini dirumah sendiri." Ku ulas sebuah senyuman berusaha meyakinkan Bude. "Nggak bisa dong, kalau pakdemu tau Bude meninggalkan kamu dirumah sendiri, bisa marah nanti." Bude beralasan kepada ku dan Yu Santi. "Rini diajak aja ketempat Yati, Nilam juga disana kok, nanti Rini juga biar nggak bosen dirumah. Kalau Yati berulah nanti tak urus Bude." Yu Santi meyakinkan Bude Siti. "Ada siapa aja disana? Johan sama Diki ada enggak?" tanyaku penasaran. "Tetangga kanan kiri, dan banyak juga yang dateng. Ah, dasar aja si Yati lebay, tiga bulanan aja heboh. Johan sama Dik