Share

Bab 22. Terus Terang

“Lalu … kita harus bagaimana, Ryl?” tanyaku. Saat ini tubuhku sudah mulai sedikit gemetaran, dan aku tetap berusaha untuk fokus sebelum traumaku kambuh.

“Enggak bagaimana-bagaimana,” jawab Cheryl membuatku praktis menoleh ke arahnya.

“Tidak perlu takut! Ada aku dan ada orang kepercayaan om Danendra yang mengawasi kita. Kita pasti aman,” bisik Cheryl.

Aku mengangguk samar. Namun, aku tidak bisa menutupi rasa gugup.

“Li, tenang! Jangan terlihat gugup!” Cheryl kembali mengingatkanku.

“Iya,” jawabku.

Setelah menghembuskan napas pelan beberapa kali, aku pun membuka pintu cafe.

Melihat kami berdua datang, Keenan langsung tersenyum dan melambaikan tangannya.

“Hai! Maaf menunggu lama.” Itu suara Cheryl yang mendahuluiku menyapa.

Cheryl pasti tahu kalau aku masih sangat gugup.

Cheryl menarik kursi di hadapan Keenan. Sedangkan aku memilih untuk duduk di sebelah Cheryl.

“Mau minum?” Keenan menawari.

“Tentu saja,” jawab Cheryl sambil melambaikan tangannya, memanggil seorang pelayan cafe.

“Americano di sini sangat lezat.” Keenan merekomendasikan salah satu jenis kopi.

“Saya mau pesan es kopi, dan jus jeruk saja,” ujar Cheryl pada seorang pelayan cafe itu. Jelas dia mengabaikan perkataan Keenan, dan langsung memesankan minuman untukku.

“Kamu tidak suka kopi?” tanya Keenan padaku, tepat setelah seorang pelayan itu berlalu dari hadapan kami.

“Lilian sudah terlalu banyak minum kopi.” Cheryl berkata.

Aku tidak tahu tujuan Cheryl berbohong, tetapi yang pasti aku sebenarnya tidak bisa minum kopi.

Keenan hanya mengangguk.

“Beberapa hari ini kebetulan aku membuat pajangan dari kayu. Aku ingin memberikan sebagai hadiah untuk kalian.” Keenan memberikan kotak yang sedari tadi membuatku berdebar-debar tidak jelas.

Jelas kotak itu diberikan padaku, tetapi Cheryl buru-buru meraih dan membukanya.

“Whoaaa … bagus sekali!” pekik Cheryl kegirangan. Entah ini respons Cheryl yang normal atau hanya pura-pura, aku tidak bisa membedakannya. Kelihatannya Cheryl benar-benar menyukainya.

Aku ikut melihat isi kotak tersebut karena penasaran.

Ternyata isinya miniatur becak dan sepeda, yang terbuat dari bahan kayu. Benar kata Cheryl, hadiah ini bagus dan sangat lucu.

“Terima kasih, Keenan,” ucapku senang.

“Syukurlah kalau kalian menyukainya, karena ini produk limited edition. Kebetulan ada sisa kayu, dan pekerjaku iseng membuatnya.” Keenan menjelaskan.

“Ini dijual?” tanya Cheryl.

“Iya. Akan tetapi, aku memberikan gratis untuk kalian,” jawab Keenan.

“Terima kasih,” ucap Cheryl dengan senyum manisnya.

Pembicaraan kami terhenti sejenak ketika seorang pelayan datang untuk menyajikan minuman yang dipesan oleh Cheryl.

“Terima kasih,” ucapku dalam bahasa Inggris. Lalu, aku segera menyeruput jus jeruk untuk menenangkan diriku yang masih sedikit gemetaran.

“Maaf, aku haus,” ucapku sesaat setelah menghabiskan seperempat gelas jus jeruk.

“Tidak apa-apa. Santai saja!” Keenan tertawa geli.

Cheryl pun ikut meneguk es kopi miliknya.

“Aku lupa pernah menanyakan hal ini … apa tempat tinggal kalian sama?” tanya Keenan melihat ke arahku dan Cheryl bergantian.

Aku melirik ke arah Cheryl, berharap dia saja yang menjawab.

“Iya, kami tinggal di apartment yang sama. Jadi, aku bisa menjaga Lilian kalau ada orang yang hendak berbuat jahat dengannya.” Kali ini sudah pasti Cheryl sengaja mengatakan hal ini.

“Kalian tinggal di Harper Apartment ya?” tanya Keenan.

“Iya,” jawab Cheryl.

“Setahu aku, Harper Apartment aman. Di sana banyak CCTV juga,” ujar Keenan.

Dari mana dia tahu kalau Harper Apartment banyak terpasang CCTV? Ah, kenapa sih, isi kepalaku ini bawaannya curiga melulu?

“Bagaimana kamu tahu kalau di Harper Apartment itu aman dan ada banyak CCTV?” tanya Cheryl. Dari nada suaranya aku rasa Cheryl juga memiliki pemikiran yang sama denganku.

“Dulu aku punya sahabat yang tinggal di sana. Sebulan pertama di Singapura, aku sempat tidak betah karena tinggal sendirian. Lalu dia mengajakku menginap. Sayangnya, setelah lulus kuliah, dia sudah langsung kembali ke Indonesia.” Cerita Keenan mengalir begitu saja.

“Oh,” sahut Cheryl singkat.

“Nanti aku antar kalian. Kebetulan tadi aku bawa mobil,” ujar Keenan.

“Eee, tidak perlu! Cheryl juga bawa mobil kok,” tolakku buru-buru.

“Oh,” sahut Keenan.

“Kotak ini, kamu membelinya di mana?” tanya Cheryl sambil menyentuh kotak hadiah pemberian dari Keenan.

Rupanya rasa penasaran membuat Cheryl ingin segera menginterogasi Keenan.

“Di sebelah kantorku ada toko yang khusus menjual kotak hadiah begini. Tidak hanya kotak, ada juga kertas kado, pita, dan pernak pernik lainnya yang biasa digunakan untuk berbagi.“ Keenan terus menjawab rasa penasaran kami dengan cepat, seakan dia sedang menjawab dengan jujur.

Ralat! Lebih tepatnya aku masih belum tahu, dia sedang berkata jujur atau tidak.

“Beberapa waktu ini, ada seseorang yang sering mengirimi kami hadiah dan selalu menggunakan kotak hadiah yang serupa,” ujar Cheryl, membuatku kembali berdebar-debar.

Cheryl memang tidak suka basa basi. Akan tetapi, seharusnya dia lebih berhati-hati untuk bicara. Dia membuatku takut. Bagaimana kalau Keenan itu benar-benar pengirim hadiah misterius? Bagaimana kalau Keenan marah dan malah menyerangku?

“Penjual kotak seperti ini sebenarnya banyak. Tidak hanya di toko sebelah kantorku. Seandainya kalian suka, aku bisa membantu membelikan,” jawab Keenan yang terlihat biasa saja.

“Eee, tidak perlu! Bukan begitu maksud Cheryl,” sahutku cepat, sambil melirik ke arah Cheryl.

Keenan mungkin bingung dengan jawabanku, sehingga dia hanya melihatku dan Cheryl bergantian dengan tatapan bertanya-tanya.

“Pasalnya pengirim hadiah tidak menyertakan nama penerima dan nama pengirim,” sambung Cheryl, membuatku semakin berdebar-debar. Sahabatku satu ini memang terlalu jujur.

“Oh.” Seketika Keenan hanya bisa diam dan masih menatap kami.

“Jangan bilang … kalian curiga denganku?” tanya Keenan beberapa saat kemudian.

“Sejujurnya iya, karena aneh saja … kamu tiba-tiba muncul di Pulau Sentosa, saat Lilian berada di sana dan kotak ini—“

“Mirip dengan yang kalian terima,” potong Keenan.

Aku mendadak merasa tidak enak karena kami baru mengenal Keenan, tetapi sudah menuduhnya.

“Menurut kalian, bagaimana caraku membuktikan kalau pengirim yang kalian maksud itu bukan aku?” tanya Keenan. Dari nada suaranya, kelihatannya Keenan tidak marah.

“Entahlah,” jawab Cheryl. Mungkin Cheryl sadar kalau dia terlalu terburu-buru bertanya.

“Aku tahu kalau alasanku datang ke makam Finn, dan bertemu Lilian secara tidak sengaja di Pulau Sentosa itu tidak masuk akal. Jadi, aku terima tuduhan kalian. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana cara memberikan bukti kalau semuanya itu benar? Pasalnya, alamat kalian saja aku tidak tahu.” Keenan berkata.

“M-maaf kalau kami terkesan menuduh. Sejujurnya, kami pun tidak memiliki banyak teman. Jadi, kami bingung begitu ada yang memberi hadiah,” ujarku memberi alasan.

“Hadiahnya bagus atau tidak? Maksudku, seharusnya kalian tidak perlu khawatir kalau hadiahnya tidak menakuti kalian,” tanya Keenan.

“Hadiah yang terakhir kami terima, cukup membuat syok,” jawab Cheryl, tanpa memberi tahu jenis hadiah yang kami terima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status