Teriakan Lilian praktis membuatku dan Om Danendra mengikuti arah tangan Lilian menunjuk.Seorang gadis dengan rambut diikat semua ke belakang sedang berdiri di depan sebuah rumah sambil berusaha melihat ke dalam.Dari posisi kami saat ini, seorang gadis itu memang terlihat seperti Cheryl. Namun, bukankah tadi Cheryl menghilang dan ponselnya digunakan oleh seorang laki-laki yang tidak dikenal? Bagaimana bisa Cheryl berdiri di depan sebuah rumah seperti itu? Jangan-jangan gadis itu hanya seseorang yang mirip dengan Cheryl.“Apa tadi Cheryl menggunakan pakaian itu?” tanya Om Danendra.“Ayo, turun! Itu Cheryl! Kita harus mengajaknya pergi dari sini sebelum seseorang menangkapnya!” Bukannya menjawab pertanyaan Om Danendra, Lilian justru memaksaku agar segera keluar dari mobil.“Tiger Chang, itu Cheryl atau bukan?” tanya Om Danendra menggunakan bahasa Inggris.Tanpa memberikan jawab, Tiger Chang perlahan melajukan kendaraan mendekati Cheryl sambil melihat ke sekitar rumah melalui kaca spion
Lilian POV“Suster Keysa, apa kamu baik-baik saja?” tanya Cheryl lagi.Penampilan Suster Keysa sangat berantakan … ah, ini bukan hanya berantakan, melainkan terlalu kacau. Pakaiannya sudah sobek dan sangat terbuka.“I-iya, a-aku baik-baik saja,” jawab Suster Keysa gugup. Tubuhnya gemetaran, tetapi dia tidak menangis. Tangannya memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya.“Benarkah? Kamu benar-benar baik-baik saja? Tidak ada yang terluka?” Untuk kesekian kalinya, Cheryl bertanya.“I-iya, b-benar … aku baik-baik saja,” jawab Suster Keysa.“Apa seseorang telah berbuat jahat padamu?” Itu suara Om Danendra.Suster Keysa terlihat menghela napas sejenak. Dia lalu mengangguk.“Seseorang hendak melakukan kekerasan pada tubuh saya, tetapi beruntung saya sedang datang bulan, tepat saat lagi banyak-banyaknya,” jawab Suster Keysa. Dia tidak terlihat canggung saat mengatakan itu.Tanpa sadar aku menghela napas lega. Ternyata alam semesta masih berbaik hati denganku. Seandainya terjadi sesuatu deng
“Apa kamu mengenalnya?” tanya Keenan.“Entahlah … namanya tidak asing,” jawabku jujur.“Mungkin teman kuliah, Li,” sahut Om Danendra.“Sepertinya memang teman kuliah, Om. Akan tetapi, saya tidak ingat wajahnya,” ujarku masih berusaha mengingat-ingat.Ketika Om Danendra hendak menjawab, tiba-tiba teleponnya berdering.“Om angkat telepon dulu,” pamit Om Danendra.“Iya, Om,” sahutku.Ketika Om Danendra bangkit berdiri dan berjalan menjauhi kami, Keenan kembali bertanya, “Apa kamu sudah merasa lebih baik?”“Sudah,” jawabku sambil tersenyum.“Kita belum makan siang,” ujar Keenan.“Aku belum lapar,” sahutku.“Aku tahu. Kalau Om Danendra sudah kembali, aku akan membeli minum sebentar—““Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana!” potongku.Kalau sebelumnya Keenan yang menggenggam tanganku maka sekarang aku yang menggenggam tangannya. Aku tidak ingin dia pergi walau hanya sebentar.“Li, apa kamu tidak haus?” tanya Keenan.“Tidak. Pokoknya kamu harus tetap di sini,” jawabku dengan nada suara bergeta
Tempo hari aku melihat Om Danendra marah dengan Dina saja sudah merasa sangat terkejut. Apalagi sekarang … Om Danendra benar-benar marah ketika mendengar Dicky yang membunuh Finn.Astaga! Firasatku ternyata benar.Akan terasa sangat aneh kalau Om Danendra tidak marah. Bahkan reaksi Dicky yang menjawabnya dengan tenang seolah-olah tidak merasa bersalah itu sangat menjengkelkan.“Sayangnya, kalian tidak punya bukti untuk menghukumku.” Dicky memajukan tubuhnya dan bicara dengan nada berbisik. Dia lalu tertawa terbahak-bahak, mengejek kami.BRAK!Om Danendra memukul meja. Raut wajahnya merah padam karena terlalu marah. Sedangkan aku sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.Aku tidak melihat reaksi Keenan, tetapi yang pasti dia sibuk memegangiku dan Om Danendra.“Apa kesalahan anakku sampai kamu membunuhnya?” tanya Om Danendra. Nada suaranya sudah naik satu oktaf sekarang. Ralat! Bahkan mungkin sudah naik dua oktaf.“Apa kesalahan Finn?” cibir Dicky, “dia mencintai gadis yang se
Aku sudah benar-benar yakin untuk pindah unit apartment. Alasan yang paling utama karena aku ingin melangkah maju. Di sini aku bukan ingin melupakan Finn, melainkan aku ingat janjiku pada Finn untuk melanjutkan hidup. Itu sebabnya, aku merelakan unit apartment itu.Lagi pula, unit apartment itu akan menjadi milik Om Danendra dan Tante Iva. Aku tidak keberatan selama itu menjadi milik mereka. Kenanganku bersama Finn akan menjadi kenangan mereka juga.Alasan lainnya karena aku pindah ke tempat yang lebih dekat dengan Keenan dan kantor. Aku memang belum yakin seratus persen untuk menjalani hubungan dengan Keenan. Namun, aku bisa merasakan ketulusan Keenan saat melalui setiap kesulitan bersamaku.“Om dan Keenan sudah mengatur proses pembelian unit apartment yang baru untuk kalian. Mungkin dua minggu lagi kalian sudah bisa pindah. Beri sedikit waktu agar Om bisa poles sedikit dalamnya,” ujar Om Danendra.“Poles? Bukannya sudah direnovasi oleh pemiliknya?” tanyaku keheranan.“Sudah. Tapi, O
Hari yang baru telah dimulai.Tidak ada yang bisa aku lakukan di apartment. Jadi, meskipun Om Danendra memberiku izin untuk mengambil cuti, aku tetap memilih pergi bekerja.“Li, kapan kita mau berkemas? Kemarin Dokter Raffa menawarkan diri untuk membantu,” tanya Cheryl saat melihatku melewati pintu kamar.“Minggu depan saja. Kita tunggu saat unit apartment yang baru sudah siap,” jawabku santai.Cheryl tidak memberikan jawaban apa pun. Dia hanya kembali menikmati sarapannya.Aku pun duduk di hadapan Cheryl dan mulai menikmati nasi goreng yang sudah disiapkan di atas piringku.Ah, rasanya sungguh berbeda ketika orang yang menerorku selama ini sudah ditangkap. Aku tidak lagi merasa khawatir akan terjadi sesuatu hari ini.“Li, apa kamu baik-baik saja?” tanya Cheryl.“Iya. Kenapa?” Aku balik bertanya.“Kejadian kemarin bukan kejadian yang mudah untuk dilewati,” jawab Cheryl.“Benar. Aku sempat menjadi sangat histeris dan berteriak di atas atap.” Aku bercerita jujur.“Sudah aku duga,” sahut
“Beri tahu Dicky, jika dia membenciku maka dia harus berhadapan sendiri denganku. Bukan menyuruh orang lain untuk membunuhku. Bahkan dia dan orang lain tidak ada urusannya denganku.” Keenan berkata. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiriku.“Apa kamu mendengarnya? Dia tidak ada urusannya denganmu atau Dicky. Aku yang punya urusan sama dia. Kalau kamu dan Dicky tidak ingin berurusan denganku maka kalian harus menjauhinya!” ujar Tiger Chang.BUK!Aku mendengar suara pukulan. Aku rasa itu suara Tiger Chang yang memukul orang suruhan Dicky. Aku tidak melihat lagi karena sekarang Keenan sedang memelukku erat.Antara mengeluarkan rasa sedih yang ada di dalam hatinya atau ingin melindungiku, Keenan benar-benar memelukku seakan tidak ingin melepaskannya lagi.‘Ya Tuhan, seandainya kami berjodoh, tolong beri aku petunjuk!’ Doaku dalam hati.Benar … tadi seseorang itu mengaku kalau Dicky yang menyuruhnya untuk membunuh Keenan. Ah, betapa liciknya Dicky! Aku tidak menyangka dia akan menyuruh s
Hari ini aku merasa sangat bahagia. Entah bagaimana cara mengutarakannya … aku hanya merasa seperti ada beban yang terangkat setelah mengunjungi makam Finn bersama Keenan.Mungkin ada perasaan lega karena sudah memberi tahu Finn secara langsung mengenai hubunganku dengan Keenan. Hm, setidaknya ini hanya pemikiranku saja.“Apa kamu jadi mengambil cuti hari ini?” tanya Keenan ketika kami sudah kembali masuk ke dalam mobil.“Iya, aku sudah memberi tahu Om Danendra dan Liam,” jawabku.“Kalau begitu … kita jalan-jalan, yuk!” ajak Keenan.“Mau ke mana? Apa kamu tidak bekerja?” tanyaku. Pasalnya Keenan sepertinya sudah berhari-hari meninggalkan pekerjaannya.“Main di Pulau Sentosa,” jawab Keenan.“Asyik!” gumamku pelan.Keenan melirik ke arahku, pun aku melirik ke arahnya sambil tersenyum.“Lilian yang aku kenal adalah seorang gadis yang selalu menyimpan perasaannya sendiri, penakut, jarang tersenyum, selalu serius, bicara seperlunya, dan harus ditanya dulu agar mau cerita. Rasanya senang bi