Keesokan harinya …Tidak seperti hari-hari biasanya, pagi ini aku harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan.Apa semua anak mirip seperti aku? Hanya saat ada orang tua atau keluarga yang datang saja baru rajin.Kalau Lilian tidak sarapan, aku pasti mengomel karena khawatir dia akan sakit. Dia belum tahu saja kalau aku sendiri belum tentu sudah sarapan.Aku membuka kulkas untuk melihat isinya. Beruntung aku masih rajin belanja. Jadi, isi kulkas tidak terlalu mengenaskan.Aku mengeluarkan telur, sosis, keju, tomat, dan susu. Aku berniat membuat telur mata sapi dan memanggang sosis, keju, dan tomatnya dengan oven. Aku lalu akan menghangatkan susu.Namun, baru saja aku hendak menyiapkan alat masak, tiba-tiba bel apartment berbunyi. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Tidak mungkin Lilian sudah bangun, bukan?Maaf, tetapi kekasihku itu sejujurnya bukan tipe gadis yang rajin bangun pagi dan melakukan tugas rumah.Di sini aku bukan mengeluh karena sejak awal aku menyukai Lilian, aku
“Iya, tidak apa-apa, Om. Masih ada kesempatan untuk kami saling mengenal dan sama-sama belajar.” Lilian berkata.Papa dan Lilian masih saja terus berbicara seolah-olah aku tidak mendengar pembicaraan mereka.Tidak, aku tidak sedang marah atau cemburu. Aku justru merasa senang karena saat ini suasana sudah mencair. Aku merasa lega. Akan tetapi, aku hanya sedang pura-pura marah.“Kamu tidak sedang cemburu dengan Papa, ‘kan?” tanya Papa.“Tidak, Pa. Aku hanya penasaran, bagaimana Papa tahu kalau Lilian menyukai warna biru?” tanyaku.Ok, aku benar-benar penasaran karena beberapa kali Lilian selalu memilih warna putih untuk benda-benda yang dibelinya.“Hm, bagaimana ya? Antara firasat dan sekilas melihat saja,” jawab Papa semakin membuatku penasaran, “padahal Papa baru bertemu Lilian lho, Kee.”Aku melirik ke arah Lilian yang hanya tertawa untuk menanggapi.“Kalau sudah menyangkut firasat, sepertinya aku memang kalah dengan yang lebih pengalaman,” ujarku pasrah.Aku bisa mendengar suara Pa
Benarkah aku masih belum yakin untuk menjalin hubungan dengan Lilian? Perasaan … aku sudah yakin akan memilih Lilian untuk hidup bersama sampai tua. “Bagaimana Papa merasa aku belum yakin?” tanyaku penasaran.“Bagaimana ya …? Kadang-kadang firasat ini memang sulit dijelaskan,” jawab Papa sambil mengedikkan bahu.Ah, orang tuaku ini selalu saja penuh misteri.“Pasalnya, aku sudah merasa yakin dengan pilihanku,” sanggahku.“Itu benar. Tapi … sepertinya ada sesuatu yang masih terasa mengganjal. Itu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata,” ujar Papa.Oh, aku mengerti yang Papa maksudkan sekarang.“Papa benar. Sesuatu yang masih mengganjal itu sebenarnya tentang Mama dan masa lalu kami yang harus diselesaikan,” jawabku.“Apa Lilian memiliki mantan?” tanya Papa mengernyit.“Lilian pernah memiliki kekasih, namanya Finn. Tapi … dia sudah meninggal karena kecelakaan,” jawabku, “namanya hati … aku tidak bisa memaksanya untuk seratus persen mencintaiku, bukan?”“Papa mengerti. Tapi … bagaimana
Aku mengirimkan pesan pada Mama, tidak berharap akan mendapatkan balasan dan kenyataannya setelah beberapa menit berlalu memang tidak ada balasan dari Mama.Apa aku kecewa?Tidak, aku tidak berharap apa pun. Sebaliknya, aku merasa lega karena aku sudah mengikuti kata hatiku. Melakukan hal yang baik pada orang tua tidak akan pernah salah.Sampai sore hari aku benar-benar fokus bekerja. Lilian sudah pindah ke unit sebelah apartmentku dan dia bekerja di kantor pusat bersama Om Danendra, seharusnya tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi.Tok tok tok!“Masuk!” sahutku dalam bahasa Inggris.Yoan menyembulkan kepala dan berbicara dengan raut wajah panik, “Pak, ada masalah.”“Ada apa?” tanyaku.Yoan masuk ke dalam ruangan dan berjalan mendekat ke arahku.“Jumlah permintaan dan jumlah barang yang datang tidak sesuai. Ketika saya cek ke pihak pabrik, mereka mengatakan sudah kehabisan kayu yang sesuai dengan standard kita,” jawab Yoan.Aku mengusap wajah kasar. Pasalnya, barang paling lambat h
Lilian POVBohong kalau aku mengatakan tidak memikirkan pertanyaan Keenan tadi pagi. Seharian ini hatiku terasa sangat sedih membayangkan harus berpisah dengan hiruk pikuk di Singapura dan orang-orang yang sudah aku anggap keluarga di sini.Aku tidak bisa memilih Keenan atau Singapura karena mereka berada di dalam satu paket di hatiku.Ah, kenapa cinta terasa begitu rumit?Giliran sudah bisa membuka hati kembali, aku justru harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Keenan ingin kembali ke Indonesia.Masa depan pernikahan berkaitan dengan pekerjaan. Itu artinya, aku tidak mungkin melarang Keenan mengembangkan bisnisnya di Indonesia.Aku sedikit terhibur ketika aku berpikir, mungkin Keenan akan mengajakku tinggal di Pulau Bali. Di sini jelas bukan tempat di mana kami akan tinggal yang menjadi masalah, melainkan orang-orang di sekitar.“Lilian!” Om Danendra menyembulkan kepala di pintu ruang kerjaku.“Ya, Om?” Aku menoleh ke arah pintu.“Apa data-data yang dihilangkan Dina semuanya sudah k
Benar! Aku baru sadar kalau Keenan memang tidak ada pembicaraan untuk segera menikah. Tidak seharusnya aku terlalu memikirkan semuanya sekarang.“Dijalani saja hari demi hari … dilewati prosesnya satu per satu, Li. Jangan terlalu banyak mikir!” ujar Tante Iva.“Iya, Tante,” sahutku sambil tersenyum.Melihat Om Danendra mulai menikmati makanan, aku dan Tante Iva juga ikut makan.“Wah … asyik sekali makan siang bersama orang tua mantan.” Tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata dari arah belakang punggungku.Melihat Om Danendra dan Tante Iva praktis menghentikan makannya, aku pun menoleh ke arah sumber suara.“Dina?” Itu suara Tante Iva.“Iya, saya Dina,” ringisnya.“Bicara apa kamu, Di?” Om Danendra ikut menimbrung.Dina meliring ke arahku dengan tatapan sinis sambil berkata, “Di mana-mana, orang kalau ditinggal mantan itu pasti sedih, Om. Nah, ini … malah makan-makan sama orang tua mantan, padahal sudah punya pria lain di dalam hidupnya.”“Jaga ucapan kamu, Di! Om dan Tante yang meng
Keenan terus memelukku dan membiarkan aku menangis sampai puas.“Sudah selesai,” ujarku sambil mengusap wajah dengan tisu.Keenan tersenyum dengan tangan yang terulur untuk merapikan rambutku. Dia berkata, “Aku penasaran, apa yang membuatmu menangis seperti ini? Tangisanmu sangat memilukan.”“Masa sih? Perasaan biasa saja,” jawabku mengelak.Keenan tertawa geli melihatku.“Awas hidungnya maju kalau bohong,” ujar Keenan sambil menoel hidungku.“Biar mancung,” candaku membuat Keenan semakin tertawa terbahak-bahak.“Tidak bisa kubayangkan kalau hidungmu terlalu mancung. Pasti aku kesulitan menciummu,” ujar Keenan di sela-sela tawanya.Ah, Keenan sedang bicara apa ini? Membayangkannya saja membuat wajahku terasa panas. Aku yakin, pipiku pasti sudah memerah sekarang.“Kita masih punya waktu atau sudah harus pulang?” tanyaku mengalihkan.Keenan melirik ke arah lengannya untuk melihat jam tangan Rolex berwarna silver yang selama ini selalu dikenakannya. Dia lalu memelukku dari belakang.Tida
“Santai saja. Tadi aku sudah mengajak Papa, tapi Papa ada acara bersama temannya,” kekeh Keenan melihatku tiba-tiba panik.“Ah, maafkan aku … bisa-bisanya aku lupa kalau Om Mario ada di sini,” lirihku.“Tidak apa-apa, Li,” sahut Keenan.Kini kami sudah duduk di kursi meja makan sambil menunggu Cheryl memasak.“Jadi enggak enak dilihat saat memasak begini,” ujar Cheryl salah tingkah.“Hitung-hitung … biar terbiasa saat dilihat oleh Dokter Raffa nanti,” sahutku bercanda.“Kalau Lilian yang dilihatin, sudah pasti jatuh semua, Kee,” sambung Cheryl.Keenan melihatku sambil tersenyum menggoda. Kenapa pembicaraan mendadak menyambung ke arahku sih? Curang banget.“Kalau sudah jatuh, Cheryl yang bersihkan,” sahutku asal yang ternyata dijawab dengan anggukan mantap dari Cheryl.Ck, bisa-bisanya Cheryl mengangguk semantap itu. Dia padahal selalu membiarkanku membersihkan rumah sendiri.“Apa makanan sudah siap?” Itu suara Dokter Raffa yang berjalan mendekat ke arah kami.“Hampir selesai. Maaf, ak