Tidak sedetik pun Mama berhenti dan membalikkan badan untuk membalas sapaanku.Papa menepuk bahuku seakan ingin berkata agar aku bersabar saja. Sedangkan aku hanya duduk di sofa sambil tersenyum tipis.Aku sudah bisa menduga dan mempersiapkan hati untuk sikap Mama ini. Meskipun demikian, rasanya seperti ada yang mencubit hatiku. Kehadiranku seakan tidak diharapkan di rumah ini.Ah, baiklah … aku hanya akan fokus pada pekerjaan saja. Bukankah tujuanku datang ke Bali untuk bekerja?“Mamamu urusan Papa. Jangan terlalu dipikirkan!” ujar Papa.“Iya, Pa. Santai saja,” jawabku berusaha menenangkan. Tidak lupa aku juga tersenyum seakan semua baik-baik saja.“Tidak perlu pura-pura sama Papa. Papa ini orang tua kamu. Bersikaplah realita!” ujar Papa lagi.Tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang Mama, aku memilih untuk tersenyum saja.“Apa aku masih bisa masuk kamar?” tanyaku.“Bicara apa kamu ini? Tentu saja bisa. Masuklah dulu! Bersihkan tubuhmu dan keluarlah satu jam lagi! Kita pergi ke k
Lilian POVSetelah sekian lama selalu pulang dari kantor bersama Cheryl atau Keenan, sore ini aku pulang sendiri. Ralat! Lebih tepatnya aku pulang diantar oleh Mr. Bernard, supir keluarga Om Danendra.Tadi Keenan mengirimkan pesan untuk mengatakan bahwa dia sudah tiba di Pulau Bali.Entah mengapa, walaupun seharian ini Kim Tan mengerjakan pekerjaannya di ruanganku dan dia hampir tidak berhenti bercerita, aku tetap merasa kesepian.Kalau sudah begini, aku baru sadar, ternyata aku benar-benar bisa menerima dan mencintai Keenan.Kadang kala aku masih sering merasa bersalah karena diam-diam aku suka menatap ke arah langit sekadar untuk menyapa atau menceritakan sesuatu pada Finn. Pun aku merasa bersalah pada Finn karena mau berkencan dengan Keenan. Seolah-olah hatiku sedang mendua.Aku sendiri tidak memiliki niat untuk mendua. Aku hanya terbiasa bicara sendiri seolah-olah sedang bicara dengan Finn. Sikapku ini harus diubah. Aku harus mulai menceritakan kebiasaanku pada Keenan. Bukan berar
Keenan POVSesudah memutuskan sambungan telepon, aku bersama Kei bergegas menuju ke ruang makan. Papa sudah menunggu kami untuk sarapan.“Mama mana, Pa?” tanyaku.“Mama sudah pergi sejak pagi. Ada pengantin yang minta dirias,” jawab Papa.Ah, aku baru ingat, di akhir pekan seperti ini, salon dan bridal milik Mama pasti sangat ramai.Sejujurnya aku merasa lega karena bisa sarapan tanpa melihat raut wajah Mama yang terkesan tidak suka padaku. Tapi, suka atau tidak, Mama tetap mamaku, bukan?Ting!Aku melirik ke arah ponsel dan melihat sebuah pesan dari Lilian yang masuk.“Aku ingin minta izin untuk mengunjungi makam Finn. Apa boleh?” tanya Lilian melalui isi pesannya.Tanpa berpikir panjang, aku langsung membalas, “Boleh. Hati-hati di jalan, Sayang!”Aku kemudian meletakkan ponsel di atas meja dan melanjutkan makan.“Senyum-senyum sendiri … siapa yang kirim pesan, Kak?” tanya Kei.Aku melirik sekilas ke arahnya, lalu menjawab, “Lilian.”“Ah, pantas saja. Senyumnya itu lho … ganteng bang
“Papa, Mama, ada yang ingin aku katakan,” ujarku begitu masuk di dalam kamar.Berhubung Mama masih terlihat sibuk dengan ponselnya, Papa berdeham sambil melirik ke arah Mama.Dengan raut wajah kesal, Mama duduk di sebelah Papa, menungguku bicara.“Ada apa, Kee?” tanya Papa beralih menatapku.“Aku akan langsung bicara agar tidak terlalu lama,” jawabku sambil melirik ke arah Mama, “sebenarnya aku memiliki kekasih, namanya Lilian. Aku serius menjalin hubungan dengannya.”“Apa kalian sudah akan menikah dalam waktu dekat?” tanya Papa. Tentu saja Papa hanya pura-pura bertanya di depan Mama. Papa sudah tahu jawabanku. Namun, bukan itu inti aku bicara malam ini.“Sebelum membicarakan tentang pernikahan, aku membutuhkan restu dari Papa dan Mama,” jawabku penuh harap.“Aku sudah bertemu Lilian di Singapura. Anaknya cantik, manis, cerdas, dan sopan.” Papa menambahkan.“Jika ada kesempatan, aku pasti akan mengajaknya berkenalan dengan Mama juga,” sahutku antusias. Tak lupa aku juga menunjukkan f
Lilian POV“Kee, aku tidak bisa bernapas,” ujarku setelah sekian menit membiarkan Keenan memelukku erat.“Aku kangen kamu banget,” bisik Keenan.“Iya, tapi … ini sesak,” jawabku berusaha melepaskan diri.Aku mendorong Keenan pelan hingga dia melepaskan pelukannya.“Hei, ada apa?” tanyaku terkejut melihat Keenan berkaca-kaca.“Sudah kubilang … aku kangen kamu banget,” ujar Keenan sambil melangkah masuk dan duduk di sofa.Aku menutup dan mengunci pintu. Aku lantas menghampiri Keenan dan bertanya, “Mau minum apa?”“Mau peluk kamu lagi, boleh?” Bukannya menjawab, Keenan justru balik bertanya.“Tidak boleh,” ringisku, “belum halal … nanti takut ketagihan kan repot aku.”Keenan tertawa pelan.“Sudah bisa bercanda, nih,” sahut Keenan sambil menarik tanganku agar duduk di sebelahnya.“Memangnya kemarin-kemarin nggak bisa?” tanyaku balik.“Enggak … kamu bawaannya nangis dan sedih melulu,” jawab Keenan cepat.“Masa sih? Nih … senyumku.” Aku tersenyum selebar mungkin.“Kamu terlihat lebih bahagi
Keenan POVAku heran dan sekaligus takjub dengan pernyataan Lilian yang tidak keberatan menunggu Mama sampai mau merestui hubungan kami. Dia bahkan mengatakannya seolah-olah tidak ada beban apa pun.Aku sadar Lilian ini gadis yang polos. Akan tetapi, aku tidak menyangka kalau dia sepolos ini. Aku jadi merasa terlalu memanfaatkan dirinya. Apa itu tidak masalah?“Aku benar-benar mencintaimu, Li. Aku tidak pernah main-main dengan hubunganku,” ucapku lirih.“Iya, aku tahu,” sahut Lilian sambil tersenyum jenaka.“Li, apa kamu tahu … seorang gadis yang terlalu lama berkencan dengan seorang pria itu biasanya dianggap kurang baik lho. Orang bisa menganggapku sebagai pria yang tidak bertanggung jawab,” ujarku.“Mereka tidak tahu masalah yang sedang kita hadapi dan kita tidak mungkin membuat pengumuman untuk menjelaskan mengenai hal itu. Pertanyaannya, apa mereka bisa membantu kita? Enggak, ‘kan? Bodo amatlah mereka mau bilang apa,” kata Lilian sambil mengibaskan tangannya.Seketika aku hanya m
Lilian POVAstaga! Ini sangat memalukan. Bagaimana bisa Keenan memelukku seperti itu tadi? Aarrgghh! Aku pasti diledekin Cheryl.Cukup lama aku membiarkan Keenan mengetuk pintu kamar hingga akhirnya tidak terdengar suara ketukan lagi. Apa yang dilakukan Keenan sekarang?Aku perlahan membuka pintu untuk mengintip dan ternyata Keenan sedang sibuk menyuci di dapur.Laki-laki tampan yang menjadi kekasihku ini sebenarnya sangat baik hati. Namun, kalau seperti tadi itu sikapnya sangat menjengkelkan.Eh, tapi … dia itu kekasihku. Seharusnya tidak ada masalah kalau dia ingin memelukku. Aarrgghh! Sudahlah! Aku jadi bingung dan kesal sendiri kalau begini.Sekarang aku harus bagaimana? Hm, baiklah … aku akan bersiap saja dan bersikap sebiasa mungkin.Sekitar lima belas menit kemudian …Aku keluar dari kamar dalam keadaan sudah rapi dan berjalan menghampiri Keenan yang sedang melongo sambil melihat ke arahku.“Kamu mau ke mana?” tanya Keenan.“Kencan,” jawabku singkat.“Kamu tidak marah denganku?
Aku terus memandangi Keenan yang masih setia berlutut sambil memegangi kotak beludru berukuran kecil yang berisi cincin berlian dengan satu mata. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengangguk.“Iya, aku akan setia berada di sisimu, Kee,” jawabku sambil mengusap air mata yang sudah mengalir di pipi.Pun terlihat Keenan ikut berkaca-kaca dan menghela napas. Dia perlahan mengeluarkan cincin dari dalam kotak dan menyematkan pada jari manis tangan kiriku.Setelah itu tanpa sungkan, Keenan memeluk dan membelai rambutku.“Aku mencintaimu, Lilian. Aku sangat mencintaimu,” ucap Keenan, “mari kita menjalani kehidupan ini bersama-sama.”“Iya,” sahutku yang sudah tidak bisa berkata-kata lagi.“Selamat, Li! Selamat, Kee!” Itu suara Om Danendra.Aku dan Keenan melepaskan pelukan. Kami lalu menoleh sambil mengusap air mata dan menyambut pelukan Om Danendra dan Tante Iva.“Selamat, Li! Tante senang sekali,” ucap Tante Iva yang ternyata ikut menangis terharu.“Terima kasih, Om, Tante,” sahut Keenan.