Mug keramik di kedua telapak tangannya tiada lagi terasa hangat. Cairan pekat di dalamnya pun hanya tinggal seperempat. Ia menatap kosong permukaannya. Kata orang, coklat mengandung zat phenylethylamine yang mampu membuat seseorang yang mengkonsumsinya merasa bahagia, namun nyatanya semua itu tak banyak berpengaruh pada pria dengan surai sewarna arunika.Banyak sekali hal yang bercokol di dalam kepala tampannya saat ini; akan rasa bersalahnya pada Kinara, dan terutama tentang Axel, sang putra. Ia masih sangat mengingatnya, setelah pria kecilnya itu memergoki pertengkaran dirinya dengan Kinara, tatapan mata biru itu berubah dingin padanya. Dan ia sangat yakin jika buah hatinya merasa kecewa.Ia ingin sekali menemui putranya, ia rindu. Namun, ia seakan tak lagi memiliki muka untuk kembali bertemu, ia tak siap menerima kebencian putranya sendiri padanya, apalagi ... Kinara. Ia sangat yakin jika apa yang telah ia perbuat pada wanita itu telah sukses menggores hatinya. Dan ia menyesal, kec
Penyesalan memang selalu datang belakangan, begitulah yang kiranya Daniel rasakan sekarang. Bagaimana tidak? Putranya seakan mengabaikan kehadirannya, kepala pirang salinan dirinya itu justru berpaling setelah beberapa detik saling pandang. Padahal biasanya pria kecilnya selalu antusias menyambutnya ketika ia datang.Desahan napas lelah terembus dari celah bibirnya, pun tatapan mata biru itu kehilangan cahayanya. Andai saja ... andaikan saja ia lebih mampu mengendalikan emosinya malam itu, andaikan saja ia mampu memutar kembali waktu, tentu ia tidak akan bertindak sesembrono itu. Dan kini ia sadar, nyatanya bukan hanya Kinara saja yang hatinya terluka, putranya juga."Axel ...." panggilan lirih lolos dari bibir sang pria berambut bak arunika. Ia mencoba kembali memasang senyuman, berharap sapaannya mendapat balasan.Namun, nyatanya keinginan tak sesuai harapan. Axel sama sekali tidak menoleh ke arahnya, pria kecilnya justru semakin larut memainkan robot gundam di kedua tangannya bersa
Desahan napas lega terembus dari mulut Anindita setelah satu pembeli telah selesai ia layani. Setelah mencatat pemasukan di dalam komputer di meja kasir, langkah kaki wanita itu terayun mendekati sosok Kinara yang berada di meja tak jauh darinya. Ah, sahabatnya itu terlihat begitu sibuk kali ini. Tangan kanannya tampak sedang menggoreskan ujung pensil pada kertas putih di hadapannya; sedang membuat desain baju pesanan pelanggan.Sebenarnya ada satu hal yang hingga detik ini membuat Anindita penasaran. Namun, ia terlupa untuk menanyakannya karena terlalu sibuk akhir-akhir ini; butik benar-benar tengah ramai orderan. Setelah hari di mana Kinara menyetujui untuk bertemu dengan teman lelakinya, ia tak tahu lagi bagaimana kelanjutannya setelah pertemuan mereka.Makanya, dengan rasa keingintahuan yang besar pula senyuman lebar, wanita dengan surai pendek sebahu nan lurus itu mendudukkan diri di sisi sahabatnya. Ia akan mengorek informasinya sekarang juga."Menurutmu, Andreas pria yang seper
Karin tersenyum di sela ciumannya ketika mendapati mata biru Daniel tampak memejam sempurna, pula kedua telapak tangan hangat itu melingkupi pinggangnya. Jari-jemarinya semakin aktif bergerilya meraba abdomens perut sang pria dengan penuh damba, mencoba memancing hasrat pria yang memangku tubuhnya. Yah, meskipun wanita itu sadar jika apa yang ia lakukan hanya sepihak, tiada sambutan.Katakanlah Karin bodoh, tolol, atau apa pun sejenisnya. Karena memang dirinya pun mengakui hal yang sama. Ia tentu masih ingat bahwa pernyataan cintanya ditolak, bahkan ia pun tahu jika hati pria yang tengah ia cumbu bukanlah miliknya; ada nama wanita lain yang sudah sejak lama terukir di sana.Namun, ia pun tak mampu memungkiri jika hatinya turut terluka melihat betapa kacaunya keadaan pria yang ia cinta, jantungnya berdenyut menyakitkan ketika melihat wajah rupawan itu selalu diliputi kepedihan.Ia hanya ingin membantu Daniel terlepas dari lara meskipun hanya sekejap dengan membiarkan pria itu kembali m
Tepat seperti apa yang Daniel katakan pada Kinara, kurang lebih lima menit setelah sambungan telepon ia putus, pria itu telah sampai di depan halaman luas mansion Maheswara. Ia memacu kendaraannya dalam kecepatan di atas rata-rata tadi, untung saja jalanan telah sepi karena waktu memang telah menunjukkan dini hari. Hal tersebut membuat pria itu lebih leluasa untuk mengebut seakan tengah berada di arena balap mobil milik pribadi.Panik? Tentu saja. Orang tua mana yang tidak merasa cemas ketika mendengar berita bahwa buah hatinya sedang tidak baik-baik saja?Bahkan saking khawatirnya, membuat ia abai terhadap keselamatan dirinya sendiri. Yang ada di kepala pirangnya saat itu hanyalah sampai secepat mungkin, memastikan keadaan sang putra dengan mata dan kepalanya secara langsung. Tentu keadaan ibunya juga, mengingat wanita itu menangis ketika meneleponnya.Dengan gerak gesit, Daniel segera melepas sabuk pengaman yang melingkupi tubuhnya secepat yang ia bisa, kemudian berlari tunggang-lan
"Papa ... Papa ..."Tubuh pria itu menggeliat ketika suara lirih Axel berhasil memasuki gendang telinga, membuat ia terjaga dari 'tidur ayam'-nya. Daniel menegakkan posisi duduknya dengan segera ketika tersadar bahwa sang putra telah membuka kedua mata, tengah menatap presensi dirinya dengan berlinang air mata.Meskipun lelah dan kantuk mendominasi diri karena terjaga hampir semalaman, pula beberapa saat lalu sempat terlelap dengan posisi yang tidak nyaman—ia tertidur sembari duduk pada kursi besi di sisi ranjang perawatan dengan tangan bersedekap di dada—namun, senyuman masih mampu terpatri pada kedua belah bibirnya yang merah kecokelatan."Iya, ini Papa. Axel bersama Papa sekarang," ujarnya seraya mencium kening putranya begitu lama.Daniel mampu melihat tatapan penuh kerinduan yang terpancar dari sorot mata biru sang balita, yang otomatis membuat dada pria itu serasa diremas tangan tak kasat mata. Axel benar-benar merindukannya, sama halnya seperti apa yang ia rasa.Ia benar-benar
Suara debaman pintu ruang perawatan mengiringi raibnya tubuh jangkung Daniel dari pandangan. Pria pirang itu membanting pintu dengan sedikit kencang tadi, untung saja hal tersebut tidak mengusik tidur lelap Axel. Ia benar-benar tersulut emosi.Sedangkan Dirga yang baru saja tiba hanya mampu menggaruk belakang lehernya dengan kikuk melihatnya, lantas mengalihkan atensi pada Kinara, menatap wanita itu dengan rasa bersalah. Tentu ia sadar jika kehadirannya justru memperburuk suasana."Aku sempat ke rumahmu tadi, dan langsung kemari ketika satpam rumahmu berkata kau membawa Axel ke rumah sakit ini ... tetapi sepertinya aku kembali datang di waktu yang tidak tepat, ya? Apakah aku harus menyusulnya?" ujarnya seraya melangkah semakin dekat pada presensi Kinara.Seakan sudah seperti jadwal tak tertulis hampir di setiap akhir pekan, pria itu selalu mengunjungi Axel. Biasanya ia akan mengajak balita itu untuk sekedar jalan-jalan atau pun mampir ke rumahnya. Selain karena ia yang memang sangat m
Tirai putih itu tersibak oleh kedua tangan Kinara. Cahaya mentari pagi masuk dengan leluasa dari kaca jendela, memenuhi seisi ruang perawatan, membuat ruangan yang didominasi warna putih itu semakin terang.Tanpa terasa, sudah memasuki hari ke-dua putra semata wayangnya dirawat sini. Kinara benar-benar merasa lega sekarang, karena kondisi kesehatan balitanya sudah semakin baik. Kabut ketakutannya sirna, berganti senyuman tenteram.Setelah membuka bingkai jendela, kepala dengan surai kelam yang tersanggul asal itu menoleh pada presensi sang putra—yang masih saja duduk terdiam di atas ranjang perawatan seraya memeluk robot Transformers pemberian ayahnya dengan kencang."Axel kenapa diam saja, Nak? Ingin apa, hm?" Kinara mengukir senyuman ketika mata biru Axel balas menatapnya. Ia melangkah mendekat dengan senyum yang tiada henti tersemat."Axel ingin Papa."Senyuman wanita itu seketika pudar, kemudian perlahan menghilang kala mendengar keinginan sang buah hati. Ah, ia jadi teringat keja